Pandemi COVID-19 menyebar begitu cepat. Saat ini, tercatat ada 722.510 kasus di ratusan negara. Sejumlah negara terdampak, seperti Italia, Thailand, Malaysia, dan Rusia, segera menerapkan kebijakan lockdown yang melarang warganya meninggalkan rumah kecuali untuk keperluan tertentu.
Lain halnya dengan Indonesia. Dalam rapat terbatas dengan 34 gubernur se-Indonesia (24/03), presiden Joko Widodo bersikeras bahwa Indonesia tidak akan melakukan lockdown. “Setiap negara memiliki karakter yang berbeda-beda, memiliki budaya yang berbeda-beda, memiliki kedisiplinan yang berbeda-beda,” kata Jokowi.
“Di negara kita, memang yang paling pas adalah physical distancing.“
Jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sendiri sudah mencapai 1.414 orang, dengan rincian 122 orang meninggal dan 75 orang sembuh. Ini berarti, tingkat kematian atau fatality rate di tanah air mencapai 8,6 persen.
Hal ini membuat sejumlah aktivis dan masyarakat sipil makin keras menyerukan pemerintah agar menerapkan lockdown. Padahal, istilah itu tidak diatur dalam perundang-undangan kita.
Memahami Istilah Lockdown
Pada umumnya, lockdown merupakan protokol darurat yang mencegah orang meninggalkan area tertentu. Kebijakan ini menutup semua kegiatan yang tidak penting. Di negara tertentu, lockdown bisa diterapkan di berbagai tingkat, mulai dari kota hingga nasional.
Italia bisa menjadi contoh kebijakan lockdown yang terjadi dari level kecil hingga nasional. Pada 21 Februari, Italia hanya melakukan lockdown di sejumlah kota di wilayah Lombardy. Pada 8 Maret, Perdana Menteri Giuseppe Conte mengumumkan bahwa zona karantina diperluas hingga mencakup seluruh wilayah utara di Italia. Sehari kemudian, Conte mengumumkan bahwa lockdown di Italia akan berlaku dalam skala nasional.
Bagaimana implementasi lockdown di Italia?
Menurut laporan BBC, ini berarti warga tidak diperbolehkan masuk atau keluar dari daerah Lombardy. Hanya mereka yang punya alasan bekerja, kesehatan, dan kebutuhan darurat yang diizinkan lalu lalang. Pesta pernikahan, acara pemakaman, pertemuan relijius dan agenda kebudayaan ditiadakan. Bioskop, gym, kolam renang, klub malam dan tempat ski juga ditutup. Kafe dan restoran hanya boleh beroperasi dari pukul 6 pagi hingga 6 petang. Tamu boleh makan di restoran asalkan saling berjarak sedikitnya satu meter. Pelanggar aturan selama karantina ini bisa dikenakan hukuman tiga bulan penjara.
Tentunya, ukuran kebijakan lockdown akan berbeda-beda karena tergantung payung hukum masing-masing negara. Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa dalam hukum Indonesia, lockdown dikenal dengan istilah karantina wilayah.
Karantina Wilayah, Lockdown Versi Jokowi
Jika menurut Jokowi negara Indonesia tidak mengenal istilah lockdown, ini disebabkan karena hukum di Indonesia memang hanya mengatur soal karantina wilayah. Hal ini dimuat dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut pasal 1 ayat 10, Karantina Wilayah adalah “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”
Singkatnya, karantina wilayah berarti sistem pembatasan pergerakan orang demi kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat. UU No. 6 Tahun 2018 juga menyebut bahwa penerapan karantina wilayah merupakan kewenangan pemerintah pusat yang kemudian diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Saat ini, menurut Mahfud, pemerintah pusat sedang mempertimbangkan mengeluarkan PP yang dimaksud.
“Kebetulan RPP-nya sudah ada di Kemenko PMK dan kita tinggal mendiskusikannya lagi. Tapi saya pastikan tidak ada lockdown, melainkan karantina kewilayahan.” kata Mahfud.
Jadi, sekarang adalah saatnya untuk menghentikan perdebatan apakah pemerintah Indonesia seharusnya menerapkan lockdown atau tidak. Sebab, menurut Mahfud, Indonesia sudah menuju ke arah situ. Hanya saja, istilah yang dipakai adalah karantina wilayah.
Dalam keterangan tertulisnya, Mahfud MD bahkan menyebut bahwa karantina wilayah adalah istilah lain dari physical distancing atau social distancing (29/3). Hal ini memperjelas mengapa Jokowi sempat menyebut bahwa Indonesia memiliki budaya yang berbeda dari negara lain, dan physical distancing adalah solusi yang tepat untuk mengatasi penyebaran COVID-19.
Pasal 49 ayat 1 dalam UU Kekarantinaan Kesehatan menyebut ada empat jenis karantina, yakni Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan.
Menurut Mahfud, masyarakat masih bisa melakukan aktivitas secara terbatas pada penerapan karantina wilayah. Pemerintah Indonesia ingin meniru apa yang diterapkan oleh Belanda. Hanya toko obat, pasar tradisional, serta supermarket yang bisa terus beroperasi dengan penjagaan ketat.
“Yang kita inginkan seperti di Netherland itu sekarang. Kan, lockdown, namanya di sana. Kita, karantina wilayah namanya. Jadi, orang masih boleh berjalan,” kata Mahfud lewat tayangan KompasTV, Minggu (29/03).
Bagaimana cakupan karantina wilayah tersebut? Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi penting. Pemerintah daerah bisa mengajukan status karantina wilayah sesuai dengan acuan yang diatur dalam PP. Mereka juga bisa menerapkan aturan yang berbeda di wilayah masing-masing.
“Daerah masing-masing menentukan pilihan apa yang akan dibatasi, apakah harus belajar dari rumah, bekerja di rumah, dan sebagainya. Itu nanti yang menentukan daerah masing-masing,” ujarnya.
“Oleh karena itu, disebut karantina wilayah bukan karantina nasional, tergantung kebutuhan, kan tidak semua wilayah atau kabupaten ingin melakukan karantina, ada yang tidak ingin itu. Bagi yang ingin, ini aturannya.”
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Umbu Rauta berpendapat bahwa dalam penerapannya, karantina wilayah harus mempertimbangkan besarnya ancaman penyakit, dukungan sumber daya, efektifitas, pertimbangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan.
“Selama masa karantina, kebutuhan hidup masyarakat menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan dukungan Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya. Bagi masyarakat yang tidak patuh atas kebijakan karantina wilayah akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam UU No 6 tahun 2018,” kata Umbu saat dihubungi Asumsi.co, Senin (30/03).
Perlu Status Darurat Kesehatan Masyarakat
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menjelaskan ada tahapan yang perlu dilakukan sebelum pemerintah pusat menetapkan karantina wilayah.
Berdasarkan UU. No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tepatnya Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 49 ayat (3), Menteri Kesehatan sebagai wakil pemerintah pusat perlu menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat atau KKM.
Namun, hingga 29 Maret 2020, pemerintah pusat tidak pernah menetapkan KKM secara terbuka.
LBHM mengingatkan penerapan karantina wilayah harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dideklarasikan secara terbuka agar akuntabel. Transparansi diperlukan agar hak-hak warga, terutama mereka yang terdampak COVID-19, tetap terjamin.
LBHM juga menegaskan bahwa pemerintah juga perlu segera menyiapkan mitigasi dampak langkah yang diambil.
“Apabila pemerintah jadi menerapkan karantina wilayah, negara harus menyiapkan rencana dan menyiapkan mitigasi dampak sosial ekonomi terhadap warga yang pekerjaan atau nafkahnya terdampak atau terbatas; dan, memastikan seluruh kebutuhan dasar rakyat tetap terpenuhi selama dan beberapa waktu setelah penetapan KW,” kata Direktur LBHM Ricky Gunawan dalam keterangan resmi yang diterima Asumsi.co, Minggu (29/03).