Ada secercah harapan bagi para calon pelancong dan pelaku industri penerbangan mancanegara. Sebuah riset teranyar menunjukkan bahwa–dalam keadaan khusus dan di bawah protokol kesehatan yang ultra ketat–resiko penularan COVID-19 di dalam kabin pesawat amat minim.
Temuan ini dijabarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh sekumpulan akademisi di Jerman dan terbit di jurnal medis JAMA Network Open. Tim riset di Jerman menelisik kemungkinan terjadinya penularan COVID-19 dalam kasus penerbangan komersial dari Tel Aviv, Israel ke Frankfurt, Jerman, yang terjadi pada Maret 2020 lalu.
Dalam pesawat tersebut, para penumpang terbang bersamaan dengan tujuh orang pelancong yang rupanya sudah terpapar COVID-19. Dalam keadaan berdesak-desakan tersebut, rupanya hanya dua orang penumpang dan kru kabin yang kemudian tertular COVID-19. Berdasarkan tingkat penularan yang amat rendah tersebut, terdapat indikasi kuat bahwa meski kemungkinan penularan tetap ada, resikonya termasuk minim.
Persoalannya kini, apa yang menyebabkan penularan di pesawat lebih sukar terjadi? Riset tersebut menyatakan bahwa kemungkinan penularan dipengaruhi oleh faktor seperti pergerakan penumpang dan pergerakan antar penumpang. Kedekatan dengan penumpang yang telah tertular juga berpengaruh–dua orang yang tertular duduk hanya dua baris dari penumpang yang positif COVID-19.
Faktor lain di antaranya adalah teknologi pengaliran udara di pesawat yang lebih efektif menghabisi partikel virus. Udara di dalam kabin pesawat modern diganti dengan udara segar setiap 2-3 menit, sehingga sirkulasi udara yang mungkin membawa partikel virus diminimalisir. Selain itu, sistem pendingin udara di pesawat umumnya dilengkapi filter udara yang menjebak 99,99 persen partikel.
Namun, faktor yang paling berpengaruh dalam mencegah penyebaran COVID-19 rupanya sederhana saja: penerapan jaga jarak dan protokol kesehatan yang ketat. Penggunaan masker wajib, pengukuran suhu tubuh penumpang sebelum naik pesawat, desinfektan kabin rutin, serta penggunaan face shield bagi kru maupun penumpang bahu membahu mencegah penyebaran virus.
Satu faktor lain menjadi pemain kunci: kursi tengah yang kosong. Menurut perhitungan Arnold Barnett, profesor statistik di Massachusetts Institute of Technology, kemungkinan tertular virus lebih sedikit saat kursi tengah dikosongkan. Jika ketiga kursi di satu baris kabin terisi semua, kemungkinan tertular virus sebanyak 1 banding 4,300. Jika kursi tengah kosong, kemungkinan tertular berubah jadi 1 banding 7,700.
Menurut Barnett, ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya penularan di dalam pesawat: harus ada pasien dengan COVID-19 yang naik pesawat, ia harus tidak menggunakan masker atau face shield dengan baik, dan lokasinya dekat denganmu. Bila ketiga hal ini tidak terjadi, maka penyebaran COVID-19 di dalam kabin penumpang pesawat nyaris mustahil.
Lantas, apa masalahnya? Tentu saja uang.
Secanggih-canggihnya teknologi di dalam pesawat, protokol kesehatan yang amat ketat dan jaga jarak tetap jadi faktor kunci dalam mencegah penyebaran COVID-19 di dalam pesawat. Namun, International Air Transport Association (IATA) menyatakan bahwa penerapan jaga jarak “tidak memungkinkan secara ekonomi” bagi para maskapai penerbangan. Mereka setuju bila screening penumpang dilakukan dan masker serta face shield diwajibkan, tapi mereka tak berani mengosongkan kursi tengah. Sederhana saja: mereka bakal merugi.
Indonesia sendiri menerapkan kebijakan serupa. Juli 2020 lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sempat merilis Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.01/MENKES/382/2020 tentang Protokol Pengawasan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri di Bandara Udara dan Pelabuhan. SE tersebut mewajibkan setiap orang berada dalam “keadaan sehat” dan menunjukkan bahwa hasil swab test atau rapid test mereka negatif COVID-19 sebelum naik pesawat atau kapal.
Aturan jaga jarak juga sempat ditegaskan oleh Permenhub 18 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Aturan tersebut sempat menyatakan bahwa kapasitas penumpang di setiap angkutan umum maksimal 50 persen.
Namun, Permenhub Nomor 41 tahun 2020 mencabut ketentuan ini. Disusul Surat edaran Dirjen Perhubungan Udara No. 13 Tahun 2020, kini pesawat bisa mengangkut penumpang dengan kapasitas antara 70-100 persen tergantung jenis armadanya.
Imbasnya mudah ditebak. Penerapan protokol kesehatan awur-awuran, kapasitas pesawat masih tinggi, dan maskapai penerbangan kerap kecolongan penumpang yang positif COVID-19. Pada 27 Juni 2020, misalnya, 90 orang penumpang pesawat Garuda Indonesia yang tiba di Sorong diminta karantina setelah ketahuan bahwa salah satu penumpang di pesawat tersebut ternyata positif COVID-19.
Penyebab lolosnya penumpang tersebut spektakuler betul. Penumpang tersebut sebetulnya sudah dianggap positif COVID-19 setelah melakukan tes PCR, bahkan surat dokter yang ia bawa menyatakan ia positif COVID-19. Namun ia tetap lolos dari bandara Soekarno Hatta, Jakarta, sebab petugas kesehatan di bandara “kewalahan saat melakukan pemeriksaan.”
Pada 7 Juli 2020, diberitakan bahwa seorang pasien COVID-19 rupanya terbang dari Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, Riau, ke Jakarta. Warga asal Riau tersebut sebetulnya telah positif COVID-19 dan diminta melakukan isolasi mandiri di kampungnya. Namun, entah kenapa ia ngotot tetap terbang ke Jakarta dan berhasil lolos karena ia non-reaktif saat rapid test.
Kemungkinan kena COVID-19 di dalam pesawat memang nyaris nihil. Namun, penerapan protokol yang lalai, perilaku penumpang yang tak disiplin, ketamakan maskapai penerbangan yang bersikeras tak menerapkan jaga jarak, dan lembeknya pemerintah yang lepas tangan membuat segalanya mungkin terjadi.