Pemerintah pusat dan daerah kembali saling sentil terkait penanganan wabah COVID-19. Pada jumpa pers di Istana Bogor hari ini (16/3), Presiden Joko Widodo kembali menegaskan bahwa kewenangan dalam upaya penanggulangan wabah tersebut ada pada pemerintah pusat.
“Semua kebijakan besar di tingkat daerah terkait dengan COVID-19 harus dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah pusat,” tuturnya. “Saya minta kepada daerah untuk berkonsultasi dan membahasnya dengan Kementerian terkait dan Satgas COVID-19.”
Belakangan, tak sedikit pemerintah daerah yang menyatakan rasa frustrasi terhadap respons pemerintah pusat. Presiden dan jajaran kabinetnya dinilai lamban dan tidak transparan. Pihak Dinas Kesehatan Provinsi Bali, misalnya, mengeluhkan birokrasi ruwet dan alur informasi yang macet.
Pemprov Bali telat mengetahui bahwa salah satu pasiennya rupanya positif COVID-19. Bahkan, informasi dari pusat ini hanya mereka ketahui melalui pesan WhatsApp. Beberapa hari lalu (13/3), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengeluhkan lambannya proses hasil uji spesimen COVID-19.
Walhasil, beberapa pemerintah daerah menetapkan kebijakan terkait COVID-19 atas prakarsanya sendiri. Walikota Surakarta, F.X Hadi Rudyatmo, menepatkan kota tersebut berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) pekan lalu (13/3) dan melakukan serta pembatalan acara publik seperti Car Free Day, pentas wayang orang, serta kegiatan belajar mengajar.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun berinisiatif membuka peta sebaran COVID-19 di wilayah Jawa Barat. Peta digital tersebut memuat identitas lengkap pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP). Rencananya, peta digital tersebut dapat diakses melalui situs dan aplikasi mulai Minggu (15/3) malam.
Teranyar (16/3), sejumlah operator transportasi umum seperti TransJakarta dan MRT menaati himbauan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan membatasi operasionalnya. TransJakarta hanya beroperasi di 13 rute, bus hanya datang 20 menit sekali, dan hanya boleh diisi maksimal 20 penumpang. Sementara penumpang MRT dibatasi hanya boleh 60 orang. Hasilnya justru antrean panjang dan berdesak-desakan yang jauh panggang dari api dengan narasi Anies tentang pentingnya “social distancing”.
Lebih sedap lagi, terungkap bahwa kemarin (15/3) perwakilan dari Pemprov DKI Jakarta melakukan rapat dengan kalangan pengusaha yang diwakili Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam kopi darat tersebut, mereka mempertimbangkan skenario-skenario yang dapat terjadi apabila wilayah DKI Jakarta harus dikarantina total, atau di-lockdown.
Inisiatif-inisiatif Pemda ini bikin gerah pemerintah pusat. Penetapan status KLB seperti di Surakarta, misalnya, dikritik oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. “Perihal penentuan status darurat daerah mohon dikonsultasikan terlebih dahulu karena akan bersentuhan dengan pemerintah lainnya, khususnya moneter dan fiskal,” ucap Tito pada konferensi pers dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hari ini. “Itulah pentingnya berkonsultasi dan memutuskan di tingkat nasional.”
Menariknya, pernyataan Mendagri bertentangan dengan titah Jokowi yang baru turun sehari sebelumnya. Minggu (15/3) lalu, Jokowi menyampaikan bahwa kepala daerah bisa menetapkan status darurat di wilayahnya masing-masing. Ucapan kontradiktif Mendagri pun ditegaskan oleh pernyataan teranyar dari Jokowi.
“Kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional maupun daerah, adalah kebijakan pemerintah pusat,” ucap Jokowi. “Kebijakan ini tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah. Dan sampai saat ini, tidak ada kita berpikiran ke arah lockdown.”
Lebih jauh lagi, Jokowi menegaskan bahwa wewenang untuk membuka informasi terkait COVID-19 ada pada pemerintah pusat. “Untuk menghindari kesimpangsiuran informasi yang disampaikan kepada publik, saya minta agar Satgas COVID-19 menjadi satu-satunya rujukan informasi kepada masyarakat.” tuturnya.
Mendagri Tito Karnavian pun menjelaskan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturan visi APBD guna menanggulangi wabah COVID-19. Selain meningkatkan kualitas rumah sakit dan menggalakkan kampanye pencegahan, ia pun berjanji memberikan “bantuan dan dukungan” bagi masyarakat yang belum mampu. Ia juga berikrar membantu dunia usaha, terutama UMKM dan usaha mikro, serta memangkas kegiatan tak penting seperti seremonial, rapat, serta perjalanan dinas.
Namun, bantuan yang sudah ada seperti Dana Desa harus diterapkan dengan lebih optimal. “Masih tersisa dana (dari Dana Desa–red) sebanyak 60 persen yang belum ditransfer,” ungkapnya. “Persoalannya, perangkat desa belum menyelesaikan syarat-syarat (administratif) untuk menerima dana.”
Pihaknya menghimbau perangkat desa segera melengkapi persyaratan agar Dana Desa dapat terserap, dan “muncul pertahanan ekonomi untuk menghadapi krisis.”
Adapun Presiden menegaskan bahwa ketimbang memangkas layanan transportasi umum, layanan kepada masyarakat justru harus tetap dipertahankan. “Kebijakan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah perlu terus kita gencarkan untuk mengurangi tingkat penyebaran COVID-19.” tuturnya. Kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan lain sebagainya harus terus diberikan kepada masyarakat.
“Transportasi publik tetap harus disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah dengan catatan meningkatkan kebersihan moda transportasi, baik itu kereta api, bus kota, MRT, LRT atau bus.” tutup Jokowi.
Tentu menarik untuk melihat babak selanjutnya dalam otot-ototan antara pemerintah pusat dengan daerah. Selagi Pusat sibuk mensentralisir wewenang dan mengontradiksi pernyataannya sendiri, daerah kian giat bermanuver untuk mendapat otonomi lebih.