Selama bulan Ramadan, serial animasi Nussa mengisi Program Spesial Trans TV setiap pukul 04.30 untuk menemani penonton selepas sahur. Telah tayang di YouTube sejak 2018, serial ini menawarkan cerita anak-anak bernapas ajaran Islam. Para penonton diajak mengikuti aktivitas sehari-hari adik kakak Nussa dan Rara beserta ibu mereka.
Serial animasi ini amat populer. Kanalnya di YouTube diikuti oleh 5,83 juta pelanggan dan setiap episodenya ditonton oleh jutaan orang. Bahkan, Nussa dikabarkan akan diangkat ke layar lebar oleh rumah produksi Visinema pada tahun ini, tetapi terhambat oleh pandemi COVID-19.
Nussa tak luput dari kritik. Supriansyah, dalam tulisannya di Islami.co, menilai Nussa-Rara telah menggambarkan agama Islam secara kaku. Dalam salah satu episode, katanya, Rara yang berusia sekitar 5 tahun tidak mau berjabat tangan dengan seorang pengantar paket yang berbeda jenis kelamin. Dalam episode lainnya, Nussa pun tidak mau bersalaman dengan orang asing yang datang ke rumahnya. Ia baru mau bersentuhan secara fisik ketika mengetahui bahwa orang asing itu adalah tantenya.
“Cita-cita ‘manis’ [untuk menghadirkan narasi moral Islam] itu rentan sekali terjebak pada narasi komunal dan mengabaikan keragaman hukum fikih dalam ajaran Islam. Terlebih, agama yang diajarkan pada anak-anak biasanya sangat lunak sekaligus menyenangkan,” tulis Suprianyah.
Supriansyah juga mengomentari karakter Nussa dan Rara yang selalu mengenakan baju koko dan pakaian tertutup rapat serta jilbab, baik pagi, siang, maupun malam hari—bahkan ketika mereka di rumah saja dan tidak menerima tamu. Ia cemas nilai-nilai Islam dalam serial animasi ini direduksi jadi simbol-simbol formalistik belaka.
“Kartun Nussa kental sekali menggambarkan simbol formalistik itu. Padahal, penting kiranya [menggambarkan] bagaimana keluwesan hukum fikih yang selama ini ada di masyarakat muslim, terutama pada anak-anak, agar tidak kaku dalam memahami ajaran Islam di kemudian hari,” tulisnya.
Supriansyah membandingkan Nussa dengan serial animasi asal Malaysia, Upin dan Ipin, yang sering kali menampilkan ajaran-ajaran Islam seperti salat, puasa, mengaji, dan sedekah, tetapi juga merepresentasikan beragam etnis, agama, dan budaya masyarakat Malaysia.
“Nussa yang ditampilkan dengan narasi dominan Islam rentan sekali mendangkalkan pemahaman akan kebangsaan kita yang memiliki keragaman, baik agama, etnisitas, dan pilihan mazhab. Bahkan, bisa melunturkan permainan dan kebahagiaan dari dunia anak-anak,” ujarnya.
Kritik Supriansyah terhadap Nussa-Rara menuai dukungan dan protes. Beberapa menghujat tulisan Supriansyah sesat, memojokkan Islam, dan menyatakan justru dialah yang kaku karena tidak menerima perbedaan.
Bahkan ada penonton setia Nussa-Rara yang menuliskan artikel balasan. Sang penulis, Elam Sanurihim Ayatuna, menganggap serial animasi Nussa-Rara penting, sebab dapat memberikan hiburan yang sarat pesan moral dan edukasi tentang agama. Sementara itu, menurutnya, sulit untuk mendapatkan tayangan anak-anak yang dapat mewadahi nilai-nilai itu saat ini.
Representasi Kelompok Marginal
Dalam argumen Supriansyah, salah satu poin yang mendapatkan penekanan khusus ialah pentingnya menggambarkan representasi masyarakat yang beragam dalam sebuah tayangan atau cerita anak. Penulis buku cerita anak Na Willa, Reda Gaudiamo, sepakat dengan poin tersebut.
“Keberagaman itu harus dimunculkan dengan penuh kesadaran oleh penulis. Kalau nggak, mulai dari mana? Menjadi seragam memang adalah hal yang nyaman buat banyak orang. Tapi apa gunanya Tuhan menciptakan yang berbeda-beda kalau kamu maunya seragam? Keberagaman itu membuat kita belajar bertenggang rasa, menghargai, mengerti, ataupun dimengerti,” ujar Reda kepada Asumsi.co (20/5).
Dalam konteks tayangan Nussa-Rara, cerita yang berpusat pada karakter-karakter beragama Islam merepresentasikan kepercayaan mayoritas masyarakat di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia, dengan persentase orang yang beragama Islam mencapai 87% berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik pada 2010.
Sebagai mayoritas, pemeluk agama Islam di Indonesia tentu mudah diterima di tengah masyarakat. Umat muslim takkan kesusahan untuk menemukan masjid dan beribadah, mendengarkan azan, hingga tak dipandang miring ketika mengenakan jilbab.
Begitu pula dengan representasi di budaya populer. Konten-konten bermuatan nilai-nilai Islam diterima publik dengan tangan terbuka di Indonesia. Film Ayat-ayat Cinta yang menampilkan karakter perempuan Kristen berpindah agama menjadi Islam, misalnya, tidak menuai kontroversi atau protes besar dari masyarakat. Film ini justru menjadi salah satu film paling laris di bioskop dengan jumlah penonton lebih dari 3,6 juta. Sementara itu, film ? (Tanda Tanya) yang menggambarkan seorang perempuan berpindah agama dari Islam ke Katolik ditolak keras oleh sebuah ormas Islam—MUI bahkan mengancam hendak memfatwanya haram. Demikian pula film Bid’ah Cinta yang dinilai sesat karena karakter utama perempuannya tidak mengenakan jilbab yang menutupi seluruh rambut.
Situasi itu bertolak belakang dengan di Amerika Serikat, misalnya, di mana pemeluk agama Islam menjadi kelompok minoritas dan termarjinalkan. Kelompok muslim Amerika pun direpresentasikan secara terbatas dalam budaya populer. Kalaupun ada, muslim Amerika kerap digambarkan secara negatif dan satu dimensi. Dalam animasi Electric Company, ada karakter orang Timur Tengah dengan pakaian hitam-hitam, turban, dan kumis keriting yang selalu jadi pembuat onar. Begitu pula di Sesame Street yang menggambarkan figur orang Arab untuk mengilustrasikan kata “bahaya.”
Penggambaran Arab dalam berbagai produk animasi Amerika sepanjang tahun 1960-1970an amat negatif hingga dapat dikatakan rasis. Pendiri Arab American Institute James Zogby pun pernah mengatakan materi-materi seperti ini tak berbeda dengan narasi antisemitisme sepanjang Perang Dunia II.
Profesor Antropologi Dorinne Kondo menyinggung di bukunya, Worldmaking: Race, Performance, and the Work of Creativity, bahwa representasi adalah cerminan di kehidupan nyata.
“Diri kita perlu mendapat ‘cerminan’ di ruang publik (budaya populer, media, seni) untuk dapat dianggap sebagai manusia seutuhnya. Identitas dibentuk dari menonton acara olahraga, teater, TV, atau YouTube. Medium-medium tersebut lebih dari sekadar bentuk hiburan, melainkan memberikan gambaran tentang siapa kita dan akan menjadi apa kita. Sementara kelompok marginal memiliki representasi yang lebih terbatas,” tuturnya dalam wawancara di phys.org.
“Kita sudah menemukan kalimat sakti bhinneka tunggal ika sejak puluhan tahun yang lalu, oleh orang-orang di zaman pengetahuan yang nggak secanggih saat ini dan akses pada bacaan yang juga nggak semudah sekarang. Tapi mereka sudah punya ide yang begitu keren. Dan terus kita di hari ini mencoba menghapuskan itu. Buat saya itu sangat menyedihkan dan mengerikan,” tambah Reda.
Cerita Tanpa Pesan Moral
Terlepas dari nilai seperti apa yang sebaiknya diperkenalkan kepada anak, bagi Reda, penanaman pesan moral dalam cerita anak adalah wujud kemalasan orang dewasa. Memang, saat ini, kebanyakan karya-karya cerita anak justru bertumpu pada pesan moral alih-alih cerita itu sendiri. “Saya merasa penulis-penulis buku anak yang menuliskan pesan moral itu kayaknya lupa deh bagaimana rasanya menjadi anak-anak. Ketika kita kecil, kita kan sebel banget dikasih tahu, ‘nggak boleh. Nanti kamu masuk neraka, masuk penjara, apalah.”
“Ketika orang menjadi dewasa, mendapatkan pencerahan tentang apa yang benar dan salah, itu kan urusan mereka. Itu adalah perkembangan mereka sebagai manusia menjadi dewasa. Tetapi, ketika menulis untuk anak-anak, tolong hargai kebahagiaan anak-anak dalam membaca. Tolong hargai rasa ingin menemukan teman dari tokoh yang dibuat dan rasa untuk dimengerti. Sehingga kalau menulis pesan moral—ya tidak usah blatantly,” lanjutnya.
Menurut Reda, cerita anak tak semestinya dipakai untuk membenamkan visi dan ambisi orang dewasa ke kepala anak, melainkan untuk dapat mengerti dan menjadi teman bagi anak-anak itu sendiri.
“Membaca buku anak semestinya seperti menemukan teman di dalamnya. Dia menemukan anak atau orang yang sebaya sama dia, yang mengerti dia, yang memahami, dan yang menjadi sahabat. Bahwa apa yang ia lakukan selama ini, dilakukan juga sama tokohnya, dan itu seperti mendapatkan support.”
“Ketika menulis cerita anak, kita harus menghapus pengertian-pengertian yang sudah kita punya sebagai orang dewasa dan mencoba menempatkan diri kita sebagai anak-anak. Mengembalikan rasa itu, mencoba mundur dan menghapus apa yang pernah kita tahu, kita rasakan, dan mencoba membuatnya dari mata yang sangat sederhana, itulah PR utamanya,” lanjutnya.
Reda pun menilai menulis cerita anak tergolong lebih sulit dibandingkan menulis cerita untuk orang dewasa. “Saya nggak bisa bilang kata ‘duka cita’, misalnya, dalam cerita anak-anak yang tokohnya umur 5 tahun. Alurnya bisa sederhana, jalan ceritanya atau konfliknya bisa sederhana. Tapi how you say it itu yang berat. Mesti ada deskripsi, ada narasi, tapi tetap sederhana dan ada rasa.”
Menurut Reda, menulis cerita anak tak ubahnya seperti belajar berenang. “Mulai dari awal masuk ke kolam renang, belajar mengapungnya, terus berenang dari satu titik ke titik lain. Kalau menurut saya, menulis cerita anak itu seperti berenang gaya punggung. Kita maju ke depan tapi kepala kita menghadap ke belakang. Patokan kita untuk lurus itu ada di belakang sana—sesuatu yang telah kita tinggalkan,” ujarnya.
Cerita anak dalam bentuk serial animasi, buku, atau film mungkin tak sulit dicari. Namun, menemukan yang tidak sekadar menceramahi atau menjejalkan pesan-pesan orang dewasa kepada anak-anak ialah tantangan lain.
“Saya ingin orang lebih banyak menulis buku anak dengan anak sebagai concern utamanya. Kasihan anak-anak terus dijejali dengan ide-ide atau paham-paham orang dewasa, tapi mereka dimengerti atau didengar sebagai anak sangat-sangat jarang,” kata Reda.