Isu Terkini

Menilik Qanun Pendidikan Kebencanaan di Aceh

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

DPR Aceh (DPRA) telah membahas Rancangan Qanun (peraturan daerah) Aceh tentang Pendidikan Kebencanaan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung Utama DPRA, Senin, (16/11/20).

“Pemangku kepentingan di Aceh memandang penting mendidik masyarakat semenjak di bangku sekolah tentang mitigasi bencana,” kata Dahlan Jamaluddin dalam sambutan tertulisnya yang diterima Asumsi.co, Senin (16/11).

Dahlan mengatakan bencana tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 merupakan titik balik. Bencana itu meningkatkan kesadaran masyarakat Aceh tentang pentingnya mitigasi bencana. Kata Dahlan, mereka berharap budaya sadar bencana dapat memperkecil risiko kematian apabila bencana hadir kembali.

“Langkah pemberian pendidikan kebencanaan ini sangat perlu sebagai titik tolak dari manajemen bencana. Hal tersebut untuk mengurangi korban,” ucap politikus Partai Aceh itu.

Dahlan pun berharap masyarakat Aceh menjadi pelopor mitigasi bencana di Indonesia.

Dari Simulasi Sampai Penerapan

Sementara itu, Ketua Komisi V DPRA Rizal Falevi Kirani menjelaskan bahwa pendidikan kebencanaan adalah upaya untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang tanggap dan siaga terhadap bencana.

“Bahwa rancangan qanun pendidikan kebencanaan kita ini target utamanya adalah bagaimana masyarakat sadar bencana, sehingga itu menjadi mainstream bagi masyarakat Aceh,” kata Rizal saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (17/11).

“Yang kedua, bagi kami rakyat Aceh, kami sudah berpengalaman. Pertama, dengan tsunami, kemudian dengan berbagai gempa bumi yang beberapa kali terjadi,” ucapnya lagi.

Rizal menyampaikan bahwa sebelum para pelajar, dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, pendidik harus lebih dulu memahami manajemen bencana. Jadi untuk tahap pertama, yang disasar adalah para pengajar pendidikan formal, non-formal, dan informal.

“Semua leading sector kita masuk kepada substansi bahwa setiap orang Aceh itu dan setiap orang yang lahir di Aceh itu wajib memahami kebencanaan.”

Dalam tim yang menggodok qanun ini, pemerintah diwakili Dinas Pendidikan dan Dinas Pendidikan Dayah, Dinas Syariat Islam, dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA). Rizal mengatakan nantinya leading sector dari dinas ini yang akan mengimplementasikannya di pesantren-pesantren ataupun pendidikan-pendidikan non-formal lainnya.

Rizal menyebut Sidang Paripurna sekaligus pengesahan qanun ini akan dilakukan pada pada pertengahan Desember.

Pendekatan Gerakan Kebudayaan

Fauzan Santa, Rektor Sekolah Menulis Dokarim dan Anggota Jaringan Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan Aceh, mempertanyakan apakah Qanun Pendidikan Kebencanaan tersebut dapat efektif di masyarakat.

“Mitigasi bencana harus menjadi bagian dari sikap waspada harian kita. Teknologi juga tak selalu tepat mengadaptasi situasi krusial. Simulasi-simulasi formal akan dianggap program reguler pemerintah saja tanpa penyadaran akan krisis di tengah masyarakat,” kata Fauzan lewat pesan singkat kepada Asumsi.co, Selasa (17/11).

Menurut Fauzan, Qanun Pendidikan Kebencanaan harus diturunkan dalam aksi-aksi konkret harian pada peserta-didik lewat kurikulum dan ekstrakurikuler yang mengadopsi pengetahuan kultural dan alamiah masyarakat yang banyak termaktub dalam manuskrip klasik Aceh serta tradisi lisan rakyat.

Selain itu, lanjutnya, pendidik juga harus terlibat, baik itu kalangan non-PNS atau guru reguler. Demikian pula komunitas seni budaya, seniman dan pelaku adat agar proses pembelajaran menjadi lebih mendalam. Sehingga tak lepas dari akar tradisi kebencanaan yang memang sudah lama bersemayam dalam alam bawah-sadar rakyat–yang mugkin selama ini terlupakan akibat sistem pendidikan formal yang ketat dan tidak kreatif.

“Hemat saya, qanun perlu mengamanatkan pembentukan sebuah komisi kebencanaan Aceh yang bekerja sebagai konseptor dan evaluator kebijakan kebencanaan di wilayah Aceh yang berkoordinasi dengan BNPB Aceh dan komunitas swasta yang bergerak di bidang literasi kebencanaan. Kecerdasan alamiah sangat strategis untuk mitigasi bencana,” ucap Fauzan.

Fauzan menyebut Sekolah Dokarim juga sudah menebitkan buku kumpulan naskah kebencanaan berjudul “Kitab Marabahaya” dan serial komik “Cegah Dini” untuk dibagikan dalam acara-acara pendidikan, workshop dan pelatihan kreatif mitigasi bencana bagi mahasiswa dan pelajar di Aceh.

Fauzan mengatakan selama ini, Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan telah melakukan pendekatan-pendekatan mitigasi bencana lewat gerakan kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan adalah suatu tindakan harian, ada kesadaran bersama, spontanitas bersama ketika kita hidup di tanah rawan bencana.

“Melalui TV Eng Ong, sastra, novel grafis atau komik, sejauh ini itu yang kita lakukan. Untuk menciptakan kesadaran refleksionistik dari masyarakat bahwa kita hidup di tanah bencana. Binaan kita anak-anak sekolah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fauzan menjelaskan bahwa materi-materi tersebut dikembangkan dari sesuatu yang berangkat dan telah tumbuh lebih jauh dalam masyarakat. “Harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Misalnya, yang senang menggambar dan senang menulis kemudian diarahkan pada gagasan-gagasan mitigasi bencana ini.”

Pendidikan Kebencanaan Jepang

Bicara pendidikan kebencanaan, Jepang–sebagai negara yang rawan bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami dan angin topan–memiliki sejarah pendidikan kebencanaan yang panjang dan sudah lebih dulu menerapkannya. Di sekolah, pendidikan bencana Jepang diatur di bawah Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Sekolah, dalam kerangka kebijakan multi-bahaya yang disebut ‘Keamanan Sekolah’.

Bencana yang populer dengan sebutan Hanshin Awaji Earthquake (1995) menjadi titik awal pendidikan bencana Jepang dan penanggulangan bencana di sekolah. Kaori Kitagawa, seorang peneliti di Cass School of Education and Communities, University of East London, menyebut UU tersebut mengharuskan setiap sekolah, dengan bimbingan dari Kementerian Pendidikan, untuk mengembangkan dan melaksanakan Rencana Keselamatan Sekolah.

“Persyaratan kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi berbagai bahaya juga ditentukan dalam kurikulum nasional, dengan masing-masing sekolah diwajibkan untuk menerapkan inisiatif keselamatan yang sesuai,” kata Kitagawa.

Lebih lanjut, Kitagawa mengungkapkan pendidikan bencana juga merupakan kebutuhan bagi staf sekolah, melalui mana mereka memperoleh pengetahuan ilmiah tentang bencana serta keterampilan pertolongan pertama dan konseling.

Secara historis, tanggap bencana yang diorganisir oleh sukarelawan di Jepang telah mengambil peran yang berbeda dari bentuk kelompok yang didanai publik. Salah satu aspek kritisnya adalah gotong royong antar lingkungan sekitar, di mana sebagian besar kelurahan di kota besar dan kecil memiliki organisasi relawan pencegahan bencana (jishu bosai soshiki) bersama dengan asosiasi lingkungan (chonaikai), yang biasanya dipimpin oleh pensiunan pemadam kebakaran dan tokoh masyarakat.

“Bekerja sama dengan pemerintah kota, organisasi relawan mengatur acara peningkatan kesadaran serta latihan bencana untuk masyarakat.”

Selain itu, tren positif lainnya dari pendidikan kebencanaan ini adalah munculnya gagasan ‘kesiapsiagaan sehari-hari’ (seikatsu bosai). Awalnya didukung oleh Profesor Katsuya Yamori dari Universitas Kyoto, tujuannya adalah untuk menanamkan pemikiran dan perilaku waspada dalam kehidupan sehari-hari, daripada memperlakukan pendidikan bencana sebagai aktivitas tambahan.

“Kesiapan sehari-hari dikembangkan oleh warga, untuk warga. Tren dalam bantuan bencana seperti itu meningkatkan kemampuan Jepang untuk hidup dalam bencana, ketimbang menjadi korbannya.”

Pentingnya pendidikan kebencanaan di Jepang ini pun telah terbukti ampuh, misalnya saat bencana Tsunami Jepang pada 2011 silam. Saat itu, gempa berkekuatan 9 skala richter yang memicu tsunami melanda kawasan utara Jepang pada 11 Maret 2011. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 15.800 jiwa dan 2.600 orang dinyatakan hilang.

Namun, hampir 3.000 siswa sekolah dasar dan menengah di Kota Kamaishi, Prefektur Iwate, berhasil selamat dari bencana dahsyat itu. Sesaat setelah gempa mengguncang, para siswa di Kamaishi East Junior High School keluar dari gedung sekolah dan berlari menuju tempat yang lebih tinggi. Respons cepat mereka membuat siswa dan guru di sekolah dasar Unosumai mengikutinya dan membuat penduduk setempat mengikuti langkah tersebut.

Dilansir dari laman Kantor Hubungan Masyarakat Pemerintah Jepang, sekitar 1.000 orang di Kamaishi menjadi korban jiwa akibat peristiwa tersebut. Namun hanya lima di antara mereka yang berusia sekolah dan memang tidak berada di sekolah ketika gempa itu terjadi. Kisah evakuasi sukses tersebut dikenal sebagai “the miracle of Kamaishi”.

Faktanya, respons cepat mereka merupakan hasil dari pendidikan pencegahan bencana yang dilakukan sekolah-sekolah di Kamaishi selama beberapa tahun di bawah bimbingan seorang profesor teknik sipil di Gunma University, Toshitaka Katada.

Katada mulai fokus dalam pencegahan bencana tsunami setelah ia menyaksikan bencana gempa dan tsunami dahsyat yang menimpa Aceh pada 2004. Ia merasa khawatir melihat fakta bahwa tingkat siaga masyarakat masih rendah, meski wilayah pesisir Jepang telah memperingatkan akan gempa bumi.

Share: Menilik Qanun Pendidikan Kebencanaan di Aceh