Undang-Undang KPK hasil revisi mulai berlaku hari ini, Kamis (17/10/19). Meski tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo, sesuai ketentuan UUD 1945 Pasal 20 ayat 5, revisi UU KPK itu otomatis berlaku.
“Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
UU KPK yang disahkan DPR pada 17 September 2019 itu bakal menggantikan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perubahan besar pun terjadi dalam lembaga antirasuah tersebut seiring berlakunya UU KPK yang baru.
Pertama, KPK jadi lembaga rumpun eksekutif, sebagaimana diatur dalam Pasal 3. Dalam versi lama, KPK disebut sebagai “lembaga negara” saja, namun dalam UU KPK yang baru, KPK disebut sebagai “lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.”
Kedua, pegawai KPK akan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS sesuai Pasal 1 ayat 6. Mereka harus taat pada peraturan perundang-undangan mengenai ASN. Sebelumnya, pegawai KPK bukanlah PNS, melainkan diangkat karena keahliannya.
Baca Juga: Niat Presiden Terbitkan Perppu Terhambat Partai Koalisi
Ketiga, kewenangan KPK dipangkas, di mana pimpinan KPK bukan lagi penyidik-penuntut umum. Dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 alias UU KPK yang lama, para pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Perlu diketahui, selama ini, penetapan tersangka hingga proses penyelidikan dilakukan lewat persetujuan para pimpinan KPK, karena status mereka adalah penyidik. Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan.
Namun dalam UU baru, kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus. Dalam UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh Dewan Pengawas.
Kewenangan menggeledah dan menyita juga harus melalui izin Dewan Pengawas. Pasal 12 B yang mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1×6 bulan dan dapat diperpanjang 1×6 bulan.
KPK hanya boleh mengambil alih penyidikan kasus korupsi yang ditangani oleh polisi dan jaksa. Proses penuntutan perkara korupsi yang dilakukan juga mesti berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, sehingga KPK tak lagi independen dalam menjalankan fungsinya.
Aturan ini dinilai sebagai sebuah kemunduran, karena KPK adalah lembaga yang menggabungkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.
Keempat, korupsi yang meresahkan masyarakat tak jadi syarat. Di UU KPK yang lama, “korupsi yang meresahkan masyarakat” menjadi salah satu syarat korupsi yang bisa ditangani KPK. Namun dalam UU KPK yang baru, syarat semacam itu tidak ada lagi. Berikut adalah bunyi pasal yang baru.
Kelima, KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan. Sebelumnya, KPK tidak bisa menerbitkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3). Namun dalam UU KPK yang baru, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Keenam, Dewan Pengawas akan dibentuk pada Desember 2019 mendatang. Selama Dewan Pengawas belum terbentuk, KPK masih menggunakan aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 30 Tahun 2002. Hal ini diatur dalam UU KPK yang baru sebagai berikut.
Nantinya, Dewan Pengawas beranggotakan lima orang pilihan DPR dan atas usulan DPR. Proses pemilihan mirip dengan seleksi calon pimpinan KPK menggunakan panitia seleksi.
Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan berlakunya UU KPK yang baru otomatis membuat kerja KPK terhambat. Pasalnya, perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh KPK bakal berimbas pada pergerakan lembaga antirasuah tersebut. Ia tak lagi leluasa menangkap koruptor.
“Dengan berlakunya Revisi UU KPK hari ini, OTT akan berhenti sementara karena izin kewenangan yudisial (termasuk sadap, tangkap, tahan) ada pada Dewan Pengawas yang notabene belum ada lembaganya,” kata Fickar saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (17/10/19).
Baca Juga: Jika Perppu KPK Tak Terbit, Negara Jadi Makin Rumit
Padahal, sehari sebelum berlakunya UU yang baru tersebut, KPK masih gencar melakukan OTT terhadap sejumlah kepala daerah terduga korupsi. Selama Oktober 2019, KPK telah menangkap tiga kepala daerah, yakni Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara (07/10/19), Bupati Indramayu Supendi (15/10/19), dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin (16/10/19). Selain itu, KPK juga menangkap Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Kalimantan Timur Refly Ruddy Tangkere (15/10/19).
Sebagai catatan, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat OTT KPK karena dugaan korupsi. Eldin bakal menjadi kepala daerah ke-122 yang bakal dijadikan tersangka oleh KPK sejak 2004 silam.
Pada 2019, Eldin menjadi kepala daerah ke-9 yang akan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tak hanya itu, sebagai catatan, semua Wali Kota Medan yang dipilih melalui pemilihan langsung sejak 2005 lalu ternyata terjerat kasus korupsi.
Berlakunya UU KPK yang baru tentu bakal membatasi ruang gerak KPK. Hal itu utamanya bakal berpengaruh pada OTT. “Jadi karena penegakan hukum itu bersandar pada asas legalitas, dengan sendirinya OTT akan berhenti,” ucap Fickar.
Fickar pun mengkritisi pernyataan Fraksi PDIP, dalam hal ini Masinton Pasaribu, yang menyebut OTT merupakan bentuk dari kegagalan KPK dalam melakukan fungsi pencegahan. Menurut Fickar, OTT jadi bagian dari upaya efek kejut pemberantasan korupsi yang harus tetap ada di KPK.
“Ini indikator dari tidak seriusnya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan kecenderungannya tidak hanya membuat KPK lemah (dalam penindakan) tapi juga eksistensi kelembagaannya. Korupsi itu kan kejahatan yang tingkat kecanggihannya tinggi, bahkan hukum pun (perjanjian keperdataan) bisa menjadi alatnya, sehingga menyadap dan menggelar OTT merupakan bagian dari upaya yg sungguh-sungguh dari pemberantasan korupsi, bukan sebagai alat festifalisasi.”
Selain itu, Fickar menyebut bahwa OTT bisa menjadi indikator tingginya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Sebab, lanjut Fickar, selama negara ini masih dikelola oleh manusia, kecenderungan korupsi itu masih tetap ada. Namun, menurutnya, masih ada harapan untuk menyelamatkan KPK.
“Mungkin bisa lewat jalur judicial review atau meminta Dewan Pengawas diisi oleh tokoh independen atau tokoh masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi,” kata Fickar.
Meski begitu, kekhawatiran Fickar sepertinya tak akan berlanjut. Pasalnya, Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan bahwa pihaknya tetap dapat melakukan OTT meskipun UU KPK hasil revisi mulai berlaku. OTT tetap bisa dilakukan setelah KPK berkomunikasi dengan jajaran internal dan membuat peraturan komisi (teknis) demi menyesuaikan diri dengan UU KPK hasil revisi.
“Misalkan besok ada kasus yang memenuhi penyelidikan matang dan bisa dilakukan OTT, ya bisa saja dilakukan OTT, begitu ya,” kata Agus dalam konferensi pers, Rabu (16/10) malam.
Selain itu, pihak DPR juga menegaskan bahwa KPK masih tetap bisa melakukan OTT meski Dewan Pengawas yang mengatur soal penyadapan belum terbentuk. Dikutip dari Detikcom, Rabu (16/10), eks anggota Panja Revisi UU KPK Arsul Sani mengatakan bahwa hal itu merujuk pada Pasal 69 D UU KPK yang baru mengatur soal peralihan aturan dari UU lama ke UU baru.
“Dalam Pasal 69 D ini telah ditegaskan bahwa selama dewan pengawas belum dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan tetap KPK dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebelum ada UU hasil perubahan ini,” kata Arsul.