Isu Terkini

GA dan MYD adalah Korban Kekerasan Berlapis

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Asumsi.co/Ibam

Bayangkan, ada orang tak dikenal membakar rumahmu, tapi alih-alih berkonsentrasi menangkap si penjahat, polisi malah menangkapmu dengan alasan asap dan api dari rumahmu telah mengusik warga sekitar. Bagaimana kamu memproses peristiwa itu?

Jika kamu bingung, hal serupa sedang dialami oleh selebritas GA dan MYD. Video intim mereka disebarkan oleh orang tak dikenal tanpa persetujuan mereka—membuat mereka menjadi korban dari kekerasan berbasis gender online (KBGO), atau lebih tepatnya korban penyebaran konten intim secara non-konsensual.

Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan dari pihak berwenang, GA dan MYD jadi korban kekerasan berlapis: mereka berdua ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tepatnya, pasal 4 ayat (1) tentang larangan memproduksi dan menyebarluaskan konten pornografi dan Pasal 8 yang melarang setiap orang menjadi objek atau model konten pornografi.

Tak hanya itu, identitas GA juga disebarluaskan oleh media massa. Mulai dari menyebutkan nama lengkap dan fotonya, menyorot rumah tangganya, hingga membawa-bawa anaknya.

Pertama, Kepala Sub Divisi Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma menerangkan bahwa Undang-undang Pornografi semestinya tidak bisa dipakai untuk menjerat video intim yang dibuat untuk konsumsi pribadi. Kata “membuat” dalam Pasal 4 ayat (1) mestinya diartikan sebagai pembuatan konten pornografi yang tidak termasuk untuk kepentingan diri sendiri.

Dalam kasus GA, bukan saja dirinya dan pasangannya ditetapkan sebagai tersangka, pelaku pertama penyebar video intim juga belum ditangkap oleh pihak kepolisian.

Ellen menyebutkan fenomena ini akan meningkatkan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan membuat korban berada pada posisi semakin rentan.

“Ini akan membuat pelaku kekerasan KBGO dalam bentuk penyebaran konten intim semakin di atas angin. Sebab, tindakan mereka untuk mengintimidasi korban semakin tampak tidak akan bisa dihukum,” ujar Ellen ketika dihubungi Asumsi.co (30/12).

“Penetapan GA sebagai tersangka ini juga jadi alasan banyaknya korban kekerasan seksual enggan melapor ke polisi. Mereka malah jadi rentan dikriminalisasi, padahal tindak kejahatan utamanya adalah penyebaran konten intim yang nonkonsensual,” tambahnya.

Kedua, Ellen juga menyayangkan pemberitaan media yang malah menitikberatkan pada sosok publik figur dan luput mengangkat soal tindak kekerasan yang dialami GA dan MYD.

“Ini menunjukkan, lagi, dan lagi, bahwa situasi KBGO di Indonesia darurat. Alih-alih dapat memberikan keadilan pada korban, payung hukum yang ada saat justru cenderung digunakan untuk mengkriminalisasi korban. Korban pun akan semakin merasa takut dan tidak berdaya karena proses hukum tidak bisa memberikan mereka keadilan.”

Aktivis kesetaraan gender Anindya Vivi ikut menambahkan bahwa media terlalu fokus untuk mengumbar identitas GA hingga membuat identitas pelaku penyebaran video itu sendiri tenggelam.

“Seharusnya, yang disebarkan adalah pelaku penyebar video. Fokus penegak hukum pun mestinya adalah mencari penyebarnya dan dialah yang sepantasnya dijadikan tersangka. Bukan GA itu sendiri,” ujar Anindya kepada Asumsi.co (30/12).

Adakah Perlindungan Hukum Bagi Korban KBGO?

Sejak pandemi COVID-19, kasus KBGO mengalami peningkatan drastis di Indonesia. Sepanjang Januari-Oktober 2020, Komnas Perempuan mencatat terdapat 659 kasus KBGO yang dilaporkan. Angka ini naik drastis dari 2019 yang berjumlah 281 kasus, 97 kasus pada 2018, dan 16 kasus pada 2017.

Di sisi lain, tak ada payung hukum yang kuat bagi korban KBGO ataupun korban kekerasan seksual secara keseluruhan. Anindya memaparkan bahwa definisi atau jenis kekerasan seksual yang diakui oleh hukum Indonesia masih terbatas. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), hanya terdapat tiga bentuk kejahatan terkait seksualitas, yaitu kesusilaan, persetubuhan, dan pencabulan. Begitu pula dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak yang sebatas mengatur kekerasan seksual terhadap anak di dalam rumah tangga.

“Undang-undang yang dimiliki Indonesia belum ada yang mendefinisikan dan melindungi korban KBGO. Akhirnya, karena tidak adanya perlindungan itu, tidak ada pengakuan bahwa apa yang dialami GA dan korban KBGO lainnya adalah bentuk dari kekerasan seksual. Padahal mereka korban,” kata Anindya.

PurpleCode, kolektif yang bergerak di isu teknologi dan gender, dalam buku sakunya telah menyebutkan bahwa ketiadaan payung hukum khusus tentang kasus KBGO merupakan salah satu tantangan besar dalam menangani kasus ini.

Pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan seksual di KUHP dan UU Pornografi justru bias gender. UU Pornografi, misalnya, menafsirkan “pornografi” dengan begitu luas hingga perempuan yang menampilkan bagian tertentu tubuhnya dapat dijerat karena dianggap “menampilkan ketelanjangan”, sebagaimana yang hampir menimpa aktor Tara Basro.

PurpleCode juga mencatat bahwa UU Pornografi ini tidak hanya berpotensi menjerat pelaku penyebar konten pornografi, tetapi juga sosok di dalam konten—seperti yang akhirnya terjadi pada GA atau musisi Ariel pada 2010 lalu.

Padahal, menurut Anindya, awal mula perancangan UU Pornografi didasari niat baik mencegah mafia pornografi dan eksploitasi seksual, termasuk korban kekerasan seksual yang dimanipulasi untuk menjadi model pornografi.

Lantas, menjadi ironi ketika UU Pornografi ini justru lebih banyak dimanfaatkan untuk menjerat korban kekerasan seksual. “Sebetulnya, semangat dari UU Pornografi ini adalah melindungi korban. Sayangnya, dalam implementasinya, undang-undang ini malah menjadi pasal-pasal karet,” katanya.

“Maka, sangat mengecewakan—walaupun tidak mengejutkan—ketika penegak hukum di Indonesia malah menjerat korban penyebaran konten intim secara non-konsensual ini sebagai tersangka UU Pornografi. Mereka [GA dan MYD] tidak membuat konten untuk didistribusikan secara luas ataupun dinikmati oleh masyarakat umum,” katanya.

Share: GA dan MYD adalah Korban Kekerasan Berlapis