Isu Terkini

Polemik Rencana Pendidikan Militer Mahasiswa Selama Satu Semester

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kementerian Pertahanan mengusulkan kemungkinan penerapan pendidikan militer kepada mahasiswa selama satu semester. Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa pihaknya sudah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah ini perkara mendesak?

“Nanti, dalam satu semester, mereka bisa mengikuti pendidikan militer, nilainya masuk ke dalam SKS yang diambil. Ini salah satu yang sedang kami diskusikan dengan Kemendikbud untuk dijalankan,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/8/20).

Trenggono ingin agar mahasiswa yang merupakan generasi milenial dapat lebih mencintai negara. Menurutnya, Program Bela Negara akan terus menyadarkan masyarakat terutama para milenial untuk bangga sebagai orang Indonesia.

“Semua ini agar kita memiliki milenial yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-harinya,” ujarnya.

Untuk itu, Trenggono berharap melalui Program Bela Negara, milenial bangga terlahir di Indonesia, menjadi bagian dari warga dunia. Selain itu, Trenggono menegaskan bahwa Indonesia tak boleh kalah dengan Korea Selatan.

“Jika dilihat dari sudut pertahanan, itu cara mereka melalui industri kreatifnya mempengaruhi dunia. Indonesia harusnya bisa seperti itu karena kita punya seni dan budaya yang banyak,” ucapnya.

Lebih jauh, Trenggono menjelaskan bahwa kecintaan terhadap negara oleh generasi muda juga bisa ditunjukkan dengan bergabung dalam Komponen Cadangan (Komcad) sesuai amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang “Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.”

“Komcad ini bukan wajib militer. Ini kesadaran dari warga masyarakat yang ingin membela negara jika terjadi perang, difasilitasi dengan memberikan pelatihan selama beberapa bulan. Usai latihan dikembalikan ke masyarakat. Jika negara dalam keadaan perang, mereka siap bertempur,” kata Trenggono.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Prof. Ir. Nizam memberi tanggapan terkait wacana penerapan pendidikan militer bagi mahasiswa. Nizam pun menyoroti soal komponen cadangan pertahanan negara.

“Dalam UU 23/2019 tentang sumber daya nasional untuk pertahanan negara, salah satunya mengamanahkan tentang hak WNI untuk menjadi komponen cadangan,” kata Nizam saat dihubungi Asumsi.co lewat pesan singkat, Senin (17/8/2020).

Menurut Nizam, hak WNI untuk menjadi komponen cadangan itu ada dalam skema kampus merdeka. Sedangkan untuk program lain terkait kepemimpinan dan bela negara, Kemendikbud dan Kemenhan akan membahasnya lebih lanjut.

“Hak tersebut kita penuhi melalui skema kampus merdeka. Sehingga mahasiswa dapat mengambil haknya untuk menjadi komponen cadangan pertahanan negara. Selain itu program-program kepemimpinan dan bela negara yang bagus akan kita kerjasamakan dengan Kemenhan,” ujarnya.

“Sifatnya sukarela. Mahasiswa dapat mengambil program komponen cadangan dengan mengikuti pelatihan yg disiapkan Kemenhan. Kalau memenuhi syarat, saat lulus selain mendapat kesarjanaan juga dapat menjadi perwira cadangan.”

Komisi X DPR RI Sebut Pendidikan Militer Mahasiswa Perlu Dikaji Lagi

Komisi X DPR RI yang memiliki ruang lingkup tugas di bidang Pendidikan, Olahraga, dan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyoroti mengenai wacana penerapan pendidikan militer untuk mahasiswa yang dicanangkan Kemenhan. Menurut Komisi X, pendidikan militer bagi mahasiswa perlu dikaji lagi hingga soal lebih pentingnya penanaman cinta Tanah Air.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai ideologi nasionalisme dan cinta tanah air perlu ditanamkan di kalangan anak muda. Namun, menurutnya, urgensi Komponen Cadangan (Komcad) adalah untuk mengajarkan bela negara, bukan kepada pendidikan militer bagi mahasiswa.

“Paham nasionalisme saya kira bagi anak muda kita menjadi sangat penting. Aspek itu urgent banget, karena itu saya mendukung sebenarnya. Tinggal nanti diformulasikan Kemendikbud dengan Kemenhan seperti apa. Ini kan konteksnya bukan wamil (wajib militer),” kata Syaiful kepada wartawan, Senin (17/8/).

Menurut Syaiful, hal terpenting saat ini adalah membangun cinta tanah air. Ia menyebut hal itu berarti Komcad lebih kepada transfer pengetahuan, bukan pendidikan militernya. Selain itu, ia mengatakan bahwa Kemenhan bersama Kemendikbud perlu merumuskan dengan baik jika akan menerapkan pendidikan militer bagi mahasiswa.

Syaiful yang merupakan politikus PKB itu mengungkapkan bahwa yang lebih penting adalah menanamkan rasa cinta tanah air itu kepada para anak muda seperti istilah hubbul wathon minal iman, atau cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

“Bagus, tapi saya nggak bayangin kalau ada perang fisik. Bagusnya untuk penanaman cinta Tanah Air. Bahwa sekarang tools-nya, medianya harus melalui Komcad, menurut saya nggak masalah. Bahkan saya mendorong itu, kalau ini bisa mendorong anak-anak muda Indonesia bisa hubbul wathon minal iman, mencintainya tanah airnya. Jadi sangat butuh malah. Tinggal Kemenhan dan stakeholder lain diajak duduk bersama merumuskan ini dengan baik,” ujarnya.

Selain mahasiswa, Syaiful juga mengusulkan agar Pramuka bisa bergabung dalam Komcad untuk program bela negara, bukan pendidikan militer. Menurutnya, menyebut pihaknya akan mengupayakan itu dalam revisi UU Pramuka di Prolegnas prioritas 2021.

“Bahkan tidak harus level mahasiswa, Pramuka pun bisa diajak untuk bergabung dalam Komcad ini. Termasuk kan sebenarnya kita masuk Prolegnas revisi UU Pramuka, rencana kan berarti dimasukin (Prolegnas) 2021, salah satu isu yang mau saya dorong adalah soal ini, jadi Pramuka menjadi bagian dari komponen cadangan,” ucapnya.

ELSAM dan KontraS: Tak Ada Urgensi Pendidikan Militer bagi Mahasiswa

Kritik dilayangkan oleh peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, yang menyebut bahwa tak ada kewajiban bagi publik untuk ikut wajib militer. Menurut Wahyudi, saat ini belum ada urgensi terkait penerapan pendidikan militer di kalangan mahasiswa.

“Sebenarnya kan gini ya rujukan utama ketika membicarakan tentang apa sih seharusnya yang diterapkan oleh negara dalam konteks bela negara? Itu kan pertama kita membaca dulu ketentuan Pasal 30 UUD 1945, lalu kemudian ada UU Pertahanan Negara, ada UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara (PSDN), UU 23/2019,” kata Wahyudi kepada Asumsi.co lewat sambungan telepon, Selasa (18/8).

Merujuk UU PSDN, Wahyudi mengatakan bahwa ada tiga bentuk sumber daya pertahanan negara. Pertama komponen utama, kedua komponen cadangan, dan ketiga komponen pendukung. Kalau membaca UU itu, lanjut Wahyudi, yang wajib mengikuti pendidikan militer, itu kan hanya mereka yang mengikuti atau mendaftarkan diri secara sukarela untuk menjadi komponen cadangan (komcad).

“Kalau komponen utama itu kan jelas, TNI kan semuanya mengikuti pendidikan militer dalam kapasitas mereka sebagai komponen utama. Sementara dalam konteks pendidikan militernya itu hanya diberikan kepada mereka yang secara sukarela mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan,” ujarnya.

Sementara untuk komponen pendukung dalam konteks warga negara pada umumnya, Wahyudi mengatakan bahwa hal itu semata-mata konteksnya kan bela negara, yang kemudian salah satu bentuknya adalah diberikan pendidikan kewarganegaraan.

Jadi, menurut Wahyudi, untuk mahasiswa cukup dengan pendidikan kewarganegaraan saja, yang mana itu sebenarnya sudah diterapkan di seluruh universitas atau seluruh institusi pendidikan. Kalau kemudian problemnya adalah soal nasionalisme, soal bentuk-bentuk pembelaan negara, dan kemudian pendidikan kewarganegaraan hari ini dianggap belum efektif, maka menurut Wahyudi hal itu bisa jadi evaluasi terhadap pendidikan kewarganegaraannya.

“Cari di mana problem-nya. Apakah ada yang perlu diperbaiki dalam konteks kurikulum, penyampaian, dan seterusnya? Bukan kemudian justru malah menjadikan sesuatu yang tidak dimandatkan UU atau oleh konstitusi, menjadi bagian dari sesuatu yang diwajibkan,” kata Wahyudi.

Karena menurut Wahyudi, hal itu adalah dua hal yang berbeda antara pendidikan kewarganegaraan dengan pendidikan kemiliteran. Ia menilai bahwa hal ini sudah misinterpretasi dari perintah UU PSDN itu sendiri.

“Jelas nggak ada kewajiban pendidikan militer. Jadi misalnya di suatu kampus ada mahasiswa yang mendaftarkan diri secara sukarela sebagai komponen cadangan yang nantinya akan dilakukan mobilisasi ketika ada ancaman militer, ya bagi mereka saja yang dikenakan pendidikan militer.”

Wahyudi juga menjelaskan bahwa di dalam UU PSDN, ada tiga bentuk ancaman yang diakui. Pertama, ancaman militer, kedua, ancaman non militer, dan yang ketiga adalah ancaman hibrida. Dari ketiga hal ini, menurutnya, kalau bicara strategi pertahanan, tentu bukan semata-mata dalam konteks militer, karena di situ ada ancaman non militer, dan ada ancaman hibrida.

“Kemudian jawabannya juga tidak semata-mata dengan penerapan pendidikan militer. Apalagi kan keamanan hari ini dan pertahanan hari ini, itu kan tidak bisa kita lihat secara konvensional atau realis. Tetapi kemudian ada bentuk-bentuk lain, ada pendekatan-pendekatan yang lebih komperehensif terhadap pertahanan dan keamanan itu sendiri yang tidak melulu bahwa jawabannya adalah militer.”

Tak jauh berbeda dengan Wahyudi, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mempertanyakan dasar dari usulan tersebut. Meurutnya, apakah Indonesia hari ini berada dalam kondisi darurat militer dan sedang ada dalam situasi konflik?

“Jawabannya tidak. Sehingga tidak ada urgensi untuk memberlakukan wajib militer (wamil). Menwa di kampus pun juga sudah tidak begitu relevan karena tidak ada urgensi untuk penguatan pertahanan,” kata Fatia kepada Asumsi.co lewat pesan singkat, Selasa (18/8).

Menurut Fatia, sejak beberapa tahun yang lalu bahkan budaya perpeloncoan di kampus perlahan dihapuskan karena rentannya korban-korban perundungan dan kekerasan di dalam kampus. Bahayanya, lanjut Fatia, jika pendidikan militer diberlakukan untuk mahasiswa, hal ini tentu saja akan lebih berbahaya lagi dan melanggengkan kultur kekerasan.

“Tujuan dari pemberlakuan pendidikan militer ini apakah memang untuk membawa Indonesia kembali ke masa militerisme? Harus diingat kembali terkait dengan supremasi sipil, demokrasi dan kebebasan sipil itu sendiri. Jika pendidikan militer diberlakukan apakah ini untuk meredam pemikiran kritis anak muda kepada negara dan membungkam ekspresi anak muda?,” ucap Fatia.

Share: Polemik Rencana Pendidikan Militer Mahasiswa Selama Satu Semester