Isu Terkini

Karena Setiap Orang Berhak atas Cinta dan Gairah yang Menyala

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Faisal Irfani/Asumsi

“Kayak biasa, ya,” ujar seorang laki-laki berbadan tegap yang wajahnya tertutup rapat oleh helm dan masker. Gesturnya kikuk, dan dia terlihat buru-buru ingin meninggalkan tempat itu. Tak sampai satu menit, urusannya selesai.

“Langganan, Bang,” kata Aryo kepada saya. “Ya, kira-kira, seminggu bisa dateng dua kali. Jadi udah hafal,” dia menambahkan seraya tersenyum.

Jalanan Gunung Sahari Raya, Jakarta Pusat, tampak begitu lengang. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas dan belum ada tanda-tanda Aryo akan membereskan lapaknya. Sudah hampir empat jam dia berjualan, baru tiga pembeli yang mampir ke toko kecilnya itu.

“Sehari-hari, ya, begini, Bang,” katanya. “Gara-gara Corona, nih,” tambahnya disertai tawa yang sedikit dipaksakan, seolah ingin menegaskan bahwa dirinya sudah kokoh diterjang badai.

Pandemi COVID-19 selama sembilan bulan terakhir, tak bisa dimungkiri, telah bikin lesu perdagangan, tak terkecuali bisnis obat kuat seperti yang dijalani Aryo.

“Sebelum pandemi itu semalem cepek [Rp100 ribu] bisa dapetlah,” keluhnya. “Sekarang buat dapet segitu aja susahnya minta ampun.” Lima tahun Aryo mengelola lapak obat kuat, dan baru kali ini dia merasa cobaan amat berat.

Aryo datang ke Jakarta untuk mencari peruntungan lebih baik. Lulusan SMA asal Garut, Jawa Barat, ini datang ke ibu kota hanya bermodalkan tekad kuat serta sedikit koneksi sesama perantau dari kampung halamannya. Pekerjaan pertama yang dia lakoni adalah pengantar paket barang di sebuah perusahaan swasta.

Dua tahun berjalan, Aryo merasa tak betah karena, menurut pengakuannya, “jam kerja yang ugal-ugalan.” Dia pun mundur. Setelah itu, dia punya keinginan yang tak kelewat muluk: bisa bekerja dengan santai walaupun penghasilan yang diterima tidak seberapa.

Gayung bersambut. Dari seorang kawan yang dikenalnya di warung kopi di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Aryo ditawari mengurus lapak obat kuat. “Kerjaannya gampang, cuma jaga lapak,” kata Aryo mengulang kembali tawaran temannya itu.

Pada mulanya, rasa malu menyelimuti diri Aryo. Pekerjaan itu membikin dia jadi bahan guyonan di lingkaran tongkrongan teman-temannya. Akan tetapi, lambat laun, perasaan malu tersebut berubah jadi sikap masa bodoh. Dia percaya apa yang dilakukannya tak melanggar norma dan aturan agama. Atau lebih tepatnya, merujuk pernyataannya, “yang penting halal.”

“Yang penting saya bisa makan, dan kerjaan [mengurus lapak] juga santai, sesuai apa yang saya inginkan,” jawab pria 35 tahun ini. “Kalau soal omongan orang, mah, nanti juga hilang dengan sendirinya.”

***

Lapak obat kuat di Jakarta punya fasad yang khas, seperti warung kopi tetapi penuh tulisan yang sekilas tak terpahami. Rupanya itu merek-merek suplemen yang dijual di dalam.

Saya berjumpa Budi di bilangan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pemuda asal Palembang, Sumatera Selatan, ini sudah tiga tahun bekerja sebagai pengelola lapak obat kuat. Sebelumnya, dia seorang office boy di sebuah kantor swasta.

“Banyak yang kosong, nih, Bang,” katanya sembari mengecek etalase. “Belum ngambil lagi. Adanya, ya, cuma ini.”

Saya mengamati barang-barang dagangan Budi. Secara garis besar, dan ini berlaku hampir di setiap lapak, obat kuat yang diperjualkan berasal dari dua saluran: dalam dan luar negeri. Jenisnya pun terbagi dua, ada yang herbal, ada pula yang pil kimia.

Berbagai jenis “obat kuat” yang dipajang di lapak. Kamu bisa menebusnya dengan harga paling rendah sekitar Rp25 ribu. Produk impor, menurut keterangan penjaga lapak, tetap jadi buruan. (Faisal Irfani/Asumsi)

Untuk versi impor, wajah obat kuat termanifestasi lewat jenama macam Tadalafil, Vimax, sampai yang termasyhur: Viagra. Sementara barang dalam negeri diwakilkan oleh produk-produk dengan nama yang unik seperti Urat Madu Black, Black Mamba, Jaguar Black, hingga Okura (Obat Kuat Pria).

Harga obat kuat dibanderol bervariasi. Kalau ingin membeli Viagra, misalnya, Anda mesti membayar hingga Rp50 ribu untuk tiga pil. Tetapi bila Anda tertarik dengan produk lokal, cukup separuhnya.

“Sebetulnya sama aja, Bang. Cuma, kan, orang-orang sering ngelihatnya yang dari luar negeri itu lebih mantep,” kata Budi.

Setiap obat kuat punya ciri visualnya masing-masing. Beberapa dikemas secara elegan, dengan desain sampul yang hanya menyertakan nama produknya, seperti yang terlihat pada Vimax atau Viagra. Sedangkan yang lain berupaya tampil menonjol, bahkan sampai menyertakan reka adegan intim yang biasa Anda saksikan di film-film porno 1980-an.

Namun, yang paling menarik perhatian saya: kemasan produk-produk dalam negeri kebanyakan membawa elemen hewan di bungkusnya. Saya mengamati ada kuda, jaguar, hingga kalajengking yang bersanding dengan jelas dengan nama-nama produk.

Salah satu produk “obat kuat” bikinan lokal. Menyertakan elemen jaguar yang bersanding jelas dengan nama produk. (Faisal Irfani/Asumsi)

Penjelasan Budi cukup masuk akal. Menurutnya, penyertaan hewan-hewan dalam produk obat kuat tak lepas dari persepsi umum yang menyebut bahwa konsumen utama dari obat-obat ini adalah laki-laki. Setelah melahap obat kuat, laki-laki diharapkan bisa tampil di ranjang segarang, katakanlah, jaguar.

“Yang beli emang kebanyakan laki-laki, umur 40-an tahun ke atas,” ujarnya disusul tawa lepas. “Kalau yang muda jarang banget beli.”

Hubungan seks yang kerap diterjemahkan sebagai aktivitas maskulin tak pelak membuat saya bertanya-tanya: bagaimana dengan perempuan yang juga ingin tampil prima?

“Kalau di sini [obat] buat perempuan enggak ada, Bang,” kata Budi. “Paling yang ada itu vibrator.”

Di negara “moralis” seperti Indonesia, ketika pembicaraan tentang kegiatan ranjang tabu dibahas, kehadiran lapak-lapak obat kuat di tengah kota tak ubahnya seperti pemandangan dari dunia lain. Firman, penjaga lapak obat kuat di Gunung Sahari, mengaku para konsumen datang tanpa rasa malu.

“Memang ada yang kalau dateng itu wajahnya ditutupi helm atau masker. Tapi, jumlahnya enggak banyak. Yang dateng ke sini, ya, udah biasa aja. Beli tinggal beli,” pemuda 20 tahun ini memberi tahu saya.

Firman tak salah. Sejauh mata memandang, di kawasan Pasar Baru hingga Mangga Besar, lapak-lapak obat kuat berdiri di samping kiri dan kanan jalan. Tak ada yang bersembunyi dalam gelap. Semua, baik pedagang maupun pembeli, berkumpul dan bertransaksi tanpa malu, merayakan kebutuhan penunjang vitalitas dengan suka cita.

Banyaknya lapak obat kuat di Jakarta tak dapat dipisahkan dengan statusnya sebagai kota besar dan ibu kota Indonesia. Tentu pemandangannya akan berbeda jauh apabila Anda mengunjungi kota-kota kecil di ujung Kalimantan atau Sulawesi.

Di Jakarta sendiri, lapak-lapak obat kuat tersebar di berbagai sudut. Akan tetapi, jika Anda mencari yang paling ramai, pilihan mengerucut ke tiga lokasi: Jatinegara, Pasar Baru, atau Mangga Besar.

Di sana, lapak-lapak obat kuat seolah mengingatkan kita bahwa urusan ranjang adalah bagian dari keseharian. Kenapa malu-malu?

***

Andi sedang menatap gawainya saat saya menemuinya di bilangan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Jemarinya tak henti menekan layar dan sesekali dia tertawa lebar dibuatnya. Saya duga karena menyaksikan meme atau membaca lelucon bapak-bapak yang beredar di grup percakapan WhatsApp.

Mencari pria ini ternyata butuh usaha ekstra. Saya mesti bertanya lebih dari tiga kali untuk memastikan di mana keberadaannya. Hingga akhirnya, selepas berputar-putar, kami bersua tepat di samping hotel Classic yang tak ramai seperti biasanya.

Di kancah bisnis obat kuat, Andi bukan sosok sembarangan. Dia adalah bos para penjaga lapak obat, termasuk Firman. Sejak awal saya berpikir bahwa dia misterius dan tak bersedia diajak bertukar obrolan, lebih-lebih dengan wartawan. Tapi, anggapan tersebut langsung runtuh tatkala Andi menyambut saya dengan terbuka.

“Yang penting nggak difoto aja, Bang,” katanya membuka perbincangan.

Datang ke Jakarta dari Tasikmalaya, sekira 10 tahun silam, Andi awalnya mengumpulkan pundi-pundi uang dengan berdagang dan membuka warung makanan di pasar. Usaha itu dia jalani selama kurang lebih tiga tahun, sampai Andi merasa bahwa pemasukannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama setelah buah hatinya bertambah jadi dua orang.

Didorong keinginan hidup layak, Andi mencari peluang ke mana pun angin membawanya berlabuh.

“Dulu saya cuma jaga lapak orang. Setelah mengumpulkan pengalaman dan belajar mengelola ini kecil-kecilan, saya kemudian berusaha bikin usaha sendiri,” katanya bercerita.

Bentuk lapak obat kuat cukup mudah diingat. Selalu ada tulisan “obat kuat,” “Viagra,” serta nomor yang dapat dilihat dari kejauhan. “Biar ingat aja,” kata Firman, penjaga lapak obat kuat saat ditanya perihal keberadaan nomor tersebut. (Faisal Irfani/Asumsi)

Bermodal uang simpanan dan pinjaman dari tetangga, Andi membeli empat kios kecil buat berdagang obat kuat. Keputusan mandiri ini dipilih Andi bukan tanpa sebab. Dia berkeyakinan bahwa bisnis obat kuat cukup menggiurkan usai melihat pengalaman teman-temannya.

“Balik modalnya nggak butuh waktu lama,” tegasnya. “Dulu saya hanya perlu tiga sampai empat bulan aja udah balik modal. Setelahnya, alhamdulillah, lancar. Kecuali saat Corona seperti sekarang, ya. Susah.”

Sejauh ini, belum ada taksiran pasti berapa perputaran bisnis obat kuat seperti yang dijalani Andi. Beberapa pihak menyebut jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah.

Menurut pengakuan Andi, dalam sebulan, dia memperoleh kurang lebih empat sampai lima juta. Setelah dikurangi untuk keperluan gaji harian pegawai—tergantung berapa produk yang berhasil dijual—hingga biaya “keamanan” aparat dan ormas setempat, dia dapat membawa pulang bersih sebesar dua juta.

Biaya “keamanan” aparat merupakan faktor penting dalam melihat bisnis obat kuat jalanan. Pasalnya, bila merujuk aturan yang ada, apa yang dilakukan Andi—dan semua pelapak obat kuat di Jakarta—adalah tindakan melanggar ketentuan.

Bagi pemerintah, diwakili Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), istilah “obat kuat” tidak ada dalam buku panduan—dan kedokteran pada umumnya—karena ketidakjelasan arah pengobatan yang hendak dicapai. BPOM tak pernah mengeluarkan izin edar untuk obat kuat.

Bila konteksnya ialah urusan ranjang, pemerintah cuma mengakui ihwal “disfungsi ereksi,” yang izin edarnya hanya diberikan untuk tiga obat—Tadalafil, Sildenafil, Avanafil & Vardenafil—serta harus sesuai resep maupun pengawasan dokter.

Karena ketentuan itulah pihak pemerintah tak ragu menindak siapa saja yang mengedarkan “obat kuat” secara ilegal.

Oktober 2018 silam, di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, BPOM dan Polri mengungkap pabrik yang menjual obat-obatan secara ilegal di kanal daring. Penyidik menemukan 291 macam obat ilegal, termasuk di antaranya Viagra, Cialis, hingga Max Man.

Urusan seks di Indonesia kerap jadi pelik ketika sudah berhadapan dengan regulasi. Tidak hanya obat-obatan, mainan seks pun, baru-baru ini, juga jadi sasaran aparat Bea Cukai Bandung untuk dimusnahkan. Jumlahnya tak tanggung-tanggung: mencapai 400-an buah. Keberadaan mereka dinilai melanggar ketentuan yang termaktub dalam UU Pornografi.

Andi bukannya tak paham atas situasi—dan konsekuensi—tersebut. Namun, waktu telah mengajarinya banyak cara untuk bertahan supaya tak tersapu ombak aturan. Bersama beberapa bos yang lain, dia mengaku sudah punya kiat khusus agar tak terjerat pasal-pasal hukum. Kendati pemerintah bertindak tegas, atau setidaknya mencitrakan diri seperti itu, dia percaya bahwa tetap ada celah untuk selamat.

Bila merujuk pada aturan pemerintah, keberadaan lapak obat kuat di pinggir jalan ini sebetulnya melanggar ketentuan. Pasalnya, pemanfaatan “obat kuat” harus melalui pengawasan serta resep dari dokter, alias tak bisa sembarangan. (Faisal Irfani/Asumsi)

Misalnya, dengan bos-bos lapak satu lingkarannya, Andi membentuk simpul jaringan bisnis yang kokoh. Di luar upeti yang diberikan kepada aparat, mereka memanfaatkan ruang-ruang daring, entah itu media sosial maupun marketplace, guna memperoleh barang yang diinginkan. Bila ada pemasok yang berurusan dengan hukum, Andi dan kawan-kawannya tinggal mencari pemasok lainnya.

“Ibarat kata, mati satu tumbuh seribu,” ucapnya. “Karena banyak sekali yang jual [obat kuat]. Pemerintah bakal repot sekali kalau ingin mengawasi semuanya.”

Kendati dilakukan secara “diam-diam,” Andi menjamin bahwa barang yang dia jual aman dikonsumsi. Ada dua patokan yang dia pakai. Pertama, Andi tak akan membeli barang yang terlihat ‘mencurigakan’ dan tak jelas identitasnya sekalipun barang tersebut dipatok dengan harga murah. Kedua, sampai sekarang, klaim Andi, tak pernah preseden konsumen melayangkan komplain—sakit badan dan semacamnya—setelah menggunakan obat yang dijual Andi.

Berbisnis obat kuat bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlepas dari wujud kiosnya yang sederhana, terdapat bermacam rupa tantangan yang hadir di depan mata: potensi diciduk pemerintah, ancaman gangguan kesehatan, hingga pendapatan yang tak tentu jumlahnya terutama pada musim kere seperti sekarang.

Walaupun demikian, Andi tak mau menyerah. Baginya, setiap orang berhak tampil istimewa di atas ranjang, dengan hasrat dan cinta yang menyala-nyala. Dan tugas Andi adalah menyediakan kesempatan.

*Aryo dan Budi adalah nama samaran. Kedua narasumber meminta identitas mereka dilindungi

Share: Karena Setiap Orang Berhak atas Cinta dan Gairah yang Menyala