Dampak COVID-19 bukan cuma terhadap ekonomi, tetapi juga kesehatan mental. Karantina atau lockdown di seluruh dunia telah membuat 2,6 miliar orang di dunia terenggut dari aktivitas dan interaksi sosial mereka sehari-hari. Dirumahkan atau di-PHK dapat membuat seseorang depresi. Begitu pula petugas kesehatan, jurnalis, dan pihak-pihak di garda terdepan penanganan COVID-19 yang rentan mengalami trauma dan stres berkepanjangan.
Sejumlah peneliti di Lancet Psychiatry mengimbau agar penelitian tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental dapat ikut diprioritaskan. “Meskipun peningkatan gejala stres dan cemas selama situasi luar biasa ini telah diramalkan, tetapi ada risiko jumlah orang yang mengidap anxiety, depresi, dan melakukan tindakan berbahaya seperti menyakiti diri sendiri dan bunuh diri meningkat signifikan,” ujar penulis utama studi, Emily Holmes dari Departemen Psikologi Universitas Uppsala.
Epidemi SARS pada 2002-2003 yang mewabah ke lebih dari 20 negara, jumlah kasus lebih dari 8.000, dan jumlah kematian mencapai 774, misalnya, juga punya konsekuensi terhadap kesehatan mental. Saat itu, angka bunuh diri meningkat sebesar 30% di orang yang berusia di atas 65 tahun, 50% pasien yang telah sembuh tetap mengidap rasa cemas, dan 29% pekerja medis mengalami tekanan emosional. Pasien yang telah pulih dari penyakit yang mengancam nyawa juga diketahui rentan mengalami depresi dan post-traumatic stress disorder (PTSD).
Sementara itu, karantina atau lockdown punya konsekuensi meningkatkan rasa kesepian dan terisolasi, yang kemudian menyebabkan rasa cemas, depresi, menyakiti diri sendiri, dan melakukan percobaan bunuh diri.
World Economic Forum melakukan survei kepada sejumlah penduduk Belgia. Sebelum lockdown diterapkan, diketahui bahwa 32% populasi diklasifikan lebih tahan atau resilient terhadap tekanan, sementara 15% populasi berada di level stres yang tinggi. Setelah dua minggu lockdown diterapkan, jumlah orang yang tahan terhadap tekanan berkurang menjadi 25%, sementara yang berada di level stres tinggi meningkat menjadi 25%.
“Orang-orang ini yang punya risiko tinggi mengalami absenteeism jangka panjang akibat penyakit atau burnout,” tulis weforum dalam hasil surveinya. Absenteeism adalah kondisi di mana seseorang absen dari kewajiban atau tugasnya di pekerjaan atau sekolah tanpa alasan jelas. “Walaupun mereka tetap bekerja, penelitian lain melaporkan produktivitas mereka berkurang hingga 35%.”
Meninjau hasil studi tentang dampak jangka panjang karantina SARS, diketahui bahwa sejumlah tenaga medis punya kecenderungan untuk menghindar dari pekerjaan mereka. Artinya, bertahun-tahun setelah karantina berakhir, pekerja di rumah sakit masih menghindari kontak dengan pasien dengan cara tidak datang ke tempat kerja.
“Kita sudah dapat melihat peningkatan tajam absenteeism di sejumlah negara. Orang-orang takut tertular COVID-19 dan menghindari pekerjaan mereka. Kita akan melihat gelombang kedua ini dalam tiga hingga enam bulan ke depan. Ketika pandemi mereda dan ekonomi beranjak pulih, jumlah orang yang mengalami absenteeism dan burnout justru melonjak.”
Jika penelitian dan pendanaan tidak dialokasikan ke sektor kesehatan mental, para ahli memperingatkan dampak berat yang akan terjadi. “Jika kita tidak melakukan apa-apa, masalah kesehatan mental seperti anxiety dan depresi dapat meningkat. Begitu pula dengan perilaku bermasalah seperti kecanduan alkohol dan narkoba, judi, bullying, hingga kerusakan hubungan. Skala permasalahan ini terlalu besar untuk diabaikan, baik mempertimbangkan dampak ke individu maupun ke masyarakat secara luas,” kata Holmes.
World Economic Forum juga merekomendasikan kiat-kiat menjaga kesehatan mental selagi pandemi, beberapa di antaranya adalah dengan mengusahakan untuk tetap melakukan interaksi sosial lewat telepon atau video call untuk menghindari perasaan terisolasi, menceritakan kekhawatiranmu ke orang lain, menjaga kesehatan fisik dengan olahraga dan makan yang cukup, menjaga pola tidur, dan—yang terpenting—fokuslah di hal-hal yang hanya bisa kamu kontrol.