The Adams adalah band yang spesial. Jangan didebat, sebab itu tak terbantahkan. Yang perlu kita bicarakan adalah mengapa mereka spesial.
Mereka spesial karena tak banyak band yang menghasilkan karya bermutu secara konsisten dan dengan sound yang melulu segar. Album debut mereka, The Adams (2004), adalah distilasi sempurna dari segala yang baik dari musik independen Jakarta masa itu. Distorsi gitar yang rancak, harmonisasi vokal yang padu, serta lirik yang lugas dan presisi. Power pop dalam keadaan sepenuhnya digdaya.
Kisah The Adams berkelindan erat dengan meledaknya skena musik independen Jakarta pada awal 2000-an. Mereka bagian dari angkatan baru mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang berlomba-lomba memprakarsai band mahabagus. Energi kreatif angkatan tersebut meluap-luap pada album kompilasi JKT:SKRG, yang menghadirkan nama-nama kelas berat seperti Seringai, The Upstairs, The Brandals, C’mon Lennon, serta The Adams sendiri.
Para personel The Adams pun terlibat dalam fase penting ini. Ario Hendarwan, vokalis, dikenal sebagai salah satu sound engineer andalan di awal 2000-an yang laku di sirkuit konser-konser bawah tanah. Adapun Saleh Husein, gitaris, juga turut andil dalam mendirikan grup indie pop kenamaan White Shoes & the Couples Company.
Ketika lagu “Konservatif” dan lirik ironisnya tentang pacaran baik-baik menjadi soundtrack film Janji Joni karya Joko Anwar, The Adams kokoh sebagai ikon. Pendengar setia musik lokal tak perlu ditanya lagi jam berapa mereka pulang dan berapa gelas air yang telah mereka tenggak. Grup ini merajai panggung-panggung pensi dan playlist-playlist warnet para mahasiswa.
Proses rekaman album kedua The Adams, v.205 (2006), konon hanya memakan waktu tiga bulan. Namun, album tersebut menunjukkan progresi yang kentara. Harmonisasi vokal lebih rapat, aransemen lebih rumit, instrumentasi lebih beragam. Sulit untuk menyebut v.205 sebagai lompatan besar ke depan sebab ia terang-terangan berasal dari palet suara yang sama dengan album sebelumnya, tetapi mereka terdengar lebih matang. Hingga kini, nomor seperti “Halo Beni” dan “Hanya Kau” masih jadi pemantik sing along yang ampuh tiada tara. Nostalgia dan The Adams ibarat mentega dan roti.
The Adams spesial karena setelah dua album yang sama ganasnya itu mereka mati suri selama hampir satu dekade dan tak ada yang keberatan. Dalam wawancara dengan Whiteboard Journal, drummer Gigih Suryoprayogo mengisahkan bagaimana kesibukan membentangkan jarak antar personel. Grup WhatsApp band, katanya, jadi sepi dan “hanya ramai ketika ada perayaan ulang tahun”.
Sampai suatu ketika, ia nongkrong dengan gitaris andal Pandu Fuzztoni dan terbesit niat untuk mengumpulkan anak-anak The Adams kembali. Mereka berlatih, dikunjungi penyelenggara konser kondang Indra Ameng, dan pada 2014 grup lawas ini bangkit. Mereka tampil dengan gemilang di panggung sempit Jaya Pub, pada rangkaian acara Superbad! yang legendaris.
Hobi lama Saleh Husein pun kambuh. Ia deman berkelakar ke penonton dan membual. Dalam pentas-pentas berikutnya, ia mengaku The Adams tengah menggodok album ketiga. Sudah tentu kawan-kawan sebandnya khawatir, karena rencana tersebut telah kelewat lama terpendam. Proyek itu terakhir kali mereka kulik pada 2007-2008
Upaya memabrurkan rencana tersebut terekam dalam film dokumenter The Adams: Masa-Masa karya Cakti Prawirabhisma. Gagasan soal film tersebut telah disampaikan Cakti sejak 2013. Tapi seperti biasa, pendekatannya penuh canda dan kebetulan. Rencana syuting Cakti sering gagal karena keisengan para personel The Adams: ia datang pada hari mereka seharusnya “rekaman lagu” dan mendapati studio kosong belaka.
Ario dkk urung datang entah karena malas, ingin menjahili Cakti, atau kombinasi keduanya. “Kami pikir setelah digituin 1-2 tahun, dia bakal cabut,” ucap Saleh dalam konferensi pers Film Musik Makan (6/2). “Ternyata dia kuat juga!”
Namun, di balik perangai iseng, The Adams paham betul arahan kreatifnya sendiri. Mereka menarik inspirasi lirikal dari kehidupan dewasa dan berkeluarga, juga dari kawan-kawan serta keluarga yang telah jauh. Aroma nostalgia, juga perayaan terhadap masa lalu dan kini kental dalam album tersebut.
Ario Hendarwan berperan layaknya produser, tetapi memberi ruang lebih bagi rekan-rekannya untuk berkreasi. Personel lain didorong untuk berbagi tugas menjadi vokalis utama–bahkan drummer Gigih, yang belum pernah menyanyi sebelumnya, menyanyi di nomor “Sendiri Sepi”.
The Adams: Masa-Masa merangkum spektrum emosi The Adams dengan baik. Suasana berubah sendu ketika Saleh Husein bercerita tentang lirik lagu “Dalam Doa”, yang ia tulis untuk mengenang almarhum Ibunya serta eks-keyboardis Retiara Haswidya yang meninggal pada 2018. Namun, kesedihan tersebut pecah setelah pada adegan berikutnya, kita melihat Gigih berulang kali mencoba bernyanyi di “Sendiri Sepi.” Vokalnya yang fals ditanggapi sumpah serapah Saleh dan Ario.
The Adams spesial karena semua orang punya cerita tersendiri tentang lagu-lagu mereka. “Kami pikir pendengar kami sudah tua-tua semua!” tutur Saleh. “Ternyata banyak penonton yang cerita kalau mereka dengar lagu The Adams dari playlist abangnya atau kakak kelasnya.” Kecintaan terhadap mereka dirawat turun temurun.
Ketika album ketiga, Agterplaas, dirilis tahun lalu, ada momen katarsis yang luar biasa. Akhirnya band separuh mitos ini pecah telur juga. Rasanya seperti ingin menelepon kakak kelas, paman, atau abang yang dulu memperkenalkan saya kepada mereka, dan berbagi satu momen lagi bersama. The Adams adalah kenangan, pertemuan, dan perpisahan. Mendengarkan dan menonton mereka akan selalu terasa seperti bertemu kawan lama.
Karena itulah mereka spesial untuk saya.
Film dokumenter The Adams: Masa Masa karya Cakti Prawirabhisma akan diputar dalam rangkaian acara festival Film Musik Makan 2020 di GoetheHaus, Jakarta, pada 8 Maret 2020.