Warga K-Pop sedunia kembali dirundung duka. Sulli, eks-personel girl group f(x), yang diluncurkan oleh manajemen SM Entertainment pada 2009, meninggal dunia pada 14 Oktober. Kepada polisi, manajer Sulli mengaku waswas sejak kontaknya dengan sang penyanyi terputus pada malam sebelumnya. Ia mengemudi ke rumah Sulli di Seongnam, Korea Selatan, dan mendapati penyanyi itu sudah tak bernyawa.
Choi Jin-ri, nama asli Sulli, adalah yang paling menonjol dari girl group f(x). Usai mundur dari f(x) pada 2015, Sulli merintis karier sebagai aktris dan tampil di film berjudul Real. Ia baru sungguh-sungguh kembali ke dunia tarik suara tahun ini melalui single bertajuk “Goblin.”
Meski penyidikan polisi belum tuntas, berbagai media melaporkan dugaan kuat bahwa Sulli bunuh diri. Selama beberapa tahun terakhir, dia kerap menjadi sasaran perisakan komunitas penggemar K-Pop di dunia maya akibat pandangan feminisnya yang tegas, kehidupan pribadinya, hingga kariernya. Hanya beberapa hari sebelum meninggal, Sulli sempat mengeluhkan dampak perisakan terus-menerus ini melalui Instagram Live. “Saya bukan orang jahat,” ucapnya. “Kenapa kalian mencaci saya? Apa yang membuat saya pantas diperlakukan seperti ini?”
Sulli memang bukan idol K-Pop biasa. Pada 2014, ia memutuskan menghentikan aktivitasnya di f(x) saat grup tersebut tengah getol-getolnya mempromosikan album baru. Melalui situs resmi f(x), SM Entertainment mengumumkan bahwa kondisi fisik dan mental Sulli merosot akibat “rumor ngawur dan keji yang tersebar tentangnya.” Setahun kemudian, saat jutaan fans masih menanti-nanti kembalinya f(x), ia malah undur diri.
Kehidupan pribadinya pun jadi sorotan. Pada 2014, Sulli secara terbuka berpacaran dengan rapper Choiza. Bintang K-Pop umumnya dituntut untuk menjaga citra yang bersih dan suci, sehingga jarang tersiar kabar seorang idol K-Pop terang-terangan berpacaran dengan orang lain.
Pandangan feminisnya yang tegas pun membuatnya berseberangan dengan masyarakat konservatif Korea Selatan. Sulli adalah satu dari segelintir figur publik Korea Selatan yang mendukung pemerintah mencabut larangan aborsi. Ia dicibir akibat kerap tampil di hadapan umum tanpa bra, dan diterpa cacian homofobik akibat mengecup bibir sahabatnya, penyanyi Goo Ha-Ra, dalam pesta ulang tahun. Pada April 2019, ia menuduh fans-nya melakukan “gaze rape”–istilahnya untuk tatapan berlebihan yang dinilai mengganggu privasi orang lain.
Pada 2017, ia berperan sebagai seorang pemadat dalam film kontroversial Real. Penampilannya yang meyakinkan serta subyek kelam film tersebut membuatnya dituduh betul-betul mencandu narkoba. Sulli menampik rumor ini, seraya meminta publik fokus pada riset mendalam serta method acting yang ia kerjakan untuk film tersebut.
Seolah hendak menjawab gelombang perisakan terhadapnya, tahun ini Sulli menjadi salah satu pembaca acara serial “Night of Hate Comments” yang tayang di stasiun televisi JTBC. Dalam serial tersebut, para pembawa acara membedah komentar-komentar kejam fans K-Pop di internet, sembari menggali pendapat seorang artis K-Pop sungguhan–dalam hal ini Sulli–tentang kultur perisakan tersebut.
Penampilan Sulli dalam 16 episode serial tersebut membuatnya tambah beken. Oleh Billboard, ia disebut sebagai “pembawa acara termuda dan paling blak-blakan.” Ia tak pernah segan bicara apa adanya tentang kesehatan mental dan keluarga. Setelah kematian Sulli, JTBC mengumumkan bahwa mereka menunda penayangan episode teranyar “Night of Hate Comments” yang seharusnya tayang pada 18 Oktober. Hingga kini, masa depan serial tersebut masih abu-abu.
Melanggengkan Eksploitasi
Sulli bukanlah bintang K-Pop pertama yang bunuh diri akibat tekanan yang disebabkan secara langsung oleh kariernya. Pada 2015, K-Pop geger akibat kabar bunuh diri Ahn Sojin, personil grup Baby Kara. Dua tahun kemudian, Jonghyun dari grup SHINee bunuh diri akibat stress berkepanjangan. Kematian dua figur tenar tersebut memantik percakapan serius tentang kondisi mental para bintang K-Pop, dan penyebab keterpurukan batin mereka.
Jelas bahwa praktik internal dalam industri musik Korea Selatan memelihara kultur mengerikan ini. Di balik gemerlapnya panggung-panggung meriah K-Pop, terhimpun begitu banyak kisah tentang eksploitasi, kekerasan, dan penghidupan yang dicuri.
Persoalannya terjadi dari hulu ke hilir. Di negara-negara Barat, label besar umumnya mengontrak musisi-musisi anyar yang telah membuktikan diri di panggung kecil, label independen, atau kontes pencarian bakat. Di Korea Selatan, para bintang K-Pop telah ditempa sejak awal. Perusahaan manajemen musik akan mengadakan audisi-audisi yang dihadiri bocah-bocah 12-14 tahun. Peserta yang lolos akan dikirim masuk boot camp yang bisa berlangsung selama sepuluh tahun, tempat mereka dilatih secara intens untuk menjadi idola K-Pop yang sempurna.
Praktik boot camp ini menjadi lahan basah bagi eksploitasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Meski masih remaja, mayoritas peserta boot camp dipaksa menandatangani noye gyeyak atau “kontrak perbudakan”–istilah untuk kontrak antara individu dengan manajemen K-Pop yang dinilai timpang dan tak adil. Kontrak perbudakan umumnya berdurasi 7-15 tahun.
Atas dasar kontrak ini, tiap aspek kehidupan para peserta mulai dari pola makan, berat badan, hingga akses ke dunia luar dikendalikan dengan ketat oleh manajemen. Mereka dipaksa tinggal di asrama sempit, dengan komunikasi minim kepada keluarga dan akses seadanya terhadap pendidikan dasar.
Laporan terjadinya kekerasan seksual terhadap peserta boot camp pun tak sedikit. Rumor terjadinya budaya casting couch, di mana peserta boot camp dipaksa melakukan aktivitas seksual dengan investor atau produser label besar, rutin berseliweran.
Bahkan setelah melalui “jahanam di dunia” ini, hanya segelintir peserta boot camp yang sungguh-sungguh dikontrak dalam idol group. Kematian Ahn Sojin, peserta boot camp DSP Media, menelanjangi dampak praktik serampangan ini. Pada 24 Februari 2015, Sojin bunuh diri setelah ia batal menjadi anggota idol group baru yang dibentuk oleh DSP Media. Usianya baru 22 tahun.
Sekalipun seseorang berhasil menjadi anggota idol group, eksploitasi tak berhenti. Umumnya, kontrak perbudakan mewajibkan sang bintang untuk mengembalikan ongkos melatih, mengasramakan, dan menanggung hidup sang bintang sepanjang masa boot camp. Oleh karena itu, mayoritas pendapatan sang bintang bakal ludes untuk membayar “utang” kepada manajemen. Tentu ini perkara gampang apabila sang bintang kebetulan tergabung dalam grup setenar BTS atau Super Junior, atau dinaungi manajemen raksasa seperti YG Entertainment atau JYP Entertainment. Namun, bintang K-Pop yang tak seberuntung para megabintang bisa “membayar utang” kepada manajemennya selama bertahun-tahun.
Imbas dari praktik ini dibocorkan oleh Prince Mak, personil grup JJCC. Kepada media internasional, ia membeberkan bahwa “80-90% royalti dicaplok oleh manajemen.” Musisi pun dipaksa menanggung beban kerja yang tak manusiawi demi menutupi “kerugian” manajemen saat menyekolahkan mereka. “Kebanyakan musisi hanya tidur 3-4 jam sehari,” terang Mak. “Sisa waktu dihabiskan untuk latihan atau kerja.”
Hal ini diperparah oleh minimnya pemasukan dari penjualan CD fisik serta royalti dari streaming. Guna meraup keuntungan, mau tidak mau manajemen akan mendorong artisnya untuk memenuhi jadwal manggung yang luar biasa ketat. Kondisi ini berujung pada Manager Driving–julukan untuk fenomena mengkhawatirkan di mana manajer sebuah idol group akan menyetir ugal-ugalan di jalan tol demi memastikan bahwa sang idol group tiba tepat waktu untuk sebuah konser. Pada 2014, EunB dan RiSe dari girl group Ladies’ Code meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas akibat Manager Driving.
Siklus karier grup K-Pop pun tidak lama. Menurut kritikus Jeff Benjamin, manajemen cenderung beranggapan bahwa sebuah grup K-Pop akan “kedaluwarsa” setelah lima sampai tujuh tahun. Maka, jangka waktu amat singkat tersebut dimanfaatkan oleh manajemen untuk memerah habis-habisan grup tersebut dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa mengindahkan kondisi fisik dan mental para anggota. Apabila musisi Barat bisa mengambil jeda satu sampai dua tahun setelah merilis album, grup K-Pop “hanya bisa beristirahat selama beberapa bulan.”
Imbasnya, seorang bintang K-Pop luar biasa rentan mengalami burn out, kelelahan mental, dan depresi. Sorotan media serta kritik bertubi-tubi dari para penggemar bermulut pedas kian memperkeruh suasana. Titik balik dari fenomena ini adalah bunuh diri Jonghyun dari SHINee yang menggemparkan dunia pada 18 Desember 2017. “Tolong beri tahu aku bahwa aku telah bekerja dengan baik,” tulis Jonghyun dalam pesan terakhirnya. “Beri tahu aku bahwa aku telah bekerja keras, bahwa aku telah melalui begitu banyak. Selamat tinggal.”
Bangsa yang Merana
Tentu K-Pop tak berdiri sendiri. Maraknya kasus bunuh diri dan buruknya kesehatan mental para idola K-Pop adalah bagian dari persoalan lebih besar yang menjangkiti masyarakat Korea Selatan. Angka bunuh diri di negara tersebut tertinggi di antara negara-negara berkembang. Badan Statistik Korea, seperti dilansir oleh The Korean Herald, melaporkan bahwa bunuh diri adalah penyebab utama kematian anak muda di Korea Selatan.
Menulis untuk The New York Times, novelis Young-Ha Kim berpendapat bahwa warga Korea “masih berpendapat bahwa keinginan bunuh diri adalah pertanda tekad yang lemah. Tidak ada upaya bersimpati atau menggali lebih dalam.” Serupa dengan kultur di Jepang dan Cina, kemajuan ekonomi pesat di Korea Selatan mensyaratkan munculnya satu generasi yang menafikan kesehatan mental demi mengejar pencapaian, prestise, dan kesuksesan finansial.
Penyakit ini pun menjangkiti matra lain dalam kesenian Korea Selatan. Pada 2010, Park Jin-Hee sempat disorot karena disertasinya yang menjabarkan kondisi mental para aktor di industri film Korea Selatan. Dalam tesisnya, Park mendapati bahwa sedikitnya 38,9% aktor Korea Selatan mengalami depresi. Mereka, kata Park, mempertimbangkan bunuh diri karena “minimnya privasi, perisakan daring, pemasukan yang tak menentu, serta keresahan bahwa talenta mereka tak dihargai oleh industri film maupun publik.”
Kematian Sulli, juga kematian Jonghyun dan Ahn Sojin, bukanlah insiden terisolir. Mereka dihabisi oleh kultur eksploitasi dan perisakan yang tak mengindahkan kemanusiaan. K-Pop adalah industri ekstraktif dan para bintang adalah gunung-gunung mineral. Sulli penting bukan hanya karena kesuksesan kariernya atau karya musikalnya yang inovatif. Ia patut dikenang sebab ia satu dari amat sedikit artis K-Pop yang melanggar tabu dan berani menampik kultur yang beracun.
Bahwa ia akhirnya dikalahkan oleh ekses-ekses budaya tersebut adalah tragedi sesungguhnya. Dan tragedi ini tak boleh lewat begitu saja. Ia harus dijadikan pemantik percakapan serius tentang pengidolaan yang membunuh, bisnis K-Pop yang eksploitatif, serta tuntutan tak wajar yang terus-menerus dipikul anak-anak muda Korea Selatan–meski punggung mereka patah, seorang demi seorang.