Selama separuh abad terakhir, Mahathir Mohamad mendominasi lanskap politik Malaysia. Ia pertama menjabat sebagai Perdana Menteri pada tahun 1981 hingga 2003, sebuah rezim berusia dua dekade yang meninggalkan warisan rumit. Dua tahun lalu, ia kembali bak satria piningit, melengserkan partai yang telah berkuasa sejak kemerdekaan Malaysia dan dibebat skandal korupsi.
Ia terpilih sebagai Perdana Menteri di tengah gelombang optimisme dan nostalgia. Namun hari ini (24/2), Mahathir tiba-tiba menyerahkan pengunduran diri pada Raja Malaysia. Pertarungan telah usai, sang raksasa telah tumbang.
Tindakan dramatis Mahathir adalah plot twist teranyar dalam skandal politik yang tengah mengguncang Malaysia. Tumpukan intrik dalam kisah ini cukup untuk membuat penggemar House of Cards sekalipun terperangah. Namun, untuk memahami muasal dari kontroversi ini, kita mesti mengenal terlebih dahulu sosok Mahathir, serta perseteruan politik yang menjadi bara dalam sekam selama dua dekade lebih.
Pada 1964, Mahathir Mohamad melepas pekerjaannya sebagai dokter di negara bagian Kedah untuk menjadi anggota Parlemen Malaysia. Ia kader setia United Malays National Organization (UMNO), partai politik yang menguasai negeri Jiran sejak kemerdekaan. Pada 1969, ia ditendang dari UMNO setelah mengkritik Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman.
Setahun kemudian, Mahathir menulis buku kontroversial bertajuk The Malay Dilemma. Di sana, ia menulis tentang bagaimana ras Malaya telah dipinggirkan dan menerima status sebagai masyarakat kelas dua. Dalam buku tersebut, ia pun berargumen bahwa pemerintah perlu memberlakukan tindakan khusus untuk menggoyahkan hegemoni ras Cina Malaya dalam dunia bisnis. Popularitas Mahathir meroket. Pada 1974, ia kembali ke Parlemen dan ditunjuk jadi Menteri Pendidikan. Pada 1981, ia dilantik sebagai Perdana Menteri.
Pemerintahannya dikritik karena melemahkan kuasa hukum, mengekang kebebasan pers, serta menangkapi lawan politik melalui serangkaian kebijakan keamanan internal. Ia pun membuktikan bahwa pandangannya dalam The Malay Dilemma bukan kelakar belaka. Menulis untuk The Guardian, Jeevan Vasagar mengkritik serangkaian kebijakan Mahathir yang memberikan “privilese berbasis ras” untuk ras Melayu atau Bumiputra.
Ras Bumiputra diberi diskon khusus untuk membeli rumah, didahulukan dalam sektor kontrak sektor publik, lebih gampang jadi PNS, dan punya kuota khusus di universitas-universitas. Menurut pantauan World Bank, diaspora Malaysia di luar negeri banyak terdiri dari minoritas ras Malaysia yang merasa didiskriminasi.
Namun, di sisi lain, Mahathir populer sebab ia sukses mendongkrak ekonomi Malaysia yang lama stagnan. Ekspansi ambisius dalam industri perminyakan mendorong Malaysia menjadi salah satu pemain papan atas di Asia Tenggara. Sepanjang dekade 1990-an, proyek infrastruktur raksasa seperti Petronas Twin Towers seolah membuktikan keseriusan Malaysia menjadi pemain besar dalam percaturan politik global.
Bagi kita di Indonesia, resep kesuksesan Mahathir terdengar familiar: seorang sosok Bapak yang bijak, memimpin dengan tangan besi, dan membawa kesejahteraan ekonomi serta stabilitas sosial dengan mengorbankan kemerdekaan dan keterbukaan.
Pada 1993, ia menunjuk seorang politisi muda yang bermasa depan cerah sebagai Wakil Perdana Menterinya. Anwar Ibrahim, sosok populer yang dipandang sebagai pembaharu dan punya pengalaman panjang sebagai Menteri Pendidikan dan Menteri Ekonomi. Relasi keduanya mirip relasi seorang guru dengan murid kesayangannya, atau seorang bapak dengan anaknya. Pada 1997, Mahathir bahkan menunjuk Anwar sebagai pelaksana tugas Perdana Menteri selagi ia libur selama dua bulan.
Namun, Anwar Ibrahim bukan murid yang penurut. Ia politisi yang cerdik, ambisius, dan punya kehendak membangun basis kekuasaannya sendiri. Jelang akhir 1990-an, ia mulai gencar mengkritik kultur nepotisme, korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar pada partai UMNO. Selaras dengan citranya sebagai pembaharu, Anwar ingin menyuntikkan gagasan-gagasan segar pada partai yang telah berkuasa di Malaysia sejak kemerdekaan itu. Lambat laun, manuver politik anak didiknya bikin Mahathir naik darah.
Pada 1998, Anwar dan Mahathir berselisih paham tentang cara terbaik menangani krisis moneter Asia. Tak lama kemudian, Anwar dipecat dari jabatannya dan dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Lebih sensasional lagi, ia dituduh main serong dengan penulis pidato dan supir istrinya, keduanya lelaki. Tuduhan hubungan sesama jenis dan korupsi memporak-porandakan karier politik Anwar. Pada 1999 ia diputuskan bersalah karena tindak pidana korupsi, dan pada 2000 ia diputus bersalah atas tuduhan sodomi. Anwar Ibrahim dihukum penjara 15 tahun.
Namun, Anwar Ibrahim politisi yang populer dan dihormati pemimpin-pemimpin negara lain. Skandal tersebut tak hanya membabat karier politik Anwar, tetapi juga mengguncang reputasi Mahathir. Istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail, membentuk partai oposisi Parti Keadilan Rakyat (PKR) pada 1999 dan mulai membangun basis kekuasaan.
Dalam pemilu-pemilu berikutnya, UMNO berangsur-angsur kehilangan kursi kepada kandidat dari partai oposisi, yang memanfaatkan rasa muak masyarakat terhadap perlakuan Mahathir kepada Anwar. Pada Oktober 2003, Mahathir Mohamad mengambil keputusan besar. Ia mundur untuk kali pertama, dan digantikan Abdullah Badawi.
Namun, bayang-bayang Mahathir masih menghantui politik Malaysia. Pada 2008, ia secara dramatis mundur dari UMNO untuk memaksa Perdana Menteri Badawi mundur. Tindakan ini memuluskan jalan Najib Razak, satu lagi anak didik Mahathir, untuk naik ke tampuk kekuasaan.
Namun, ketika Najib Razak tersandung skandal korupsi raksasa 1Malaysia Development Berhad (1MDB), Mahathir lagi-lagi menarik dukungannya. Ia berupaya menggalang dukungan di basis massa UMNO untuk melengserkan Najib. Ketika usahanya gagal, Mahathir Mohamad mengambil keputusan yang mengejutkan semua pihak: ia angkat kaki lagi dari UMNO, dan menyeberang ke koalisi oposisi Pakatan Harapan.
Tak henti di sana, ia mengumumkan bahwa ia hendak mencalonkan diri jadi Perdana Menteri dan berjanji akan mundur setelah dua tahun agar Anwar Ibrahim dapat berkuasa. Ya, Anwar Ibrahim yang itu!
Kamu harus paham betapa mengherankannya keputusan ini. Partai-partai oposisi Malaysia yang kini dirangkul Mahathir dahulu adalah korban represi dan penangkapannya. Bayangkan bila Soeharto mendadak cabut dari Golkar, memutuskan gabung PDI, lantas berjanji akan mundur sebagai Presiden setelah dua tahun untuk digantikan Megawati.
Apa daya, publik Malaysia telah semuak itu pada kekuasaan Najib Razak. Pada Mei 2018, Mahathir Mohamad terpilih sebagai Perdana Menteri. Ia membawa gerbong koalisi oposisi Pakatan Harapan, yang melengserkan koalisi petahana Barisan Nasional. Mahathir membangun UMNO dan Barisan Nasional, kini ia juga yang meruntuhkan hegemoni mereka. UMNO kena epic comeback, dan Mahathir tampak begitu sakti mandraguna.
Namun, ada satu janji yang digantung Mahathir Mohamad pada periode kedua kekuasaannya. Apakah Anwar Ibrahim sungguh-sungguh bakal diserahkan kekuasaan setelah dua tahun, atau itu cuma janji surga lagi? Di atas kertas, Mahathir sudah menunjukkan sinyal positif. Istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail, diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri dalam periode keduanya.
Hanya saja, Anwar Ibrahim layak curiga. Ia sudah berulang kali dibohongi oleh bekas mentornya. Setelah lepas dari penjara pada 2004, Anwar membangun kembali karier politiknya dan mencalonkan diri sebagai kandidat oposisi pada pemilu 2008 dan 2013. Anwar selalu gagal, bahkan disidang lagi atas tuduhan sodomi. Pada 2014, ia kembali dipenjara atas tuduhan sodomi. Ia baru dibebaskan pada 2018, dalam gestur politik yang terang-terangan diorkestrasi oleh Mahathir.
Seharusnya, tahun ini Mahathir menyerahkan kekuasaan pada Anwar. Namun, tindakan Mahathir justru menunjukkan sinyal sebaliknya. Pekan lalu, tersiar kabar bahwa politisi dari koalisi Mahathir kopi darat dengan perwakilan dari UMNO. Mereka hendak mendiskusikan kemungkinan membentuk aliansi baru, yang dipandang dapat memperpanjang kekuasaan Mahathir.
Anwar merasa, ini adalah bukti Mahathir hendak melanggar janjinya. Anwar menuduh bahwa pihak dari partai Mahathir dan “pengkhianat” dari koalisi Pakatan Harapan hendak meruntuhkan koalisi tersebut dan membentuk pemerintahan baru. Pemerintahan yang tak memiliki ruang untuknya. Sebagai catatan, saat ditekan soal transisi kekuasaan ke Anwar, Mahathir berulang kali berkilah bahwa ia perlu waktu lebih untuk mempersiapkan perpindahan kekuasaan. Ia tak menyatakan secara spesifik berapa lama waktu yang ia butuhkan.
Kini, di bawah tekanan dari Anwar dan sorotan publik, Mahathir Mohamad mundur dari kursinya untuk kali kedua. Apakah koalisi Pakatan Harapan akan bertahan? Akankah UMNO memanfaatkan sengkarut politik ini dan merebut kembali posisi kuasa? Apakah Anwar Ibrahim akan memenuhi ambisi seumur hidupnya dan menjadi Perdana Menteri Malaysia?
Tidak ada yang tahu. Yang jelas, polemik ini mengalahkan rumitnya kisah perebutan raja di Westeros. Cuma kurang naga saja.