Nicole (Scarlett Johansson) menggugat cerai suaminya, Charlie (Adam Driver). Menurut Nicole, ia telah mengorbankan terlalu banyak hal untuk pernikahannya. Ia mesti pindah ke New York untuk mendukung karier suaminya. Kariernya sendiri berakhir mandek. Ketika akhirnya ia mendapat kesempatan bermain film, suaminya tak begitu antusias atau mendukungnya.
Nicole merasa pernikahannya tak tertolong lagi, dan ia memutuskan untuk menceraikan suaminya. Namun, keluarganya sendiri tak mendukung keputusan Nicole. Proses perceraian itu menguras emosi, waktu, dan uang kedua pihak.
Film Marriage Story (2019) ini mungkin fiksi. Namun, kisahnya mewakili banyak kisah perceraian di luar sana. Perempuan masih mengorbankan terlalu banyak hal dalam pernikahan. Sementara itu, menggugat cerai juga tak selalu semudah itu. Orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, dan lain-lain bisa jadi masih memandang perceraian sebagai tabu.
Di Indonesia, perceraian juga masih dilingkupi stigma negatif. Seseorang yang menggugat cerai dianggap telah merusak sebuah ikatan yang suci. Ia juga dianggap belum cukup berusaha keras memperjuangkan hubungan itu.
Beberapa waktu lalu, misalnya, selebritas Gisella Anastasia menggugat cerai Gading Marten. Keputusannya ini mendapat kecaman publik. Ia dianggap tidak cukup memikirkan nasib anaknya, Gempi, dan tidak cukup bertanggung jawab kepada Gading sebagai istri.
Stigma itu tak hanya muncul dari masyarakat, tetapi juga pemerintah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berencana mempersulit proses perceraian dengan meminta pasangan yang hendak bercerai menyumbang 100 pohon. “Yang mau menikah bisa menyumbang 10 pohon, yang cerai 100 pohon,” kata Ridwan Kamil (9/12). Pohon-pohon tersebut rencananya akan ditanam di Kawasan Bandung Utara dan Daerah Aliran Sungai Citarum.
Walaupun dapat dipandang baik dari perspektif lingkungan, banyak orang merasa kebijakan Ridwan Kamil tidak sensitif. Kebijakan tersebut dianggap tidak memikirkan nasib perempuan-perempuan yang ingin menyelamatkan diri dari suami yang abusif atau sewenang-wenang.
Tak hanya di Indonesia, perceraian juga masih mendapat stigma buruk di beberapa negara lain. Di India, misalnya, saking buruknya stigma bagi orang yang melakukan perceraian, banyak pasangan yang enggan mengambil solusi perceraian demi terhindar dari cap negatif. Jika seseorang meminta bercerai, mereka seringkali akan dipermalukan oleh keluarga dan dianggap telah melanggar aturan. India jadi negara dengan jumlah perceraian paling rendah sedunia. Di antara 1.000 pernikahan, hanya 13 yang berakhir dengan perceraian.
Perceraian sebagai Kabar Baik
Perceraian tak selalu berarti kabar buruk. Meningkatnya jumlah perceraian di berbagai belahan dunia justru bisa dianggap sebagai pertanda positif. The Atlantic menyebut perceraian bisa jadi pertanda yang baik bagi ekonomi. Ketika kondisi finansial sedang dalam keadaan buruk, orang cenderung untuk menghindari pengeluaran-pengeluaran besar. Perceraian yang membutuhkan biaya pengadilan dan pengacara yang tak murah jadi salah satunya.
Ketika seorang perempuan rumah tangga menggugat cerai suaminya, ia mesti menghadapi risiko kehilangan sumber pendapatannya. Seringkali, perempuan tersebut juga akan sulit mendapatkan pekerjaan baru karena ia telas melepas karier demi mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Meningkatnya jumlah perceraian juga bisa jadi pertanda semakin banyaknya perempuan yang telah mandiri secara finansial. Ia merasa cukup berdaya untuk bisa keluar dari pernikahan yang buruk.
Lijia Zhang di South China Morning Post menuturkan bahwa meningkatnya angka perceraian adalah hal yang patut dirayakan. “Saya memandang ini sebagai pertanda semakin tegasnya perempuan Cina untuk mengejar apa yang mereka inginkan. Mereka tidak lagi menolerir pernikahan yang tidak membahagiakan, tidak seperti perempuan generasi terdahulu,” kata Lijia.
Menurutnya, selama ini, pernikahan dianggap begitu sakral hingga tidak boleh disudahi—terlepas dari bahagia atau tidaknya pasangan tersebut dengan satu sama lain. Namun, para perempuan masa kini punya pemahaman lebih tentang hak-hak mereka, dan lebih berani untuk mementingkan kebahagiaan diri sendiri. Mereka juga telah lebih mandiri secara finansial–sehingga tidak mesti terjebak dalam hubungan abusif atau terpaksa bersama suami yang kerap berselingkuh.
Posisi Tidak Setara Perempuan dalam Pernikahan
Di Indonesia, Mahkamah Agung mencatat terdapat 419.000 perceraian di Indonesia selama 2018 dengan 73% di antaranya diinisiasi oleh perempuan. Laporan dari Cina juga memaparkan 74% perceraian yang terjadi di negara tersebut dilakukan oleh perempuan. Data ini punya pola serupa di belahan dunia lain.
Lebih banyaknya persentase perempuan yang menggugat cerai ini mengindikasikan banyak hal. Perempuan kerap mengalami kekerasan atau diselingkuhi. Perempuan juga masih belum menempati posisi setara dalam pernikahan. Menurut sosiolog Michael Rosenfeld, pernikahan masih memegang nilai-nilai kuno yang berakhir membebankan perempuan. Mereka kerap merasa terkekang, tidak bahagia karena tidak bisa mandiri, hingga suami mereka terlalu mengatur.
Pekerjaan rumah tangga juga kerap lebih banyak dibebankan pada perempuan daripada laki-laki. Working Mother Research Institute melakukan survei kepada 1.000 suami istri yang sama-sama bekerja. Hasilnya, 14 dari 20 pekerjaan rumah tangga masih lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, belanja kebutuhan sehari-hari, hingga menyiapkan makanan. Sementara laki-laki sekadar mencuci mobil, memotong rumput, dan menangani pajak.
Brigid Schulte, seorang penulis pemenang Hadiah Pulitzer, menceritakan bagaimana sulitnya menjadi perempuan karier ketika telah menikah—khususnya ketika telah melahirkan anak. “Saya dapat cuti, sementara suami saya tidak. Saya pun berpikir, ‘Karena saya sudah di sini, saya saja yang mengerjakan laundry.’ Kemudian itu menjadi, ‘biar saya yang menyelesaikan semua.’ Kamu pikir semuanya akan jadi normal begitu kamu kembali bekerja. Tapi kenyataannya tidak,” kata Brigid.
Kesadaran untuk membagi pekerjaan rumah tangga secara adil antara suami dan istri bisa jadi lebih tinggi saat ini, tetapi, kenyataannya, tanggung jawab rumah tangga masih tetap lebih banyak dibebankan kepada perempuan. Hasil survei Bureau of Labor Statistics (2015) menunjukkan rata-rata waktu yang dihabiskan perempuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga adalah 2 jam 15 menit, sementara laki-laki 1 jam 25 menit.
Maka, tak heran persentase angka perceraian, khususnya oleh perempuan, masih terus meningkat. Jadi tak mengherankan pula jika inisiasi perceraian lebih banyak dilakukan oleh perempuan dengan kondisi finansial yang lebih mapan. Hasil penelitian World Economic Forum pun menunjukkan bahwa posisi karier tinggi akan membuat perempuan lebih mudah menggugat cerai, dibandingkan dengan laki-laki yang naik jabatan.
Selama perempuan masih tidak punya posisi yang setara dengan laki-laki dalam pernikahan, perempuan akan selalu merasa tidak bahagia dan tidak puas. Peningkatan angka perceraian akhirnya jadi kabar baik dan kabar buruk sekaligus. Kabar buruknya, pernikahan masih kental dengan patriarki. Kabar baiknya, perempuan semakin menyadari hal itu, dan mereka merasa cukup berdaya untuk membebaskan diri.