Isu Terkini

Merayakan Natal di Keluarga Beda Agama: “Aku Pagi Dengar Lagu Rohani, Siang Jumatan”

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Perayaan Natal di Indonesia seperti tak pernah lepas dari polemik setiap tahunnya.

Hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen masih terus jadi bahan perdebatan. Ibadah hingga perayaan Natal direpresi, mulai dari jemaat GKI Yasmin yang tempat ibadahnya disegel dan berakhir merayakan Natal di jalanan hingga di depan Istana Negara, hingga ancaman ledakan bom di gereja yang terus mengintai.

Menariknya, di keluarga dengan orang tua yang berbeda agama, pemandangan itu jadi berbanding terbalik. Anak-anak yang lahir dari keluarga ini melihat perbedaan sebagai bentuk keberagaman, bukan sesuatu yang dijauhi ataupun dicerca.

Negara memang belum akomodatif terhadap perkawinan beda agama. Fenomena ini pun kerap masih tabu dibicarakan di antara keluarga ataupun masyarakat umum. Meskipun begitu, berbagai trik dilakukan orang-orang untuk tetap dapat menikah, mulai dari pindah agama secara administratif hingga menikah di luar negeri.

Lantas, bagaimana anak-anak dari keluarga ini memandang perayaan hari besar di keluarga mereka? Apakah suasana perayaan mereka berbeda dengan keluarga-keluarga lain?

Asumsi.co berbincang dengan Kent Trufano, anak dari sepasang orang tua beragama Islam dan Kristen yang merayakan Natal pada 25 Desember ini.

Boleh ceritakan latar belakang keluargamu seperti apa?

Dulu, almarhum Papa itu Islam. Keluarganya pun mostly Islam. Kalau Mama itu Kristen. Keluarganya juga mostly Kristen. Terus, waktu menikah, Mama sempat pindah agama, tapi akhirnya kembali lagi. Mungkin for the sake of administration kali ya.

Jadi, kalau hari Jumat itu, aku sudah biasa pagi-pagi dengar lagu rohani di speaker, siangnya Jumatan.

Dengan latar belakang keluargamu yang seperti itu, bagaimana kamu dan keluargamu merayakan Natal?

Aku tinggal di Jakarta, keluarga Mama yang mostly Kristen itu ada di Surabaya. Jadi, kami seringnya merayakan dengan keluarga inti aja. Kami nggak yang lebay gitu sih. Kami paling sekadar keluar makan—merayakan itu sebagai bagian dari liburan juga.

Sekalipun kami Natalan bareng keluarga Mama di Surabaya, ya udah. Aku ikut makan bareng. Kadang ada yang mau pergi ke gereja dulu. Aku juga pernah ikut.

Karena, di keluargaku nggak dididik kayak yang, agama ini benar dan agama ini salah, kami memperlakukan semua hari raya atau hari besar agama itu sama.

Apa makna Natal bagi kamu yang seorang Muslim?

Kalau pandanganku pribadi ya, Islam nggak pernah mengajarkan untuk mengkafirkan orang. Bahkan ada ayat agamamu agamamu, agamaku agamaku.

Dalam kasusku, sialnya juga, Islam menyebut ibu itu tiga kali, bapak baru yang keempat. Jadi, setelah aku dewasa dan memahami agama, aku paham bahwa aku melakukan itu bukan karena percaya sama Natal, bukan karena percaya sama Kristen hingga lama-lama geser ke aliran Kristen. Bukan.

Aku melakukan itu karena itu membuat Mama senang. Itu membuat Mama jadi merasa nggak asing di keluarganya sendiri. Dan, kalau bikin Mama bahagia itu adalah bagian dari Islam, ya menurutku membahagiakan Mama itu adalah sebuah ibadah.

Kalau zaman sekarang kan, kayak, kita nyebutin Hari Ibu aja nggak boleh. Katanya itu budaya kafirlah, segala macam. Di keluarga besar juga masih ada yang nggak setuju ketika kami pergi makan malam spesifik untuk merayakan Natal.

Personally, I don’t give a shit mau orang bilang atau mendikte apa. Toh di Islam sendiri nggak pernah ada ajaran untuk mengkafir-kafirkan orang.

Aku berbakti sama mamaku aja. Kalau itu bikin mamaku senang ya, kamu siapa buat bilang nggak boleh? Toh ya aku nggak nyakitin orang lain, aku nggak merugikan orang lain, aku nggak mengkafirkan orang lain. Aku cuma melakukan satu hal, membahagiakan mamaku.

Lebih-lebih ketika Papa udah nggak ada. Fokus untuk membahagiakan orang tua semakin jadi fokus utamaku. Bahasaku ke orang lain, “Lo masih punya dua, lo mungkin bisa memilih lo prefer yang mana. Gue sisa satu. Kalau lo masih ngelarang gue ngebahagiain dia, gue mau bahagiain siapa lagi?”

Ada perbedaan besar nggak dalam merayakan hari raya sebelum dan setelah ayah meninggal?

Iya. Nggak mungkin nggak. Tapi, ajaran beliau nggak pernah hilang. Udah enam tahun sejak Papa meninggal. Apa yang dia biasakan di pola hidup sehari-hari, apa yang kadang ia paksakan untuk dilakukan, itu nempel. Dan, ternyata ada apa fungsinya juga.

Meskipun ada keluarga yang kurang setuju kami merayakan Natal, misalnya, dulu Papa tetap ngelakuin itu.

Jadi kalau ditanya soal agama, perbedaannya, perpecahannya, kenapa orang sekarang sensitif banget terhadap agama segala macam itu, di aku udah nggak masuk. Karena, men, aku tinggal di rumah yang, tadi aku bilang, pagi dengar lagu rohani, siangnya Jumatan. Jadi, apa yang mau diributin?

Tadi kamu bilang masih ada keluarga yang kurang setuju dengan kamu merayakan Natal. Gimana kamu dan keluarga inti menyikapi itu selama ini?

Aku nggak tahu dulu waktu aku kecil apa yang dilakukan kedua orang tuaku untuk menangkal itu. Cuma yang aku lakukan sekarang, pas udah gede, ya, ya udah. Mau diapain?

Nggak semuanya harus dijelaskan, kok. Intinya begini, kalau aku ngerasa yang aku lakuin itu benar, aku nggak perlu teriak. Itu cukup kebenaranku buat diriku sendiri aja. Kalau misalkan ada orang bilang, “Lo tuh salah, lo nggak boleh gitu.” Ya udah. Itu kan menurut dia.

Buat aku pribadi itu nggak mengganggu. Aku nggak menyakiti orang lain, aku nggak merugikan orang lain. Ya udah. Mereka mau bilang a b c d, even itu keluarga, ya udah. Itu pendapat mereka. Dan aku menghargai itu sebagai pendapat mereka. Tapi aku tidak harus menjelaskan semua pemikiranku, menjelaskan semua pengalamanku ke mereka.

Toh, ya, tidak merusak kegiatan silaturahmi keluarga, kok. Tapi tergantung ya, kadang ada keluarga yang sensi banget sampai ketemu aja nggak mau. Itu lebay, sih. Aku kasihan sama orangnya kalau ada yang kayak gitu. Cuma alhamdulillah di keluargaku nggak kayak gitu.

Agama itu harusnya sesuatu yang mempersatukan, bukan memecahbelahkan. Toh intinya sama, kok, tujuannya berbuat baik. Beda ritualnya aja. Beda cara ngobrol ke Tuhan-nya.

Itu yang aku dapat dari keluargaku. Bahkan ada anggota keluargaku yang Buddha dan Hindu juga. Jadi ya, ketika ada yang meninggal, ke Bali, terus pas di Bali kami jadi nggak boleh makan sapi, ya udah. Memang adatnya begitu, ya kami ikut.

Jadi, kamu sudah terbiasa ada di lingkungan dengan kepercayaan yang beragam ya?

Betul. Karena yang diajarin juga—mau sebeda-bedanya kita, ternyata nggak beda-beda amat kok. Setelah aku kenal orang Kristen, orang Hindu, Buddha, Protestan, ya sebenarnya sama saja. Itu tidak mendikte kita akan jadi seperti apa.

Orang bilang, “Wah, itu kafir.” Tapi begitu orang yang dicap kafir itu diajak ngobrol, ternyata mereka lebih baik daripada orang yang teriak kafir. Bahkan lebih sering sedekah daripada orang yang teriak kafir. Maksudku, kayak, jadi nggak masuk akal aja kalau itu dipermasalahkan.

Selain dari keluarga besar, apakah stigma atau cap negatif memiliki orang tua berbeda agama juga datang dari lingkungan sekitarmu?

Nggak. Pertama, aku jarang cerita ke orang. Kedua, sekalipun mereka tahu, mereka sudah kenal aku lebih dulu. Jadi, penilaian buruk di kepala mereka yang dipengaruhi oleh lingkungan mereka itu nggak ada lagi karena mereka sudah kenal aku duluan. Mereka kenal aku sebagai Kent. Bukan Kent yang bapak ibunya beda agama.

Bagaimana kamu memandang intoleransi yang masih banyak terjadi Indonesia?

Sejak kecil, aku punya guru ngaji yang selalu jadi langganan keluarga. Dia udah mengajar ngaji untuk keluarga besar. Cuma, kalau aku ngaji sama dia tuh, lebih banyak ngobrolnya dibanding ngaji.

Aku pernah tanya, “Ustaz, mama saya kan Kristen. Itu gimana, ustaz, dari kacamata Islam? Saya harus gimana?” Soalnya, aku sering lihat ada orang yang agamanya Islam tapi hidupnya kurang baik. Dia nggak baik sama orang, dia nggak peduli, dia bahkan kadang menyimpan kebencian segitunya. Tapi, mamaku, bahkan ketika dia nggak punya duit, kalau ada orang yang minta karena butuh, ia pasti kasih. Ketika aku tanya kenapa, dia bilang, “Itu rezekinya orang itu. Tuhan kasih lewat Mama.”

Aku tanya dong, “Kalau gitu gimana, ustaz?” Masa iya Tuhan seegois itu, hanya karena dia Islam, tapi dia berkelakuan buruk, bisa masuk surga. Tapi, mamaku yang sebaik itu sama orang lain nggak masuk surga.

Guru ngajiku bilang bahwa satu-satunya yang bisa bikin orang masuk surga itu bukan salat, bukan ngaji, bukan sedekah, bukan juga haji. Tapi, cuma rida-nya Allah. Salat, sedekah, ngaji, itu hanya membantu manusia untuk mendapatkan rida Allah.

Jadi, kalau ada si A yang rajin shalat, dan si B yang nggak rajin shalat, nggak bisa si A ngomong ke si B, “Ah kafir lo, nggak solat lo, solat dong kayak gue biar masuk surga.” Itu nggak boleh. Karena kita juga nggak tahu itu salat diterima atau nggak.

Ustazku kemudian bilang lagi. Ada orang yang berhasil berangkat salat subuh ke masjid waktu pagi, tapi gagal waktu balik. Dia berhasil karena dia mampu melawan kantuknya, mengambil air wudhu, hingga berangkat ke Masjid. Tapi, dia gagal saat pulang karena dia melihat ada teman atau tetangganya yang masih tidur dan dia merasa dia lebih baik dari orang itu.

Dari obrolanku sama ustaz, aku menangkap bahwa agama itu seperti kacamata kuda, yang dipelajari dan didalami untuk refleksi diri. Untuk bertanya-tanya apakah aku udah baik, udah menjadi versi terbaik diriku atau belum. Bukan untuk jadi kaca pembesar yang fokus ke kesalahan orang lain.

Jadi ya, sedalam-dalamnya ilmu agama lo, sepintar-pintarnya lo dalam penerapan ilmu agama, itu buat diri lo sendiri. Bukan itu untuk memberikan lo title, atau membuat lo memiliki privilegeuntuk mencap orang lain kafir dan akan masuk neraka. Sama sekali bukan.

Tapi, yang aku lihat di Indonesia sekarang, agama dipakai untuk jadi kaca pembesar untuk mencari kesalahan orang lain. Ribut terus, padahal intinya agama adalah untuk menjadi akur. Sebenarnya aku tahu itu bukan salah agamanya, itu salah orangnya. Salah isi hati masing-masing. Salah penafsirannya, dan mungkin salah gurunya. Doktrinnya nggak beres.

Aku tahu ilmu agamaku tidak banyak, sangat terbatas, dan cetek. Cuma, yang aku tahu pasti, Islam tidak mengajarkan untuk pecah belah. Islam nggak mengajarkan untuk teriak-teriak kafir. Jadi buat temen-temen yang masih terlalu menjadikan agama sebagai suatu tembok untuk berteman dan segala macam, ayolah, dunia nggak sesempit itu.

Kalau misalkan benci banget sama kafir ya jangan pakai mobil, pakai HP. Itu yang bikin siapa? Maksudku, mereka jadi kayak tebang pilih gitu. Pilih yang menguntungkan buat mereka, “Ya udah kan emang gue butuh.” Tapi begitu ada orang non-Muslim, dikata-katain. Nggak masuk akal.

Share: Merayakan Natal di Keluarga Beda Agama: “Aku Pagi Dengar Lagu Rohani, Siang Jumatan”