Ilustrasi: Asumsi.co/Ibam
Hidup Bintang Adamas (26 tahun) jauh dari kata tenang selama pandemi COVID-19. Satu per satu orang terdekatnya tertular COVID-19 hingga ada anggota keluarganya yang meninggal dunia. Bagaikan langit runtuh, kedua orang tuanya juga didiagnosis positif COVID-19 dan mesti diisolasi di rumah sakit.
Deretan bencana itu memperparah kondisi kesehatan jiwa Bintang yang juga mengidap gangguan bipolar. Kedua orang tuanya yang sempat takut dan menolak untuk dirawat inap di rumah sakit membuat kondisi kejiwaannya semakin terpuruk dan emosinya tidak terkontrol.
“Banyak situasi di rumah yang akhirnya gue break down. Gue sampai teriak-teriak, sampai bicara pakai ‘gue, lo’ ke orang tua. ‘Lo nggak mau ke rumah sakit, kalau meninggal gue nggak bisa salat-in lo,’” ceritanya.
“Sebenarnya setelah gue pikir-pikir jadi agak kontraproduktif. Tapi ya banyak kejadian seperti itu kemarin, yang mestinya gue bisa menghadapinya dengan lebih tenang.”
Sejak didiagnosis mengidap gangguan bipolar pada 2016, Bintang telah secara rutin melakukan konsultasi dengan psikiater dan psikolog untuk membantu meregulasi emosinya. Berkat dukungan dari kawan-kawannya pula, kondisinya jadi relatif stabil. Namun, pandemi memporak-porandakannya.
“Ketika sedang nggak pandemi, gue bisa ketemu teman-teman dan ngobrol-ngobrol andaikan gue lagi depresi. Ibaratnya jadi rehat sejenak,” ujar Bintang.
“Tapi, sejak pandemi, gangguan kecemasannya benar-benar to the roof. Mungkin terakhir merasakan seperti ini ketika zaman-zaman SMA. Habis itu sudah nggak pernah lagi karena sudah lebih paham situasi.”
Gangguan terhadap kesehatan jiwa telah menjadi masalah serius selama pandemi. Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyorot kenaikan signifikan angka gejala depresi dan kecemasan di seluruh dunia.
Di Indonesia, gelombang kenaikan kasus ini juga diutarakan oleh para psikiater dan psikolog. Psikiater Dharmawan A. Purnama yang berpraktik di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta menyampaikan bahwa dirinya banyak menerima pasien baru yang memiliki gangguan kecemasan ataupun gangguan obsessive compulsive (OCD).
“Biasanya pasien baru obsessive compulsive nggak sebanyak ini. Dalam kurun waktu 2-3 bulan ini ada lima pasien obsessive compulsive yang baru. Pasien yang lama pun juga masih ada dan jumlahnya naik turun,” ujarnya ketika ditemui di rumah sakit.
Menurut Dharmawan, pasien dengan gangguan obsessive compulsive ini memiliki rasa cemas berlebih akan terkontaminasi virus. “Takut kontaminasi, dia mesti memastikan ritualnya sudah benar. Kalau pulang ke rumah dia harus bagaimana dulu. Mesti menyediakan kantong di depan untuk menaruh pakaian. Kalau ritualnya nggak tepat, dia jadi bingung. Semuanya mesti diulangi lagi.”
Ada pula pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh. “Ada yang dia setiap kali melihat ambulans, mendengar bunyi sirine, jadi kayak mengalami post-traumatic disorder (PTSD). Dia ketakutan banget dan jadi nge-blank. Ada juga yang terlalu lama terisolasi dan mengalami yang namanya cabin fever syndrome: jadi cemas, depresi, punya gangguan tidur yang berat.”
Psikolog Anna Deasyana di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, menemukan bahwa banyak pasien lamanya yang kembali melakukan konseling karena kondisi kejiwaan yang kembali berantakan. “Pasien yang lama itu adalah yang tadinya sudah sempat stabil. Banyak juga yang sudah tidak ke saya lagi. Begitu sekarang balik ke saya, memang kayak, ‘Kenapa ya aku jadi gampang menangis lagi.’”
Berdasarkan hasil temuan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, ada tiga masalah kesehatan jiwa terbesar yang terjadi selama pandemi, yaitu kesulitan untuk berkonsentrasi atau belajar (25,76%), stres (23,87%), dan cemas (18,85%). Observasi oleh sekitar 160 psikolog terhadap total 14.000 pasien selama April-September 2020 ini juga memperlihatkan bentuk-bentuk masalah kesehatan jiwa lain, termasuk gangguan jiwa berat seperti depresi, bipolar, hingga tendensi untuk melukai diri sendiri (self-harm).
Annelia Sari Sani selaku Ketua Satgas Penanganan COVID-19 IPK Indonesia pun mengonfirmasi bahwa persoalan kesehatan jiwa ini adalah dampak tidak terelakkan dari pandemi. “Pandemi ini pasti akan menimbulkan berbagai dampak psikologis. Secara teoritis tak terelakkan: sekitar minimal 25% populasi akan mengalami dampak yang paling berat, mungkin masalah kejiwaan atau gangguan jiwa,” ujar Annelia.
“Kami para psikolog, psikiater, dan tenaga kesehatan mental berusaha untuk meminimalisir ini. Kalau bisa nggak lebih dari 25%—kalau cuma 10% lebih baik. Tapi kalau sampai 0% itu hampir nggak mungkin.”
Keterbatasan Akses Layanan Kesehatan Jiwa
Selama pandemi pula, akses terhadap layanan kesehatan jiwa terdisrupsi. Konseling yang biasa dilakukan secara tatap muka, misalnya, terpaksa mesti beralih menjadi secara daring. Sementara itu, tak semua orang nyaman untuk konsultasi tanpa bertemu langsung.
Tomo Hartono (30 tahun) yang biasa melakukan konseling ke psikolog setiap satu bulan sekali menjadi terpaksa menghentikannya. “Soalnya kurang merasa aman dan nyaman aja. Berhubungan sama kondisi gue juga,” katanya yang merupakan pengidap gangguan bipolar.
“Ada memang beberapa kenalan yang rutin konseling online dan itu menolong banget buat mereka. Masalahnya, dengan kesehatan mental, kita perlu konseling one by one karena setiap orang punya kondisi yang beda-beda, sehingga butuh penanganan yang berbeda-beda pula.”
Alhasil, saat ini, ia merasa dirinya semakin sulit untuk meregulasi emosi dan kondisi kejiwaannya. “Biasanya kalau ada konseling gue ada akses sebulan sekali untuk menjejak: sebulan berikutnya gue akan kayak gini, bulan berikutnya begini. Sekarang nggak ada semua, jadi seperti harus membuat pegangan sendiri,” lanjut Tomo.
Apa yang dialami Tomo juga menjadi kasus yang banyak ditemukan oleh psikolog Anna Deasyana. “Pernah ada klien saya yang bilang bahwa emosinya nggak keluar kalau konseling secara online. Berasanya seperti nggak ketemu. Ada juga orang-orang yang nggak punya privilege dan tempat yang membuat mereka merasa nyaman untuk konseling secara online.”
Ada kekhawatiran keterbatasan akses terhadap layanan konseling ini menimbulkan kemacetan atau bottleneck: kenaikan kasus masalah kejiwaan justru terjadi ketika akses ke layanan kesehatan jiwa sedang terdisrupsi.
Apalagi, menurut Anna, kondisi pandemi membuat orang lebih tidak memiliki kapasitas untuk menerima curhat atau cerita dari orang lain. Hampir semua orang sedang ketakutan dan kelelahan dengan pandemi yang tidak kunjung berakhir. Ada pula dampak terhadap ekonomi, sosial, dan budaya yang berpotensi membuat orang semakin tertekan. “Ada isu resesi dan segala macam. Setiap orang sedang punya issue dan tidak semuanya siap untuk mendengarkan cerita temannya.”
Pandemi juga turut menguak masalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di sistem layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Data dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 2.782 psikolog klinis yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, yang berarti adalah 1 per 96.500 penduduk Indonesia. Jumlah ini begitu rendah jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO, yaitu jumlah tenaga psikolog dan psikiater mestinya punya porsi 1 per 30.000 penduduk atau 3 per 100.000 penduduk.
Persebaran psikolog pun tidak merata, seperti Kalimantan Utara yang hanya memiliki 1 psikolog, Nusa Tenggara Timur 8 psikolog, Sulawesi Tenggara 9 psikolog, Maluku 10 psikolog, dan Papua 9 psikolog.
Anna yang berpraktik di puskesmas menyoroti masih kewalahannya tenaga kesehatan mental menangani jumlah pasien yang terus meningkat. Sebagai satu-satunya psikolog di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, ia biasa menerima enam pasien setiap harinya sebelum pandemi. Kini, ia mesti mengurangi pasiennya menjadi dua saja per harinya karena ia juga mesti melakukan pendampingan psikososial bagi pasien COVID-19, keluarga, maupun tenaga kesehatan di seputaran Mampang.
Tak seperti di rumah sakit atau klinik swasta yang bisa langsung membuat janji konseling saat itu juga, butuh waktu sekitar satu bulan untuk membuat janji konseling dengan Anna. “Sekarang sudah mulai kembali waiting list selama sebulan. Oktober ini sudah penuh. Baru akan ada lagi November, itu pun sudah mau habis.”
Sementara itu, dengan lebih banyaknya jumlah penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, maka pasien berpotensi menumpuk di layanan kesehatan mental dengan harga yang murah seperti di puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD). “Dari lapisan ekonomi kita sebenarnya lebih besar di bawah. Psikolog-psikolog yang harganya murah itu punya kemungkinan besar untuk mengalami penumpukan pasien. Kalau mereka tidak pintar-pintar melakukan self-care, mereka sendiri bisa mengalami burn–out.”
Minim Tenaga Kesehatan Mental Berujung Kasus Bunuh Diri
Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan mental ini menjadi masalah kronis selama pandemi. Pasien-pasien terkonfirmasi COVID-19 yang memiliki masalah atau gangguan jiwa mesti ikut didampingi oleh tenaga kesehatan mental, tetapi kerap terhambat dengan kurangnya sumber daya manusia.
Padahal, menurut hasil observasi IPK terhadap pasien-pasien COVID-19, tak sedikit dari mereka cenderung mengalami masalah kejiwaan seperti kecemasan, merasa tertekan, hingga gejala trauma rendah dan tinggi. Kecemasan itu berbentuk macam-macam, mulai dari khawatir gejala COVID-19 yang dialami akan bertambah parah hingga kecemasan akan dikucilkan oleh orang-orang sekitar ketika mengetahui dirinya positif.
Pada satu kasus ekstrem, salah satu pasien COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran bunuh diri dengan cara melompat dari Tower 6. Annelia selaku Ketua Satgas COVID-19 Penanganan COVID IPK Indonesia mengakui bahwa salah satu faktor penyebab bunuh diri adalah tenaga medis yang kewalahan menangani jumlah pasien yang sedang melonjak saat itu—sehingga pasien yang memang dikatakan memiliki gangguan kejiwaan berat sebelum masuk rumah sakit tidak diawasi secara cukup intensif.
“Korban bunuh diri memang sudah ada masalah kejiwaan sebelum masuk Wisma Atlet, jadi bukan hanya terpicu karena positif COVID-19 dan kemudian mengalami isolasi. Ada predisposisi yang membuat dorongan bunuh diri semakin tinggi—ketika tidak menemukan jalan keluar yang baik dan jadi terjadilah. Ditambah lagi, memang itu sedang puncak-puncaknya jumlah pasien tidak sebanding dengan tenaga kami.”
Annelia mengatakan bahwa jumlah psikolog di Wisma Atlet Kemayoran tidak lebih dari 5 orang. Seringkali, jumlahnya kurang dari itu. Psikiater pun tidak ada yang berjaga di tempat, melainkan baru akan datang ketika dipanggil (on call). Dengan jumlah pasien COVID-19 di Wisma Atlet yang bisa mencapai ribuan, satu tenaga kesehatan mental mesti bertanggung jawab terhadap ratusan hingga ribuan pasien.
Siti Khalimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, mengatakan bahwa korban bunuh diri di Wisma Atlet Kemayoran ini sudah mendapatkan penanganan oleh psikiater. Namun, ia juga mengakui bahwa sistem isolasi yang tidak seketat dirawat inap di rumah sakit membuat pasien tidak begitu didampingi secara intensif.
Pihaknya saat ini masih berupaya untuk menambah psikolog dan perawat jiwa di Wisma Atlet Kemayoran yang saat ini diisi oleh IPK dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). “Kami sedang mencari-cari anggarannya, berusaha menambah psikolog dan perawat jiwa di sana supaya lebih intensift penanganannya,” ujar Khalimah.
Ketika ditanya soal prioritas Kementerian Kesehatan terhadap layanan kesehatan mental, Khalimah menjawab bahwa semua pihak sedang bergerak. Pedoman dukungan kesehatan jiwa dan psikososial telah disusun. Hotline khusus konseling disediakan di 119 extension 8. Kerja sama lintas sektor pun sedang dibangun. “Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama. Mereka semua menyatakan siap untuk bekerja bersama dengan kita.”
Meskipun begitu, para psikolog dan psikiater mengeluhkan kerja sama lintas sektor itu masih belum tercapai dengan baik. Psikiater Dharmawan A. Purnama yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jakarta Utara menyorot bagaimana stigma terhadap masalah kesehatan jiwa bahkan masih melekat di antara sesama tenaga kesehatan.
“Tenaga profesional saja nggak bisa membedakan dan memedulikan. Dianggapnya itu penyakit kurang iman saja. Di bidang keperawatan pun sama, perawat jiwa lebih distigma oleh perawat-perawat di bidang spesialisasi lain.”
Annelia menilai masih adanya ego sektoral yang membikin antar kementerian dan dinas belum dapat bekerja sama dengan baik. “Kalau kita tanya, kementerian A bagaimana koordinasinya dengan B? Jangankan koordinasi, diundang rapat saja setengah mati. Jadi negara kita nggak punya contingency plan. Nggak punya kerja sama lintas sektor.”
Minimnya kerja sama ini lantas berimbas ke masyarakat yang jadi minim teredukasi tentang pentingnya kesehatan jiwa—salah satunya terlihat dari proses screening pasien COVID-19 yang terkendala karena tidak semua sukarela untuk diperiksa kesehatan jiwanya.
“Ketika pasien bersedia mengikuti screening, maka kita akan lebih cepat mengidentifikasi kalau dia punya masalah berat. Tapi masyarakat kita memang tidak teredukasi tentang pentingnya kesehatan mental. Berpikir kalau fisik sudah sehat maka otomatis yang lain baik-baik saja,” ujar Annelia.
“Kalau ditarik lebih besar lagi, ini menunjukkan betapa masalah kesehatan mental bukanlah sebuah prioritas di negara kita.”
Laporan ini adalah hasil kolaborasi antara Asumsi.co dan VICE Indonesia terkait situasi sistem layanan kesehatan mental di Indonesia selama masa pandemi COVID-19.