Kelompok yang dihantam paling keras oleh krisis COVID-19 ialah kelas pekerja, termasuk para pekerja lepas atau freelancer. Mereka tak punya pemasukan tetap, bergantung dari satu ke lain proyek untuk bertahan hidup. Dalam situasi normal, itu mungkin tertanggungkan. Yang sukar ditanggung: kini pandemi membuat pekerjaan menipis dan Undang-Undang Ketenagakerjaan tetap tak menyediakan jaring pengaman sosial macam jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
Survei oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menunjukkan bahwa para pekerja lepas terpojok di tengah pandemi COVID-19.
Lewat survei kepada 139 responden, diketahui bahwa subsektor pekerja lepas di ranah industri kreatif yang paling terdampak adalah film, video, dan audio sebesar 17,35%, seni pertunjukan sebesar 10,85%, seni vokal dan musik sebesar 9,4%, dan fotografi sebesar 9,4%. Proyek-proyek pekerjaan di subsektor ini mengharuskan mereka untuk bekerja di lapangan atau luar rumah hingga berada di keramaian, seperti syuting film yang membutuhkan banyak kru dan dilakukan di banyak lokasi hingga pertunjukan yang membutuhkan audiens dalam jumlah banyak.
Survei yang berjudul “Mengubur Pundi di Tengah Pandemi: Kerentanan Pekerja Lepas di Tengah Krisis COVID-19” ini juga menemukan bahwa pekerja lepas kehilangan proyek-proyek pekerjaan yang seharusnya jadi sumber penghasilan utama mereka—tak hanya untuk sebulan ke depan, tetapi hingga lima bulan mendatang. 32,8% pekerja kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp1 juta-5 juta, 32,8% lainnya kehilangan sebesar Rp5 juta-15 juta, 16,8% sebesar Rp15 juta-30 juta, dan 8% sebesar Rp30 juta-60 juta.
Ketua Riset SINDIKASI Fatimah Fildzah Izzati mengatakan mayoritas responden punya pendapatan di bawah upah minimum. “Jika menggunakan UMP DKI Jakarta sebagai rujukan, kita bisa melihat bahwa mayoritas responden punya estimasi pendapatan per bulan di bawah upah minimum. Sebanyak 27,7% responden mengestimasikan pendapatannya sebesar Rp5-15 juta rupiah dalam lima bulan. Artinya, selama satu bulan, pendapatan mereka hanya Rp1-3 juta rupiah,” kata Fildzah kepada Asumsi.co lewat konferensi pers online (15/4).
Mayoritas responden, sebanyak 87,8%, tidak mendapatkan kompensasi apa pun akibat pembatalan kerja tersebut. Sementara itu, kebanyakan dari mereka juga menanggung hidup orang lain: sebanyak 56,1% punya orang tua, anak, istri/suami sebagai tanggungan. Akhirnya, banyak pekerja yang bergantung pada sisa tabungan (41,6%), meminjam dari orang lain atau melakukan pinjaman online (22,3%), hingga menjual barang pribadi (20,6%). Hanya 0,4% yang mencari bantuan sosial atau hibah dari pemerintah.
Dengan pendapatan rata-rata yang di bawah standar, pekerja lepas tidak bisa bergantung lama pada tabungan pribadi mereka. “Mungkin cukup untuk sebulan sampai dua bulan. Tapi bagaimana di bulan-bulan seterusnya?”
Ketua SINDIKASI Ellena Ekarahendy mengatakan bahwa fleksibilitas kerja lepas seringkali tidak dibarengi dengan jaring pengaman yang mumpuni. Pekerja lepas kerap tidak memiliki perjanjian atau kontrak kerja yang jelas. Bahkan, dalam sejumlah kasus, tanpa kontrak kerja sama sekali. Lantas, dalam situasi-situasi tertentu, proyek bisa dibatalkan begitu saja tanpa kompensasi untukpekerja. Belum lagi berbicara soal minimnya jaminan sosial dan kesehatan.
“Dalam gig economy, fleksibilitas kerja diromantisasi sebagai suatu kebebasan. Padahal, yang terjadi adalah fleksibilitas yang dimaksud tidak dibarengi dengan jaringan pengamanan sama sekali. Jadi yang terjadi adalah kerentanan. Seperti yang kita lihat di survei, mereka mengandalkan diri mereka sendiri untuk dapat bertahan,” kata Ellena kepada Asumsi.co lewat konferensi pers online (15/4).
Sementara itu, fleksibilitas kerja ini yang justru hendak dilegitimasi pemerintah. DPR RI berkata akan tetap membahas RUU Cipta Kerja selama pandemi, bahkan menganggap peraturan ini sebagai solusi untuk menangani COVID-19.
“Kita masuk ke moda gig economy, di mana perjanjian kerja sangat pendek, ada relasi kerja yang kabur antara pekerja dan pemberi kerja, dan kita menghadapi ketidakpastian karena upah yang didapatkan hanya berdasarkan gig yang kita kerjakan,” tutur Ellena. “COVID-19 akhirnya jadi semacam teaser apa yang akan terjadi nantinya kalau omnibus law disahkan.”
SINDIKASI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan perusahaan. Salah satunya adalah mendorong Kemendikbud dan Kemenparekraf bersinergi dengan Kemenaker untuk melindungi hidup pekerja di industri kreatif dan media. Menurut Ellena, bantuan sosial berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Prakerja tidak secara tepat menyasar pekerja lepas.
“Kita tahu PKH menyasar anak-anak dan ibu, yang posisinya punya porsi tersendiri. Seharusnya Kemendikbud dan Kemenparekraf bisa mengalokasikan anggaran mereka secara khusus untuk pekerja di bidang pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif. Pemerintah juga kekurangan data mikro, sebab industri ini diisi oleh pekerja-pekerja informal yang sama sekali jauh dari pendataan pemerintah,” jelas Ellena.
SINDIKASI juga mendorong agar perusahaan tetap mematuhi regulasi ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan, memegang komitmen untuk membuka ruang dialog yang seimbang dengan pekerja dan serikat pekerja, menaati prinsip transparansi dan membuka laporan keuangan perusahaan kepada pekerja, dan membuka ruang bagi pekerja untuk menegosiasikan haknya.
Hasil survei SINDIKASI di ranah industri media dan kreatif ini hanyalah puncak gunung es dari realitas pekerja lepas di sektor-sektor industri lain. “70 juta orang bekerja secara fleksibel di Indonesia. Pekerja itu ditempatkan pada posisi yang tidak enak: mati karena Corona atau mati kelaparan karena pendapatan hilang?” pungkas Ellena.
Laporan lengkap survei “Mengubur Pundi di Tengah Pandemi: Kerentanan Pekerja Lepas di Tengah Krisis COVID-19” dapat diunduh di tautan berikut ini: https://www.sindikasi.org/unduh/.