Sekelompok warga yang bermukim di sekitar kompleks Jakarta Garden City (JGC), Cakung, Jakarta Timur ramai-ramai menyerbu AEON Mall yang berada di dalam kompleks JGC (25/2). Mereka menuding pembangunan mal dan kompleks perumahan mewah itu sebagai penyebab banjir di pemukiman warga, terutama setelah hujan deras mengguyur Jakarta sepanjang Selasa dini hari.
Dalam video yang beredar luas di media sosial, warga yang terdiri dari masyarakat berusia separuh baya dan anak-anak remaja terlihat melempari AEON mall dengan batu serta pembatas jalan. Ada juga yang terlihat memukul satpam mal. Kapolsek Cakung Kompol Pandji Santoso mengatakan, aksi warga tersebut didasari motif meminta penjelasan kepada pihak pengembang terkait banjir yang menggenangi wilayah sekitar mal dan kawasan rumah warga.
“Menurut warga, konturnya (mal dan kompleks) ada yang tidak beres, sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Padahal, banjir itu kan terjadi di mana-mana,” kata Pandji, seperti dilansir dari Tempo, Selasa, (25/02).
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, 200 warga yang terdampak banjir mulai mendatangi AEON Mall sejak pukul 09.30 WIB untuk menemui pihak manajemen mal. Saat itu, sebanyak 100 personel polisi telah bersiaga di AEON Mall.
Baca Juga: Penghapusan AMDAL Memunggungi Dampak Jangka Panjang
Menurut Yusri, perwakilan AEON Mall menemui warga pada pukul 10.00 WIB untuk menjelaskan bahwa waduk dan saluran irigasi merupakan tanggung jawab Dinas Sumber Daya Air. Bencana banjir di permukiman warga juga disebabkan curah hujan tinggi yang mengguyur Jakarta.
“Waduk yang dibuat oleh Perum JGC sudah diserahkan ke Pemda Pemprov DKI. Namun, perwakilan warga mengatakan bahwa semua itu belum diserahkan Pemda, dan itu masih milik Perum JGC. Warga menanyakan AMDAL pembangunan perumahan,” kata Yusri kepada awak media, Selasa (25/02).
Apa saja yang menjadi tuntutan warga dalam aksi yang berujung pada perusakan ini?
Pertama, warga meminta AEON Mall menghentikan saluran air yang mengalir ke pemukiman warga. Kedua, warga juga meminta pihak Perum JGC untuk mengurus langsung waduk di JGC, dan bukan ditangani oleh Pemda. Sebab, menurut warga, waduk itu masih diurus pihak JGC.
Pihak kepolisian akhirnya memfasilitasi mediasi antara warga dan pihak manajemen mall. Proses mediasi berjalan aman dan kondusif. Namun, saat bersamaan, setidaknya ada sekitar 100 warga menyerang dan merusak fasilitas AEON Mall. Akhirnya, polisi pun menangkap sejumlah orang.
Saat ini, polisi sudah menetapkan sebanyak delapan orang tersangka dalam kasus ini. Dalam keterangan tertulisnya (26/02), Yusri menyebut delapan orang tersebut “terbukti melakukan perusakan.” Identitas para tersangka yakni AW, A, HR, AB, IF, DA, AAS, dan FAS.
Baca Juga: Kenapa Banjir Jabodetabek 2020 Separah Itu?
Selain itu, Tim Gabungan Dit Reskrimum Polda Metro Jaya dan Polres Jaktim dibantu Satuan Brimob Polda Metro Jaya juga menangkap 16 orang lainnya terkait perusakan AEON Mall. Saat ini mereka diperiksa intensif di Polres Metro Jakarta Timur.
Yusri menyebut, mereka yang diamankan HH, SD, FNS, YM, MAF, SZ, ADN, FH, AAS, HJ, STS,F , RA, MAT, MAS, dan MFH. “Mereka sampai sekarang statusnya masih saksi,” ucapnya.
Sementara itu, pihak pengembang pun akhirnya menanggapi aksi massa yang protes terkait banjir di kawasan pemukiman mereka. Corporate Communication Department Head PT Modernland Realty Tbk Gunawan Setyo Hadi membantah kalau JGC dan AEON mall dianggap sebagai penyebab banjir. Bahkan, pihaknnya juga sudah mengantisipasi datangnya banjir dengan menyediakan pompa.
“Hujannya tahun ini cukup lumayan kan. Kemudian kita sudah antisipasi, kita siapkan pompa di beberapa titik. Mungkin memang ada warga yang kurang bersabar, mereka minta prioritas sehingga mereka reaktif,” kata Gunawan dilansir dari detik, Selasa (25/02).
Lebih lanjut, Gunawan menyebut bahwa di kompleks JGC bahkan disediakan danau untuk menampung air. Setidaknya, terdapat dua danau yang ada di dalam kompleks JGC yang masing-masing berukuran 15,4 hektar dan 2,5 hektar. Ia juga membantah pihak pengembang membuka pintu air danau tersebut ke arah perumahan warga agar kompleks JGC tidak terendam.
“Sebetulnya nggak. Kita ada danau besar 15,4 hektar. 2,5 hektar satu lagi, itu kita siapkan. Air di JGC itu cuma numpang lewat,” ujarnya. Menurut Gunawan, kompleks JGC sendiri sudah berdiri sejak 12 tahun lalu, sementara AEON Mall baru berdiri sejak 2017.
Selain itu, Gunawan juga memastikan pembangunan kompleks tersebut sudah melalui analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). “Kondisi secara area kawasan kering. Pompa jalan terus. Air surut. Warga juga tidak seheboh tadi pagi. Aparat datang. Kita mulai tenangkan mereka,” ucapnya.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga menyoroti permasalahan AMDAL dalam setiap proyek pembangunan di Jakarta, berdasarkan pada kasus AEON Mall JGC. Ia mengingatkan bahwa rencana pembangunan, baik itu terkait dengan sosial, budaya, atau lingkungan, harus memiliki AMDAL.
“Di sini memang perlunya AMDAL sebelum membangun. Apakah sudah ada upaya antisipasi banjir? Berapa persen lahan yang boleh dibangun? Lalu, bagaimana ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air lainnya,” kata Nirwono saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (25/02).
Seharusnya, lanjut Nirwono, pemerintah mesti menginformasikan bahwa untuk pembangunan wajib dilakukan analisis terlebih dahulu untuk menjaga alam. Apalagi selama ini, ia menyebut penerbitan AMDAL hanya sekadar formalitas saja.
Baca Juga: Pekan yang Aneh di Jakarta dengan Sederet Masalah
Sebelum AMDAL diterbitkan, sesuai mekanisme, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) menjadi syarat awal. Dalam KLHS, tertuang hasil kajian mengenai metode dan pelaksanaan proyek (pembangunan) yang bersahabat dengan lingkungan, sosial, dan budaya di lokasi bangunan.
Sayangnya, dalam banyak pembangunan yang sedang berjalan, kajian AMDAL malah tak diterapkan. Justru, banyak pelanggaran yang terjadi. “Perizinan properti harus diperketat, sudah jelas. Tetapi persoalannya justru Gubernur Anies Baswedan memberi contoh legalisasi pelanggaran tata ruang dengan membangun atau merevitalisai kampung-kampung di atas lahan RTH,” ucapnya.
Nirwono menegaskan bahwa analisis lingkungan wajib hukumnya dilakukan sebelum pembangunan terjadi. Hal itu dilakukan agar pasca pembangunan tidak ada efek buruk yang terjadi.
Menurut Nirwono, di sejumlah negara, banyak kerugian yang ditimbulkan imbas dari pembangunan infrastruktur yang tak menerapkan AMDAL. Memang setelah pembangunan belum terlihat dampak buruknya, namun efek buruk itu baru akan terasa 10 tahun ke depan.
Pembangunan tanpa AMDAL, lanjutnya, akan berimbas pada hilangnya ekosistem binatang dan lingkaran hidupnya. Kondisi itu akan membuat keseimbangan alam jadi rusak. Menurutnya, pembangunan infrastruktur kota memang perlu, tapi jangan sampai mengabaikan keselamatan warga dengan mengabaikan lingkungan.
“Bahkan pemerintah menggunakan RTH untuk kepentingan komersial menampung UMKM dan PKL. Untuk mencegah dampak buruk dari pembangunan yang tak diinginkan, yang jelas ketegasan penegakan hukum merupakan kunci dalam menata ruang kota,” kata Nirwono.
Sementara itu, Pakar Tata Kota Universitas Trisakti lainnya Yayat Supriatna mengatakan bahwa kasus ini (banjir di sekitar AEON Mall JGC) harus dilihat apakah bangunan di sana memiliki AMDAL atau tidak. Dari AMDAL tersebut, baru nantinya bisa diketahui, apakah ada masalah drainase, atau tidak ada perencanaan drainasenya.
“Jika tidak ada AMDAL-nya, maka masyarakat bisa menggugat secara hukum. Asumsi yang menyebutkan bahwa mall sebagai penyebab harus dilihat pembuktiannya dulu bukan sekedar asumsi atau praduga saja,” kata Yayat kepada Asumsi.co, Selasa (25/02).
Menurut Yayat, kalau AMDALnya tidak ada, maka warga bisa menuntut ganti rugi terkait pembangunan tersebut. Merujuk pada Undang-undang (UU) Tata Ruang, hal itu diwajibkan jika akibat pembangunan menimbulkan kerugian,.maka ada kewajiban mengganti kerugian tersebut.
Baca Juga: Omnibus Law Bisa Picu Masalah Baru
“Dan ini harus dibuktikan dulu dengan bukti lapangan, foto lokasi, tempat dan sumber penyebab, termasuk juga analisa ahli atau pembuktian secara ilmiah atau teknis, untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran tata ruang di dalamnya,” ujarnya.
Perlu diketahui, urusan AMDAL selama ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 29 ayat (1) UU 32/2019 ini menyebut, “dokumen AMDAL dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL yang dibentuk oleh menteri, gubernur atau bupati/ wali kota sesuai dengan kewenangan”.
Sayangnya, dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sekarang tengah jadi sorotan luas, Pasal 29 tersebut malah dihapus. Itu artinya, peran pemerintah daerah dalam menetapkan AMDAL sebuah kegiatan usaha juga dihapuskan.
Nantinya, apabila RUU ini disahkan, kewenangan dalam menetapkan AMDAL sebuah kegiatan usaha mutlak berada pada pemerintah pusat.
Selain itu, dalam draf tersebut, Pasal 30 yang memuat ketentuan mengenai keanggotaan Komisi Penilai AMDAL juga dihapus. Pasal yang mengatur soal kewenangan penerbitan AMDAL pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja tertuang pada pasal 24 ayat (2), yakni berbunyi, “uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat”.
Adapun, uji kelayakan yang dimaksud merujuk pada dokumen AMDAL sebagai sebuah kegiatan usaha. Selain itu, unsur transparansi dalam penyusunan AMDAL juga dihapuskan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pada Pasal 26 ayat (2) UU 32/2019 disebutkan, “pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Namun, dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, unsur transparan dan lengkap dihapus menjadi “penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan”.
Pada ayat (3) hanya disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.