Isu Terkini

Dapat Predikat Kota Terburuk, Ini Sejarah dan Perkembangan Tata Kota Jakarta

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Unsplash

DKI Jakarta disebut sebagai kota dengan perencanaan perkotaan yang paling buruk menurut situs arsitektur Rethinking The Future (RTF). Bahkan, ibukota Indonesia berada di posisi pertama dalam daftar 10 Kota dengan Perancanaan Tata Perkotaan Urban Terburuk. 

Pembangunan infrastruktur di Jakarta dianggap semakin kacau dan teratur, mulai dari jalan raya hingga penataan gedung-gedung bertingkatnya. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur di Jakarta selama ini juga kerap tak memperhatikan kepentingan pesepeda dan pejalan kaki.

Kualitas Hidup Buruk

Melansir situs RTF, Jakarta yang dinilai memiliki perencanaan perkotaan yang kacau membuat kota ini memperoleh predikat Worst-design Place on Earth alias tempat dengan desain paling buruk di dunia. Alasannya kepadatan penduduk, serta polusi udara dan air yang tercemar tidak diiringi dengan perencanaan pembangunan yang semestinya dipikirkan selama bertahun-tahun.

“Pembangunan Jakarta yang tidak terencana degan baik ini pun membuat kualitas hidup di kota ini menjadi buruk. Jakarta merupakan tempat yang dirancang dengan perencanaan terburuk di dunia,” demikian ditulis RTF.

Pembangunan infrastruktur di Jakarta, lanjut mereka selama ini juga dianggap tak memikirkan kualitas lingkungan hidup masyarakatnya.

“Ruang hijau terbuka yang tidak memadai, kemacetan lalu lintas yang ekstrem, dan urbanisasi yang tidak direncanakan telah berkontribusi pada situasi buruknya kualitas hidup di sana,” lanjut RTF. 

Situasi lalu lintas di Jakarta yang tak kalah buruk, turut disorot oleh mereka. “Faktor lain yang berkontribusi (dalam kemacetan) adalah bahwa pembangunan infrastruktur terletak pada pemerintah daerah, mengurangi kemungkinan pelaksanaan proyek jangka panjang,” imbuh RTF. 

Jakarta masuk ke dalam jajaran kota dengan perencanaan perkotaan terburuk bersama Dubai, Uni Emirat Arab, Brisilia, Brazil. Kemudian Atlanta, diikuti oleh Sao Paulo, Boston, Missoula, Naypyidaw, New Orleans, dan Dhaka.

Sejarah Perencanaan Tata Kota Jakarta

Persoalan perencanaan perkotaan Jakarta yang dianggap berantakan ini tentu menggelitik rasa penasaran soal sejarah kehadiran cetak biru pembangunan Jakarta. Jakarta rupanya tidak punya cetak biru perencanaan perkotaan sampai tahun 1957. Mengutip Historia, kala itu cetak biru DKI telah memuat konsep Jabotabek sekaligus.

Pembuatan Outline Plan terjadi pada masa Kotapraja Jakarta di bawah kepemimpinan Walikota Sudiro yang menjabat dari tahun 1953 sampai 1959. Kala itu, Sudiro merumuskan pembangunan Jakarta dalam empat poin utama.

Keempat poin yang menjadi gagasan pembangunan perkotaan antara kain fokus pada wisma, karya, marga dan suka, yakni perumahan, lapangan kerja, transportasi, dan tempat rekreasi serta fasilitas umum.

Namun untuk mewujudkan pembangunan berlandaskan keempat hal tersebut secara beriringan, menurut Sudiro bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Terlebih, kondisi Jakarta saat itu belum stabil untuk pembangunan. 

“Jalannya pemerintahan waktu itu seperti keong saja,” kata Sudiro mengutip salah satu wawancaranya kepada media pada tahun 1972.

Baca Juga: Jakarta Dinobatkan Jadi Juara Perencanaan Tata Kota Terburuk di Dunia

Hingga akhirnya pemerintahan kota yang dipimpinnya menggunakan Undang-Undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948 sebagai pijakan legal pembuatan Rencana Induk Jakarta. Rencana Induk diharapkannya bisa menjadi acuan untuk pemetaan fungsi tanah untuk permukiman, pekerjaan, transportasi, dan rekreasi.

Pembuatan Rencana Induk Jakarta melibatkan ahli dari Amerika Serikat. Antara lain Prof. Clifford Holliday dan Kennet Watts dari tahun 1954 sampai 1957. Tim perencana menemukan empat masalah pokok Jakarta antara lain kekurangan lapangan kerja, kelangkaan rumah, kepadatan lalu-lintas, dan kecelaan fasilitas umum.

Keempat masalah pokok ini lalu dibuatkan rancangan pemecahannya yang satu sama lain mesti saling terhubung. Kerja tim perencana ini menghasilkan laporan bernama Djakarta Outline Plan pada akhir 1957. Di dalam laporan ini, kali pertama munculnya konsep pengembangan Jakarta yang bersinggungan dengan wilayah sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). 

Tim perencana lalu menghitung perkiraan pertumbuhan penduduk Jakarta sebesar empat persen per tahun dengan jumlah sebesar 80.000 jiwa.  Rencana Induk selesai pada tahun 1965, saat Soemarno menjabat gubernur. Ali Sadikin merupakan gubernur pertama yang berupaya menjalankan rencana besar bernama Djakarta Master Plan tahun 1965 hingga 1985.

Mengubah Orientasi Pembangunan

Keinginan Jakarta untuk berupaya memperbaiki diri dalam aspek pembangunan perkotaan, terlihat saat ibu kota mulai fokus melakukan pembenahan terhadap layanan transportasi kota saat ide pembangunan proyek TransJakarta muncul sekitar tahun 2001. 

Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso pun menindaklanjuti secara serius gagasan proyek ini. Ia menggandeng Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) sebagai pihak penting perencana proyek ini. Konsep awalnya lalu dibuat oleh PT Pamintori Cipta, sebuah konsultan transportasi yang sudah sering bekerja sama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. 

Proyek ini juga bisa berlangsung berkat keterlibatan pihak lain, seperti badan bantuan Amerika (USAID) dan The University of Indonesia’s Center for Transportation Studies (UI-CTS). TransJakarta akhirnya secara resmi mulai beroperasi sejak tahun 2004 sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibu kota yang sangat padat. 

Kini langkah Jakarta untuk terus membangun infrastruktur transportasi bagi warganya kian progresif dengan menghadirkan MRT dan LRT misalnya. Namun seiring dengan pembangunan infrastruktur dan tata ruang perkotaan lainnya, juga memicu kritik warga kalau pemerintah provinsi DKI terkesan mengabaikan kepentingan pejalan kaki atau pesepeda dalam proses pembangunannya.

Pada tahun 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan kalau selama ini pembangunan jalanan di Jakarta memang dirancang untuk kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, ia memastikan di bawah pemerintahannya, Pemprov DKI akan terus berupaya untuk membangun jalanan buat pejalan kaki. 

“Jakarta itu salah satu kota dengan pejalan kaki terendah di dunia karena bukan hanya masyarakatnya yang tidak berjalan kaki, pemerintahnya pun, kami membangun jalan untuk roda. Kita tidak membangun jalan untuk kaki. Nah, sekarang kita bangun jalan untuk kaki, supaya warga lebih banyak berjalan kaki,” jelas Anies seperti dikutip dari CNN

Pemprov DKI kemudian mengubah pola pembangunan kota menjadi transit oriented development (TOD) agar pembangunan dapat merata di seluruh wilayah. CNN melaporkan, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan selama ini pola pembangunan di Jakarta berorientasi kendaraan pribadi atau car oriented development (COD). 

Maka, saat ini orientasi pembangunannya pun dilakukan perubahan. Pola pembangunan TOD merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang mengadopsi tata ruang campuran dan optimalisasi penggunaan angkutan umum seperti TransJakarta, KRL, MRT, LRT, hingga dilengkapi jaringan pejalan kaki maupun pesepeda.

“Orientasi kepada kendaraan pribadi ini mulai diubah dengan memberikan prioritas kepada pejalan kaki dan wujud dari kebijakan mendasar ini maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan perubahan prioritas penanganan transportasi di DKI Jakarta dengan menempatkan pejalan kaki menjadi urutan pertama,” jelasnya.

Proyek Tol Kontroversial Diresmikan

Terkini, Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan salah satu segmen dari proyek Enam Ruas Jalan Tol, yakni Kelapa Gading – Pulo Gebang pada Senin (23/8/21). Padahal proyek yang digagas mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo ini memicu kontroversi. 

Mengutip CNBC, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga sempat mengkritik proyek itu. Bahkan, pada masa kampanye Pilgub DKI Jakarta Anies menegaskan tidak akan membangun 6 Tol Dalam Kota yang menurutnya akan menambah macet di Jakarta.

Tak lama setelah menjabat Gubernur, proyek tol ini bukan lagi di bawah kewenangan Anies namun diambil alih oleh pemerintah pusat, bahkan menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Keenam tol dalam kota Jakarta itu antara lain :

– Semanan – Sunter (20,2 km)

– Sunter – Pulo Gebang (9,4 km)

– Duri Pulo – Kampung Melayu (12,7 km)

– Kemayoran – Kampung Melayu (9,6 km)

– Ulujami – Tanah Abang (8,7 km)

– Pasar Minggu – Casablanca (9,2 km)

Pengamat Transportasi dan Tata Ruang dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo buka suara soal munculnya penilaian buruk terhadap perencanaan perkotaan di Jakarta yang disampaikan RTF.  Menurutnya, taat ruang di Jakarta saat ini memang serampangan dan perencanaannya, belum dilakukan dengan baik. 

“Pada prinsipnya pergerakan perkotaan adalah orang bukan mobil. Kalau mengutamakan pergerakan transportasi kendaraan bermotor, apalagi mobil pribadi dengan banyak bikin jalan tol atau jalan layang itu salah dan malah bikin tidak tertata memang,” kata Sony kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (24/8/21).

Sementara itu, soal pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta memang terlambat dilakukan. Namun menurutnya hal ini sebenarnya tak bisa disebut sebagai pemicu kemacetan di Jakarta, melainkan kesalahan perancangan tata ruang sejak awal yang menjadi pemicunya.

“Gara-gara tata ruang yang berantakan itu, akhirnya transportasi mengikuti tata ruang yang ada. Akhirnya, seperti MRT terpaksa dibuat di bawah tanah dan di bawah gedung-gedung. MRT terlambat datangnya memang, dibangunnya saat gedung-gedung besar kita sudah ada,” ujarnya.

Sistem Berantakan

Di sisi lain, Sonny Sulaksono juga menyebut belum maksimalnya integrasi transportasi di Jakarta menjadi persoalan tersendiri. “Integrasi jaringan transportasi dan tata ruangnya saat ini kan, belum nyambung. Orang menuju stasiun MRT, contohnya masih jauh. Jadi, memang harus diakui tata ruangnya masih jauh belum tertata. Masih belum bagus tata ruang Jakarta dengan sistem transportasi yang ada,” tandasnya.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Yogi Suprayogi Sugandi sangat menyesali Jakarta bisa menjadi kota dengan rancangan perkotaan paling buruk di dunia. Menurutnya, Jakarta justru saat ini sudah mulai bagus dalam melakukan penataan perkotaan.

“Kalau dibandingkan dua atau tiga tahun lalu, kayaknya menurut saya sekarang ini lebih baik kok. Mungkin di kawasan perkampungan iya, masih berantakan tapi kalau di kotanya justru kelihatan makin bagus kok. Jadi saya menyayangkan saja kenapa dapat predikat paling buruk,” jelasnya kepada Asumsi.co.

Ia menilai yang membuat Jakarta terkesan kurang fokus dalam menata perkotaannya bukan pada upaya penataannya, melainkan karena tidak adanya sistem yang mantap yang mesti dipegang saat pergantian Gubernur terjadi dan harus diteruskan dalam aspek pembangunan kota.

“Menurut saya sebenarnya yang jadi kesalahannya bukan tata kotanya, tapi sistemnya yang menjadikannya berantakan. Masing-masing gubernur ada bagusnya tapi selalu setiap ganti kepemimpinan maka berganti sistem dan jadinya tidak sustainable. Ini yang seharusnya diubah. Kemendagri menurut saya punya hak untuk ikut campur dalam membangun sistem pemerintahan khususnya kepemimpinan dalam penataan kota ini,” tandasnya.

Share: Dapat Predikat Kota Terburuk, Ini Sejarah dan Perkembangan Tata Kota Jakarta