Isu Terkini

The Fed Mau Tapering, Apa yang Harus Diwaspadai Indonesia?

Ilham — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, dijadwalkan akan menyampaikan pidatonya perihal prospek ekonomi Amerika Serikat pada pekan depan dalam simposium yang digelar di Jackson Hole, Wyoming, Amerika Serikat.

Pidato dari Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat itu menjadi penting, karena akan menentukan langkah yang akan diambil negara-negara lain untuk mengantisapasi apakah The Fed akan melakukan tapering off atau tidak.

Mengutip laman Investopedia, tapering adalah kegiatan yang dilakukan bank sentral yang telah terlibat dalam pelonggaran atau quantative easing mengumumkan untuk mengurangi QE.Hal ini dapat dilakukan dengan memperlambat pembelian aset. Dengan demikian kebalikan dari pelonggaran quantative easing (QE) yang diterapkan oleh bank sentral. Tapering dilakukan setelah kebijakan QE mencapai efek yang diinginkan dalam meransang dan menstabilkan ekonomi.

Tapering sendiri merujuk pada keputusan The Fed mengurangi stimulus moneter yang dikeluarkan saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan likuiditas.

Likuiditas bisa diberikan dalam bentuk pemangkasan acuan suku bunga bank ke level sangat rendah, bahkan mendekati 0 persen guna mendorong pelaku usaha mengambil pinjaman agar peredaran uang terjaga.

Selain itu, juga dilakukan lewat pembelian surat utang negara guna memastikan pemerintah memiliki likuiditas cukup dalam pembiayaan selama menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Adapun indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah stabilitas inflasi, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai bergairah.

Berkaca pada 2013

Pada 2013, bank sentral AS, The Fed, yang saat itu dipimpin Ben Bernanke (kini the Fed dipimpin Jerome Powell) akhirnya membuat keputusan terkait pengurangan stimulus (tapering off) dari semula US$85 miliar per bulan menjadi US$75 miliar per bulan, berlaku Januari 2014.

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level Rp12.000 per dolar AS pada 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus.  Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp36 triliun.

Taper Tantrum merupakan kebijakan mengurangi nilai pembelian aset, seperti obligasi atau quantitative easing (QE) oleh The Fed. Apabila hal tersebut terjadi, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke AS sehingga dapat memicu gejolak pasar keuangan.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bahwa dampak tapering off seperti tahun 2013-2015 perlu diantisipasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Indonesia masuk dalam kategori The Fragile Five atau 5 negara dengan risiko stabilitas keuangan yang tinggi bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan dan India.

Tapering off berubah menjadi Taper Tantrum di saat arus dana keluar dari negara berkembang cukup signifikan. Nilai tukar rupiah saat itu terdepresiasi dari Rp12.100 per USD di Desember 2013 menjadi Rp14.600 pada September 2015. Jadi efeknya bukan cuma satu tahun tapi dirasakan hingga 3 tahun pasca The Fed lakukan pengurangan pembelian obligasi di AS,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (24/8/2021).

Baca Juga: Indonesia Keluar dari Resesi, Pemerintah Harus Prioritaskan Kesehatan dan Percepat Vaksinasi

Namun, saat ini kondisinya berbeda. Tahun 2013 tidak ada krisis pandemi. Tipikal krisisnya sangat berbeda dan yang dihadapi jauh lebih berat di 2021-2022. Indonesia mengalami tekanan ganda dari pandemi dan tapering off sekaligus.

“Pertanyaannya bukan apakah akan menjadi Taper Tantrum, tapi kapan? Bisa dimulai saat The Fed mengumumkan rencana tapering off. Sejak sinyal taper menguat, Dollar Index atau perbandingan basket dolar AS terhadap mata uang lainnya terlihat meningkat 3,7% dalam 3 bulan terakhir ke level 92,9. Investor mempersiapkan diri dengan mencari aset aman (safe haven),” katanya.

Kemungkinan Tidak Terjadi Tapering Off

Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuabi mengatakan bahwa ada kemungkinan bank sentral tidak akan melakukan tapering off atau menaikkan suku bunga di akhir 2021. Menurutnya ini berdasarkan rilis yang diterimanya  dari Dallas Federal Reserve.  

“Dalam rilis tersebut, Dallas Federal Reserve (Robert Kaplan) mengatakan bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga, karena pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat sedang goyah. Apalagi, kasus Covid-19 di sana melonjak sampai 3000%,” katanya.

Karena berita tersebut semua harga mengalami kenaikan, termasuk rupiah dan emas. Menurutnya ini sudah mengindikasikan pasar sudah mengetahui bahwa tidak akan ada tapering off.

Meski demikian, Ibrahim masih belum yakin, karena tergantung pada simposium yang digelar di Jackson Hole, Wyoming, Amerika Serikat pecan depan.

Tidak perlu khawatir

Namun, apabila memang terjadi tapering off tidak perlu khawatir dan panik. Karena tidak akan mempengaruhi perekonomian dan menurunnya nilai rupiah.

“Bila terjadi, kemungkinan rupiah turun mencapai  Rp15 ribu. Tidak mungkin sampai jatuh Rp18 ribu. Kalau seandainya terjadi chaos, mungkin kerusuhan bisa terjadi. Untuk mencapai Rp15 ribu juga mungkin hanya mendekat. Jadi jangan khawatir bila terjadi tapering akan menurunkan nilai rupiah,” katanya.

Apalagi, lanjutnya,  pemerintah sekarang sangat solid dan sepertinya telah melakukan antisipasi. Seperti saat ini kita lihat, pemerintah sedang gencar melakukan penjualan surat utang negara.

Sekali lagi, tidak perlu khawatir. Buktinya di kuartal kedua ekonomi tumbuh 7%. Pastinya, pemerintah sudah  mempunyai jurus-jurus jitu terutama Kemenkeu dan BI dalam menahan gempuran dollar dalam menaikkan suku bunga,” katanya.

Ia juga berpendapat tidak perlu takut dengan larinya investor asing, karena sudah biasa.

“Itu sudah biasa, karena Indonesia sudah mengikuti mekanisme pasar, seperti rupiah menurun karena investor asing menarik dana karena dollar menguat itu sudah umum,” katanya.

Senada dengan Ibrahim, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya telah melakukan sejumlah langkah antisipatif tapering off the Fed sejak Februari 2021. Ini dilakukan dengan melakukan triple intervention di pasar spot, DNDF, dan surat berharga negara (SBN).

Ia menjelaskan, langkah tersebut dilakukan untuk menyeimbangkan dampak tapering terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Dengan demikian, ketika investor asing mulai beralih, depresiasi rupiah tidak terlalu signifikan. “Fed tapering yang akan terjadi, ini dampaknya terhadap global maupun emerging market, Indonesia khususnya, InsyaAllah dampaknya tidak sebesar Fed taper tantrum di tahun 2013,” ujar Perry dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/8/2021).

Apa Solusinya?

Bhima menyarankan agar Bank Indonesia melakukan pengereman dalam alokasi burden sharing atau berbagi beban APBN. Ia melihat sebaiknya BI standby menjaga pasar SBN sekunder dari keluarnya investor asing.

“Begitu juga motor utama pertumbuhan yaitu ekspor harus dijaga karena surplus perdagangan bisa membantu amunisi devisa dalam menghadapi tekanan kurs rupiah. BI dan Pemerintah bisa terus mendorong DHE (devisa hasil ekspor) agar menetap diperbankan domestik, dan dikonversi ke rupiah,” katanya.

Ditambah lagi, BI perlu mendorong Investasi langsung (FDI) daripada hot money di pasar keuangan yang rentan keluar. Ini tidak mudah karena investasi butuh waktu dari mulai komitmen hingga realisasi.

“Insentif untuk lakukan reinvestasi juga penting, sehingga keuntungan FDI tidak dibawa keluar ke negara asalnya,” katanya.

Share: The Fed Mau Tapering, Apa yang Harus Diwaspadai Indonesia?