Isu Terkini

Adakah Masa Depan untuk Sinematek Indonesia?

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Faisal Irfani/Asumsi.co

“Film Teguh Karya bagus-bagus, ya,” kata Firdaus kepada saya di suatu siang. “Saya paling suka November 1928. Mengena sekali sampai sekarang. Sudah nonton?”

Saya mengangguk pelan. Belum ada satu menit, dia kembali bicara. Kali ini, lebih sentimentil.

“Film Teguh Karya itu seni adiluhung. Ketika kita nonton, kita bisa merasakan apa saja: dari bahagia sampai sedih. Itu perasaan yang istimewa sekaligus membuat kita ngerti bahwa film bisa jadi pantulan hidup,” katanya.

Saya terdiam, membiarkan Firdaus larut dalam perasaannya. Dia begitu antusias membicarakan film, selayaknya paman yang pulang merantau dan membawa seribu kisah menarik bagi sanak-saudara pada hari raya.

Sembari Firdaus bercerita, tak hanya tentang Teguh Karya, tapi juga kiprah old master lain seperti Sjumandjaja–Atheis (1974) merupakan salah satu film favoritnya–kedua tangannya tetap sibuk membenahi gulungan pita seluloid.

Jemari Firdaus luwes menyisir gulungan itu. Dengan amat teliti dia perhatikan betul tiap bagian seluloid: apakah ada yang rusak, atau justru sebaliknya. Sorot matanya fokus mengamati serta memastikan bahwa barang yang dia pegang kondisinya baik-baik saja.

“Kesukaan saya kepada film, terutama film Indonesia, yang mendorong saya untuk bekerja di sini,” ucapnya. “Kalau nggak suka, mungkin, saya udah keluar sejak lama,” imbuhnya, tertawa.

Satu gulungan yang rampung diperiksa dia rapikan seperti sedia kala, sebelum akhirnya diletakan pada kotak berwarna cokelat menyala.

Dia mengambil gulungan lain dan mengulangi prosesnya dari awal. Begitu seterusnya sampai dia hafal di luar kepala.

Selama dua dekade lebih, Firdaus menjalani rutinitas mengecek kelayakan rol film, memperbaikinya bila ada yang rusak, hingga memastikan bahwa semua kebutuhan penunjang untuk seluloid di dalamnya terpenuhi tanpa kurang.

Firdaus adalah petugas pengarsipan film Indonesia, di sebuah gedung tua bernama Sinematek.

***

Ruangan yang saya masuki ukurannya tak terlalu luas, sekitar lima kali enam meter, dan sepintas mirip lokasi di mana para karakter di film Reservoir Dogs (1992) garapan Quentin Tarantino saling menghabisi nyawa.

Cahaya tak kelewat terang. Beberapa lampu, kata Firdaus, sengaja dipadamkan karena terdapat gangguan pada aliran listrik. Meski begitu, dari kejauhan, saya masih bisa melihat tumpukan gulungan film yang ditata begitu rapi sesuai kategorisasi.

“Ini ruang penyimpanan kami, ada kurang lebih 700 judul di sini,” ujarnya sambil memberi petunjuk ke mana saya mesti berjalan. “Semua di bawah suhu [ruangan] 12 derajat. Makin rendah, asalkan nggak sampai minus, makin bagus buat menjaga seluloid.”

Setiap koleksi ditaruh di rak yang tinggi dan memanjang ke belakang. Sebagian besar rol merupakan film-film lawas, kendati ada satu-dua yang tergolong ‘baru’ rilis. Arsip film tertua yakni Tie Pat Kai Kawin (1935), sementara yang berusia paling muda adalah The Raid (2014).

Saya mengamati deretan koleksi yang tersimpan dan menemukan aneka ragam judul: dari yang populer macam Badai Pasti Berlalu (1977) hingga yang cult macam Max Havelaar (1976). Sementara saya takjub menyaksikan koleksi Sinematek, Firdaus terus berkisah mengenai apa saja yang terdapat di ruang penyimpanan.

Beberapa koleksi film Jepang, misalnya, sengaja dititipkan ke Sinematek karena di sana tak ada tempat untuk menampung dan merawatnya. Firdaus juga berkata bahwa di eranya, rol film 16 mm menjadi simbol kelompok elite karena harga belinya yang kelewat mahal. Selain itu, koleksi yang tiba dari pemerintah Prancis kebanyakan berupa dokumenter yang sering diputar di stasiun televisi lokal.

“Ada banyak macam di sini. Selain gulungan, ada juga yang sudah agak modern kayak CD atau VHS,” jelasnya.

Merawat rol film, Firdaus bilang, membutuhkan ketelatenan dan kesabaran yang ekstra. Proses ini tak boleh dilakukan sembarangan. Harus ada perhitungannya. Jika tidak, rol film bisa-bisa tak berumur panjang.

Dalam sehari, Firdaus dapat mengerjakan satu sampai dua judul film. Satu judul film memakan waktu proses perawatan selama setengah hari, asalkan kondisi fisik film tersebut masih prima. Tapi, kalau film sudah rusak, waktu yang diperlukan dapat lebih dari satu hari, minggu, bahkan berbulan-bulan.

“Karena di sini koleksinya adalah film-film lama, banyak gambar yang pecah,” ungkap Firdaus.

Perawatan arsip film di Sinematek terdiri dari dua aspek: pembersihan dan penyambungan pita seluloid. Untuk proses penyambungan, Firdaus menggunakan alat bernama splicer. Setelah berhasil disambung, Firdaus lantas membersihkannya dengan ethanol. Fungsinya, kata Firdaus, untuk menjauhkan seluloid dari serangan jamur, air, hingga goresan yang berpotensi merusak badan pita.

Setelah kedua proses selesai, gulungan rol akan dipasang di mesin penyunting yang tersedia untuk dilihat kembali hasil visualnya: memastikan apakah proses perawatan berhasil dijalani atau tidak. Di Sinematek terdapat sepasang mesin penyunting: Shinko, produksi Jepang dan dipakai untuk pita 35 mm serta Steenbeck, bikinan Jerman untuk ukuran 16 mm.

Dari sekian banyak film yang sudah dia rawat, ada satu film yang menurutnya paling sulit untuk diproses: Honey, Money and Djakarta Fair, garapan Misbach Yusa Biran yang dirilis pada 1970.

Film Misbach ini, menurut Firdaus, datang ke Sinematek dalam kondisi yang sudah tak layak. Hampir seluruh bagian pita seluloid tak sempurna sehingga mengharuskan Firdaus untuk menambalnya, dan hal itu memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

“Sempat saya lumayan stres gara-gara film ini. Bahkan, ketika sudah diperbaiki pun masih ada yang terlewat. Jadinya kembali lagi dari awal,” tuturnya, diiringi gelak tawa.

Tak semua film bisa diselamatkan Firdaus, seperti yang menimpa karya Misbach lainnya berjudul Di Balik Cahaya Gemerlapan (1966). Melihat kenyataan tersebut, Firdaus hanya bisa pasrah. Bagi Firdaus, film tak dibikin dengan modal yang sedikit, dan menjadi representasi gagasan sekaligus budaya manusia.

“Kalau nggak bisa diapa-apain lagi, berarti ada yang hilang dari budaya itu,” katanya, pelan.

***

“Sekarang udah beda jauh dibanding dulu, Mas,” Budi Ismanto memberi tahu saya. “Waktu zaman almarhum Pak Misbach, Sinematek itu wah sekali. Makin ke sini, kayak makin tertatih-tatih.”

Wajah Budi dipenuhi kegelisahan tatkala mengutarakan kalimat tersebut. Sama seperti Firdaus, Budi merupakan petugas arsip film di Sinematek. Dia bekerja sejak 1998.

Seperti hendak melegitimasi pernyataannya, Budi menyodorkan album foto yang merekam perjalanan Sinematek pada 1996. Benar saja. Dalam album itu, terlihat Sinematek masih punya wibawa: para pengarsip yang bekerja menggunakan seragam laboratorium selayaknya ilmuwan sampai potret bangunan gedung yang terawat.

Kini, pemandangan tersebut nyaris tak meninggalkan jejak. Kantor pengarsipan tampak kusam. Cat temboknya mengelupas dan menyatu dengan jamur. Keadaan kian miris ketika petugas arsip di Sinematek tinggal Budi dan Firdaus; yang bertahan meski kelelahan.

“Lainnya udah banyak yang pensiun, baik karena faktor usia maupun kesehatan karena nggak kuat sama [bau] kimia di sini,” papar Firdaus.

Sejarah Sinematek Indonesia adalah sejarah perjuangan merawat film Indonesia. Kelahiran Sinematek tak bisa dilepaskan dari peran Misbach Yusa Biran, sutradara dan sastrawan kelahiran Rangkasbitung.

Sinematek dibangun Misbach pada 1975, bekerja sama dengan Asrul Sani, sutradara sekaligus Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta)—sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta)—dan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977.

Jalan terjal sudah mengadang Sinematek sejak awal pembentukan. Yang paling kentara: Sinematek tak punya anggaran operasional. Namun, Misbach terus bergerak. Dia meninggalkan tawaran bikin film dan lebih memilih mengurus Sinematek.

Tekanan tak hanya mewujud dalam perkara finansial, tetapi juga politik. Saat Orde Baru berkuasa, pembersihan terhadap ideologi kiri—beserta orang-orangnya—masif dilakukan, tak terkecuali di ranah sinema. Seniman Lekra, yang berafiliasi dengan PKI, pun turut kena sikat. Karena itulah arsip film milik Bachtiar Siagian, misalnya, sutradara yang pernah menang FFI lewat Turang (1960), tak ada lagi sebab telah dibakar tentara.

“Sayang banget [kita] nggak pernah bisa melihat film-film Bachtiar. Padahal itu penting dan sangat bernilai sebagai karya seni,” turut Budi. “Di sini adanya Violetta [1962].”

Dalam kepala Misbach, kerja-kerja pengarsipan semacam ini sangatlah penting. Dia tak ingin film, yang merupakan manifestasi kemampuan berpikir dan berdaya manusia, lenyap begitu saja. Film adalah wajah budaya sekaligus bangsa dan, oleh karenanya, Misbach ingin senantiasa menjaganya.

Sinematek memegang posisi penting dalam tumbuh kembang dunia film. Dia merupakan benteng utama pengarsipan. Ini terlihat jelas, ambil contoh, di Prancis.

Pada 1936, Henri Langlois, mendirikan Cinémathèque Française, institusi yang didedikasikan untuk melestarikan film-film lama dan membuatnya tersedia kembali untuk umum. Di sebuah gedung yang terletak di tepi Parc de Bercy, Paris, Langlois menjalankan kerja-kerjanya yang kelak punya sumbangsih besar untuk kemajuan sinema Prancis.

Selama pendudukan Nazi, misalnya, Langlois menyelundupkan film ke tempat yang aman agar tak dihancurkan oleh pasukan fasis Hitler. Setelah Nazi kolaps dan Perang Dunia II berakhir, film-film tersebut menjadi sumber inspirasi François Truffaut hingga Jean-Luc Godard, dua anak muda yang kemudian jadi pelopor lahirnya gerakan sinema baru: Nouvelle Vague.

Atas kontribusinya, Langlois dan Cinémathèque Française dihormati betul di industri film Prancis. Saking dihormatinya, kala Langlois dipecat dari jabatannya sebagai Direktur Cinémathèque Française oleh Menteri Kebudayaan Prancis, André Malraux, pada Februari 1968, kelompok sineas muda yang dimotori oleh Truffaut, Godard, Alain Resnais, Claude Chabrol, dan Eric Rohmer melakukan demonstrasi besar-besaran kepada pemerintah: memboikot Cannes serta mengancam menarik film mereka dari bioskop jika Langlois tidak segera dikembalikan ke posisi semula.

Beberapa bulan setelahnya, aksi yang lebih besar tumpah di jalanan Prancis. Gelombang massa, gabungan mahasiswa dan buruh, menentang kebijakan pemerintahan konservatif Charles de Gaulle yang tak pro-rakyat, kapitalisme global, sampai Perang Vietnam.

Bentrok dengan aparat tak terhindarkan dan korban berjatuhan. Prancis, singkat kata, mengalami periode brutal dengan ketakutan akan pertumpahan darah, ancaman perang sipil, serta pertikaian tak berkesudahan antara faksi kiri dan kanan. Kelak, sejarah mencatatnya sebagai Mei 1968, yang berujung pada jatuhnya kekuasaan de Gaulle sekaligus menandai babak baru peta politik global.

Cinémathèque Française, pada akhirnya, tak cuma jadi simbol budaya melainkan juga jadi monumen politik.

***

Pengarsipan film, khususnya di Indonesia, memang bukan perkara yang mudah. Jalannya terjal, berliku, dan tak jarang berakhir dengan sia-sia. Walaupun begitu, upaya untuk membangkitkan lagi karya-karya klasik Indonesia, sebagai realisasi dari kerja pengarsipan, bukannya tak ada.

Pada 2012, berkat kerja sama antara Sinematek, Yayasan Konfiden, Museum of Singapore, Kineforum, dan World Cinema Foundation, film karya Usmar Ismail yang menggondol lima penghargaan FFI pada 1955, Lewat Djam Malam, berhasil direstorasi.

Karya Usmar ini dipermak di L’Immagine Ritrovata, laboratorium di Italia, menghabiskan waktu selama dua tahun dan biaya mencapai Rp1,5 miliar. Hasilnya, selain dapat dipulihkan, Lewat Djam Malam juga sempat ditayangkan sebagai film pembuka Cannes Classic dalam helatan Festival Film Cannes.

Keberhasilan restorasi Lewat Djam Malam lalu mendorong lahirnya aksi serupa. Setahun kemudian, giliran film Usmar lainnya, Darah dan Doa (1950), yang masuk bengkel restorasi. Masih di tahun yang sama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggandeng Sinematek untuk mengkonversi 29 film lawas ke dalam bentuk digital. Beberapa judul yang terpilih antara lain Naga Bonar (1987), Si Pitung (1971), serta Di Balik Cahaya Gemerlapan (1966).

Tak berhenti sampai situ, pada 2016, Tiga Dara (1956), lagi-lagi karya Usmar, menjalani proses restorasi. Proses tersebut dilakukan di dua tempat: Indonesia dan Italia, selama kurang lebih tujuh bulan, dengan alokasi anggaran menyentuh Rp2,5 miliar. Restorasi membikin Tiga Dara dapat dinikmati dengan kualitas tertinggi hingga mencapai 4K (resolusi horizontal 4000 piksel).

Rentang waktu di atas, tak dapat dimungkiri, menarik atensi masyarakat—penikmat film atau tidak—untuk melihat lebih jauh karya-karya klasik yang dimiliki Indonesia. Termasuk ketika baru-baru ini Criterion Channel, kanal film kebanggaan para hipster, merilis Lewat Djam Malam sebagai bagian dari program bertajuk“Martin Scorsese’s World Cinema Project #3.”

Semestinya segala pencapain itu mampu membikin Sinematek kembali memancarkan sinar terangnya. Akan tetapi, realita ternyata berbicara lain: Sinematek tetap tertatih-tatih untuk bertahan hidup.

Hal ini bisa dilihat manakala program alih media yang dilakukan sejak 2015 belum berjalan maksimal. Program alih media, secara garis besar, bertujuan untuk mengubah format arsip Sinematek yang semula dari seluloid menjadi digital. Sampai sekarang, baru sekira 100 judul yang sudah diproses.

“Masih banyak yang belum. Karena memang dananya enggak banyak tersedia,” kata Firdaus, dengan nada yang mengesankan kekecewaan. “Padahal masih banyak [arsip] yang belum tersentuh. Sementara sebagian [arsip] kondisinya juga nggak lagi baik.”

“Apakah pemerintah enggak kasih bantuan, Pak?” saya bertanya.

“Enggak. Udah lama nggak ada hibah kayaknya,” jawab Firdaus.

Budi menduga situasi ini muncul sebab status Sinematek sendiri yang bukan bagian dari pemerintah. Sejak awal berdiri, Sinematek adalah milik yayasan.

“Beberapa kali pemerintah [provinsi] Jakarta menawari dana rutin, asalkan Sinematek jadi milik mereka. Tapi, pimpinan menolak tawaran itu karena takut jadi nggak bisa independen,” terangnya.

***

Bunyi mesin pendingin ruangan terdengar begitu keras. Firdaus meminta izin kepada saya untuk menyalakan sebatang rokok. Dia menjatuhkan badannya di kursi kerjanya, dan tak lama setelahnya tangannya menunjuk poster Ibunda, film Garapan Teguh Karya yang menang FFI pada 1986.

“Saya nggak bisa bayangin kalau sampai sekarang saya nggak pernah melihat film Ibunda,” katanya, wajahnya tampak gamang. “Sekarang Sinematek [masih] ada. Nggak tau kalau akhirnya nanti jadi makin susah.”

Misbach, dalam esainya soal Sinematek, pernah bilang bahwa Indonesia tak perlu gila memimpikan bisa punya sinematek raksasa seperti Prancis. Untuknya, yang penting bisa menampung keperluan yang ada dan dikembangkan secara bertahap.

“Sinematek serupa itu sejuta kali lebih baik dari sejuta pengasipan yang berserakan tanpa dapat dipertanggungjawabkan,” demikian kata Misbach.

Empat dekade usai Sinematek berdiri, nasib tempat sejarah ini nyaris tak berubah: hidup dalam keterbatasan dan tinggal menyisakan orang-orang yang bertungkus lumus menjaga puing-puing kejayaan sinema Indonesia.

Sama seperti Misbach.

Share: Adakah Masa Depan untuk Sinematek Indonesia?