Isu Terkini

Bagaimana Memaknai Bulan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia di Tengah Pandemi?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Setiap 40 detik, satu orang meninggal dunia akibat bunuh diri. Pandemi COVID-19 tak hanya mengambil nyawa orang-orang yang terinfeksi virus, tetapi juga mempengaruhi kondisi kesehatan mental banyak orang. Sejumlah ahli pun mengkhawatirkan COVID-19 akan meningkatkan angka bunuh diri di seluruh dunia.

Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui efek dari pandemi COVID-19 terhadap kondisi mental seseorang. Secara umum, studi-studi ini menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 punya keterkaitan erat dengan meningkatnya rasa tertekan, gelisah, kecemasan akan tertular, depresi, dan insomnia di antara masyarakat umum dan tenaga medis. Imbauan untuk menjaga jarak pun telah memperparah perasaan terisolasi, begitu pula kesulitan ekonomi yang dapat memantik depresi dan gangguan-gangguan lainnya.

Pada awal kemunculan wabah di Cina, sebuah studi menunjukkan bahwa 35% dari 50 ribu responden yang disurvei diketahui mengalami tekanan psikologis. Begitu pula 45% orang dewasa di Amerika Serikat yang kondisi mentalnya terdampak negatif karena rasa cemas dan stres akibat virus Corona.

Kondisi kesehatan mental tenaga medis juga di ujung tanduk: 71,5% dari 1.257 tenaga medis yang disurvei di Cina merasa tertekan, 50,4% melaporkan depresi, 44,6% rasa gelisah, dan 34% mengalami insomnia. Tenaga medis yang menangani pasien COVID-19 di garda terdepan pun dilaporkan memilii risiko terbesar mengidap depresi, rasa gelisah, insomnia, dan rasa tertekan dibandingkan tenaga-tenaga medis lainnya.

Kekhawatiran para ahli bahwa pandemi COVID-19 dapat memperparah laju bunuh diri di seluruh dunia juga didasarkan pada pengalaman terdahulu. Pandemi Flu Spanyol sepanjang 1918-1919 yang menyebabkan kematian 50 juta orangnya telah diasosiasikan oleh meningkatnya angka bunuh diri pula. Begitu pula wabah SARS di Hong Kong yang menyebabkan peningkatan angka bunuh diri bagi orang berusia di atas 65 tahun pada 2003 lalu. Hal ini salah satunya disebabkan oleh berkurangnya interaksi sosial dan ketakutan akan pandemi—yang juga terjadi saat ini.

Hal ini terbukti dengan munculnya kasus-kasus bunuh diri yang berkaitan langsung dengan COVID-19 di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, Italia, Jerman, dan India. Perempuan berusia 19 tahun di Inggris meninggal setelah percobaan bunuh diri karena perasaan terisolasi. Laki-laki berusia 66 tahun yang mengidap kanker tenggorokan ditemukan meninggal akibat gantung diri setelah ia dikonfirmasi positif COVID-19. Ada pula kepala departemen gawat darurat di rumah sakit di New York City yang bunuh diri setelah ia menyaksikan penderitaan dan kematian pasien-pasien COVID-19 yang ia tangani.

Bunuh Diri sebagai Krisis Kesehatan Publik

Jauh sebelum COVID-19 menghadang, bunuh diri telah diakui sebagai persoalan kesehatan yang serius: angka bunuh diri di seluruh dunia meningkat 60% selama 45 tahun terakhir; bunuh diri jadi satu dari tiga alasan utama kematian bagi orang berusia 15-44 tahun; lebih banyak orang yang meninggal dunia akibat bunuh diri dibandingkan malaria, kanker payudara, perang, atau pembunuhan.

World Health Organization (WHO) telah memprioritaskan pencegahan bunuh diri sebagai salah satu target global untuk mewujudkan Sustainable Development Goals. Hal ini dimanifestasikan dalam WHO Mental Health Action Plan 2013-2020 ataupun General Programme of Work 2019-2023 WHO ke-13. Target utamanya, kematian akibat non-communicable disease, seperti gangguan kesehatan mental, mesti berkurang sebesar sepertiga pada 2030.

Prioritas terhadap pencegahan bunuh diri itu hendak diimplementasikan dengan meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap kesehatan mental di seluruh sektor terkait: pelaporan tentang bunuh diri yang bertanggung jawab di media, melindungi orang-orang yang memiliki risiko tinggi bunuh diri, dan melakukan identifikasi dini terhadap gangguan mental dan perilaku suicidal.

Usaha untuk mengurangi tingkat kematian akibat bunuh diri bisa jadi terhambat dengan terfokusnya setiap sektor kepada penanganan pasien COVID-19, tetapi pandemi sebenarnya justru membuat persoalan kesehatan mental menjadi lebih genting. WHO pun mengakui ini, dan menyatakan bahwa investasi untuk mencegah krisis kesehatan mental amat dibutuhkan saat ini. Di Amerika Serikat, salah satu strategi pemulihan pascapandemi mengikutsertakan kesehatan mental: US$425 juta dianggarkan untuk meningkatkan dan memastikan layanan kesehatan mental tersedia.

“Jelas bahwa kesehatan mental mesti dimasukkan dalam elemen utama respons kita dalam hal pemulihan pandemi COVID-19. Ini adalah tanggung jawab kolektif antara pemerintah dan masyarakat, dengan didukung pula oleh seluruh sistem PBB. Kegagalan untuk menganggap serius emosi seseorang akan berdampak panjang ke kondisi sosial dan ekonomi masyarakat,’” ujar Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Departemen Kesehatan Mental dan Penggunaan Obat-obatan di WHO, Devora Kestel, juga mengatakan bahwa pandemi jadi momentum untuk merombak ulang layanan kesehatan mental di seluruh dunia sehingga menjadi lebih tepat guna. “Yang berarti meningkatkan dan pendanaan rencana nasional yang beralih dari institusi ke layanan berbasis komunitas, memastikan asuransi kesehatan menanggung kondisi kesehatan mental, dan membangun sumber daya manusia dengan kesehatan mental dan kepedulian sosial yang berkualitas.”

Share: Bagaimana Memaknai Bulan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia di Tengah Pandemi?