Publik mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK. Ia menyatakan bakal mempertimbangkan hal itu usai bertemu puluhan tokoh masyarakat, seperti akademisi, seniman, dan budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/09/19) lalu. Namun, situasi jadi rumit manakala ada “intervensi” dari partai-partai koalisi pemerintah. Dia tentu tak bisa mengabaikan suara mereka.
Dalam pertemuan dengan berbagai tokoh masyarakat tersebut, Jokowi menyatakan hendak berhitung soal penerbitan aturan pengganti UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan bersama DPR pada 17 September lalu itu. Ia juga berjanji mengambil keputusan tersebut dalam waktu singkat. Namun, pada Rabu (02/10), Ketua Umun Partai NasDem Surya Paloh mengeluarkan pernyataan besar. Katanya, Presiden Jokowi dan partai-partai politik pengusung telah satu bahasa untuk menolak penerbitan Perppu KPK.
Surya bahkan menyebut Jokowi bisa saja dimakzulkan jika nekat mengeluarkan Perppu.
Paloh dan ketum parpol koalisi lainnya khawatir penerbitan perppu dapat memunculkan rintangan baru bagi Jokowi. Apalagi saat ini, proses judicial review (JR) terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi sedang berlangsung. Menurutnya, menerbitkan Perppu KPK di tengah proses judicial review di MK akan mengundang persoalan.
Baca Juga: Urgensi Bagi Jokowi Untuk Bersikap
“Sudah di MK kenapa kita harus keluarkan perppu? Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya. Salah lho. Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dapat dipolitisir,” ujarnya. “Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho. Ini harus ditanyakan kepada ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru,” ucapnya.
Pernyataan Surya Paloh berbeda dari berbagai pihak. Sejumlah pakar justru mendorong agar Jokowi menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK yang baru. Menurut mereka, Jokowi tak perlu takut soal isu pemakzulan, sebab penerbitan Perppu merupakan kewenangan istimewa Presiden yang dijamin Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
“Penerbitan Perppu tidak bisa dijadikan alasan impeachment. UUD 1945 sudah jelas menentukan alasan impeachment itu antara lain yakni penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, perbuatan tercela, tindak pidana berat, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden,” kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safa’at saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (03/10/19).
Menurut Ali, tak ada konsekuensi pidana sama sekali jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK karena itu memang kewenangannya. Ali menyebut sekalipun nantinya DPR tidak setuju dengan Perppu, tinggal dibatalkan. “Alurnya sama seperti dengan pembuatan UU. Kalau UU-nya tidak benar, bisa saja dibatalkan oleh MK,” katanya.
Baca Juga: Apakah RUU Bisa Lolos Tanpa Tanda Tangan Presiden?
Senada dengan Ali, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember, Jayus, juga mengatakan bahwa tak ada alasan untuk memakzulkan presiden hanya karena menerbitkan Perppu.
“Tidak ada lembaga apa pun dan siapa pun yang dapat mengintervensi. Perppu bisa diterbitkan sewaktu-waktu oleh Presiden,” kata Jayus kepada Asumsi.co lewat telepon, Kamis (03/10).
Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).”
Kemudian, hal itu diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi, “Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Mengacu salah satu poin putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009, Perppu bisa diterbitkan dalam keadaan mendesak. Presiden berhak menilai apakah keadaan sudah masuk kategori genting atau belum.
Sementara itu, Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan bahwa memang ada kepentingan dalam partai-partai koalisi pendukung Jokowi terkait Perppu UU KPK tersebut. Menurutnya, Perppu seharusnya jadi urusan subjektif Presiden, sehingga tak perlu campur tangan partai.
“Revisi UU KPK ini kan sudah selesai, kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Kalau Jokowi bilang bakal mempertimbangkan, ya kemungkinannya tetap ada dua opsi, bisa diterbitkan ataupun tidak sama sekali, tergantung situasi yang berkembang,” kata Adi kepada Asumsi.co, Kamis (03/10).
“Kalau Jokowi tidak hati-hati menyikapi persoalan yang berkembang, ya rentan juga dipolitisir. Mempertimbangkan Perppu itu tentu jadi bahasa diplomasi politiknya Jokowi untuk meredakan ketegangan yang terjadi beberapa hari terakhir,” ujarnya.
Baca Juga: Akankah DPR yang Dipimpin Puan Maharani Mengesahkan RUU PKS?
Apabila Perppu akhirnya diterbitkan, masyarakat bisa memperoleh kejelasan tentang komitmen pemerintah memberantas korupsi. Apalagi jika mengingat lagi agenda dan janji pemberantasan korupsi yang selalu digaungkan Jokowi untuk memperkuat KPK, baik dalam kampanye Pilpres 2014 maupun 2019.