Kamu pasti familiar dengan iklan produk kecantikan yang menjamin kulitmu akan secara bertahap menjadi lebih cerah dalam waktu singkat. Tak jarang iklan-iklan ini turut menjanjikan karier yang lebih baik hingga dipertemukan dengan laki-laki idaman sebagai imbalan atas keberhasilan usaha mencerahkan kulit.
Dengan semakin mencuatnya isu rasisme setelah kematian George Floyd, produk pencerah kulit ini pun ikut dapat sorotan. Unilever yang banyak menjual produk pencerah kulit lewat brand Pond’s, Vaseline, dan Fair & Lovely berencana untuk menghilangkan kata “fair/fairness” atau “cerah”, “white/whitening” atau memutihkan, dan “light/lightening” atau terang dari produk-produknya—sekaligus merombak nama brand Fair & Lovely itu sendiri.
Keputusan Unilever ini didorong oleh munculnya petisi yang mendesak Unilever untuk menurunkan produk Fair & Lovely karena dianggap telah melanggengkan internalisasi rasisme dan mempromosikan sentimen anti-blackness kepada pelanggan-pelanggannya. Telah ditandatangani oleh lebih dari 13 ribu orang, petisi ini menuntut agar Unilever berhenti memproduksi dan memasarkan Fair & Lovely serta membuat pernyataan publik yang mengakui peran Fair & Lovely dalam memperkuat sentimen anti-blackness.
Keputusan Unilever untuk mengganti nama produknya ini diikuti oleh L’Oreal yang juga akan menghilangkan kata-kata “putih”, “cerah”, dan “terang” dari produk-produk perawatan kulit yang dijual di bawah brand Garnier. Sementara itu, Johnson & Johnson berkomitmen untuk tidak lagi menjual produk Neutrogena Fine Fairness dan Clean & Clear Fairness—setelah Buzzfeed News mempertanyakan keetisan penjualan produk-produk ini.
Tentu saja, sikap perusahaan untuk sekadar menghilangkan kata-kata “mencerahkan” dan “memutihkan” alih-alih bener-benar berhenti menjual produk kembali mengundang kritik. Jurnalis India Natasha Fatah menilai bahwa mengganti nama Fair & Lovely tak mengubah fakta bahwa fungsi produk tersebut adalah untuk menerangkan kulit.
Unilever, L’Oreal, dan Johnson & Johnson termasuk dalam perusahaan yang paling gencar menjual produk-produk pencerah kulit. Kebanyakan produk ini dijual di Afrika, Asia, dan Timur Tengah dan berhasil menarik minat banyak konsumen. Sejumlah studi menemukan bahwa 40% perempuan asal Cina, Hong Kong, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan memakai krim pemutih. Begitu pula 61% perempuan di India dan 77% di Nigeria.
Keuntungan yang diraup industri ini juga tak kalah spektakuler. Pada 2017, nilai industri pencerah kulit adalah sebesar US$4,8 miliar—dan diproyeksikan akan meningkat menjadi US$8,9 miliar pada 2027.
Colorism, Diskriminasi Orang Berkulit Gelap
Penjualan dan penggunaan produk pencerah kulit kerap dilanda kontroversi. Pertama, banyak di antara produk ini mengandung bahan kimia yang dinilai berbahaya jika digunakan dalam jangka panjang. Merkuri dan hydroquinone diketahui dapat menyebabkan kerusakan kulit hingga malfungsi organ-organ vital seperti hati dan ginjal. Ada pula corticosteroid yang diasosiasikan sebagai penyebab menipisnya kulit, peningkatan risiko kanker kulit, dan justru dapat menggelapkan kulit. Merkuri dan hydroguinone telah dilarang penggunaannya di Eropa, sementara corticosteroid hanya dapat dibeli menggunakan resep dokter.
Kedua, penjualan produk-produk pencerah kulit juga melanggengkan colorism—istilah yang mendeskripsikan prasangka negatif terhadap orang berkulit gelap dan berakhir pada perlakuan diskriminatif kepada mereka. Colorism adalah produk rasisme, tetapi berkelindan erat dengan seksisme karena berdampak paling besar kepada perempuan.
Penulis buku The Hidden Brain: How Our Unconscious Minds Elect Presidents, Control Markets, Wage Wars, and Save Our Lives, Shankar Vedantam, berargumen bahwa warna kulit berperan besar dalam menentukan apakah seseorang akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan, kesuksesan di kontestasi politik, hingga risiko terjerat hukum. Lantas, keinginan untuk memiliki kulit cerah bukan sekadar persoalan cantik atau jelek, tetapi mempengaruhi kesuksesan hingga keselamatan hidup seseorang.
Pada 2011, studi di Amerika Serikat menemukan bahwa perempuan kulit hitam yang berwarna kulit terang menerima hukuman penjara lebih ringan dibandingkan dengan perempuan kulit hitam yang berwarna kulit gelap. Pada 2015, studi juga menemukan bahwa orang kulit hitam yang berwarna kulit cerah dipandang lebih pintar dan jadi punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam buku Race, Gender and the Politics of Skin Tone, sosiolog Margaret Hunter ikut menuliskan bahwa warga Meksiko Amerika yang berkulit cerah berpenghasilan lebih tinggi, menuntaskan jenjang pendidikan lebih tinggi, tinggal di perumahan yang lebih layak, dan punya kondisi kejiwaan yang lebih baik daripada orang Meksiko Amerika berkulit gelap.
Hasil yang sama juga ditemukan di India—bahwa ada kesempatan karier yang timpang antara orang India yang berkulit cerah dan gelap. Kesempatan untuk sukses di online dating juga dinilai “nonexistent” bagi perempuan berkulit gelap.
Doktrinasi bahwa “yang berkulit cerah yang lebih baik” bahkan telah tertanam ke anak-anak sejak kecil. Dalam cerita-cerita dongeng, misalnya, karakter protagonis biasanya berkulit cerah—yang kemudian diasosiasikan dengan kebaikan dan kesucian. Buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional oleh L. Ayu Saraswati juga menemukan bahwa konstruksi warna terang telah ditanamkan di kisah Ramayana—di mana tokoh protagonis Sita digambarkan sebagai sosok yang cantik dan berkulit terang seperti rembulan, sementara tokoh antagonisnya, Prabu Rahwana, bersosok gelap.
Hasilnya, ketidaksukaan terhadap orang yang berkulit gelap pun mendarah daging sejak kecil. Studi “Doll Test” oleh Kenneth dan Mammie Clark melakukan eksperimen dengan subyek 253 anak-anak berkulit hitam berusia 3-7 tahun. Mereka diminta untuk memilih antara boneka yang berkulit putih dan hittam—dan lebih dari 60% di antaranya lebih menyukai boneka yang berkulit putih. Eksperimen ini terus dilakukan kembali beberapa tahun kemudian, dan hasilnya tidak jauh berbeda—mengindikasikan bahwa kebencian terhadap kulit hitam telah terinternalisasi sejak dini dan adanya hasrat untuk mencapai standar kecantikan orang kulit putih.
Tuntutan untuk berkulit cerah itu bahkan membuat sejumlah perempuan hamil di Ghana mengkonsumsi pil yang dikatakan dapat mencerahkan kulit bayi mereka. Ada pula penelitian yang memungkinkan seseorang memilih warna kulit calon anaknya lewat seleksi genetik terhadap embrio di kandungannya.
Kini, sejumlah sektor industri yang kerap ikut melanggengkan colorism telah mulai berbenah diri. Di industri film, mulai bermunculan film yang tak segan untuk mengangkat orang berkulit gelap sebagai pemain utama, sebagaimana Black Panther yang merepresentasikan banyak perempuan berkulit gelap di dalam film ataupun film komedi romantis seperti The Lovebirds yang dimainkan oleh Kumail Nanjani dan Issa Rae. Pertanyaannya, kapan industri kecantikan ikut berbenah diri dengan secara tegas meninggalkan produk-produk pencerah kulit?