Omnibus law alias sapu jagat yang tengah digodok pemerintah Republik Indonesia mendapat banyak sorotan. Demi menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah memang tengah sibuk merumuskan dan membahas sejumlah RUU Omnibus Law, seperti RUU Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibu kota Negara. Kelompok aktivis, pembantu hukum dan buruh menjadi suara-suara yang paling nyaring dalam mengkritik pemerintah karena kurang berpihak kepada kelas pekerja.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan Omnibus Law dikhawatirkan memunculkan persoalan baru. Isnur melihat isi Omnibus Law justru menghilangkan unsur perlindungan hak-hak sipil. Misalnya saja, soal fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diindikasi muncul melalui Omnibus Law terkait Cipta Lapangan Kerja.
“Omnibus Law adalah sapu jagat untuk menghilangkan garis perlindungan warga. Karena ketika misalnya bicara ketenagakerjaan, bagi buruh itu perlindungannya adalah adanya kepastian kerja,” kata Isnur dalam konferensi pers Laporan HAM 2019 dan Proyeksi 2020 di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/01/20).
“Kalau sekarang [dengan Omnibus Law], fleksibel di-PHK maka makin hilang garis batas itu. Kami lawyer LBH itu berargumen di ruang sidang di mediasi itu dengan basis HAM, kalau basis itu dihilangkan, ya makin hilang,” ujarnya..
Kekhawatiran Isnur bukannya tanpa alasan. Pasalnya, ada tanda-tanda pemerintah membuka keran investasi dan menyederhanakan berbagai izin tanpa mempertimbangkan lingkungan. Kecurigaan lainnya terlihat dari rencana penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari syarat sebuah proyek.
Baca Juga: Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja dan Dampak terhadap Pekerja
Menurut Isnur, Omnibus Law merupakan bagian dari eksploitasi yang sebesar-besarnya, untuk menghilangkan basis perlindungan HAM yang selama ini dipakai pihaknya. “Itu menyentuh seluruh aspek isu, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, izin-izin, itu di situ,” ucapnya.
Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan membeberkan risiko lain yang akan ditimbulkan dari penerapan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Selain soal fleksibilitas, Arip menyebut akan ada potensi ancaman penghilangan jaminan sosial dan ketimpangan antara pekerja lokal dengan pekerja asing.
“Tidak bermaksud menyinggung isu SARA, tapi kita lihat dari sisi kemanusiaan. Sekarang mulai dari pekerja lapangan sudah mengambil pekerja asing, ini kan menghilangkan kesempatan pekerja lokal. Tapi masalah ini seringkali malah digiring ke isu SARA-nya,” ucapnya.
Omnibus Law merupakan undang-undang yang memuat beragam hal yang keberadaannya untuk merevisi beberapa undang-undang terkait. Pemerintah sendiri sedang menyusun dua draf Omnibus Law yakni RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi dan RUU Cipta Lapangan Kerja.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana memberi catatan sedikitnya tiga hal terkait Omnibus Law. Pertama, Omnibus Law justru berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia. Melalui Omnibus Law, pemerintah akan merevisi lebih dari 70 UU, salah satunya UU Ketenagakerjaan melalui RUU Cipta Lapangan Kerja selain RUU Omnibus Law yang lain.
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa revisi sejumlah UU melalui Omnibus Law ini tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Misalnya saja seperti Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui dengan UU No.15 Tahun 2019 tidak mengatur tentang mekanisme Omnibus Law.
Ada juga pandangan yang mengatakan bahwa Omnibus Law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law. “Omnibus law ini tidak punya landasan (dasar) hukum,” kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (08/01).
Menurut Arif, penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja seharusnya taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak, justru hal itu berpotensi menimbulkan masalah baru. Selain itu, perencanaan Omnibus Law ini terburu-buru dan tertutup, bahkan ia mendapat informasi akhir Januari 2020 pemerintah akan menyerahkan draf RUU Omnibus Law ke DPR.
Terlebih pemerintah sama sekali tak melibatkan publik, terutama perwakilan organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh. Sebab, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dipimpin kalangan pengusaha dengan anggota dari pengusaha, perwakilan pemerintah dan akademisi.
Arif pun mengingatkan kebijakan yang diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi publik akan melahirkan kebijakan yang diskriminatif. Ia pun tak yakin Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja ini bakal mengakomodir kepentingan buruh dan keluarganya karena perwakilan mereka tidak dilibatkan dalam pembahasan.
Selain itu, Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi. Arif mengutip Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebut setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Lalu sebaliknya, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, sejumlah pasal yang berkaitan kesejahteraan buruh yang selama ini dijamin UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akan dikurangi atau dihapus. Diantaranya, upah minimum, fleksibilitas hubungan kerja, pesangon.