Puan Maharani resmi menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024 setelah dilantik di Gedung DPR RI, pada Selasa (01/10/19). Ia menjadi perempuan pertama yang memimpin lembaga legislatif ini. Putri presiden kelima Megawati Sukarnoputri itu pun sudah ditunggu tugas berat yang ditinggalkan DPR periode sebelumnya.
Sebagian kalangan bertanya-tanya apa prestasi yang membuat Puan layak menempati jabatan itu, sebagaimana ketika dia dipilih sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode I (2014-2019).
Puan pertama kali mengikuti pemilu pada 2009. Ia terpilih sebagai anggota legislatif mewakili PDIP di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Klaten dan Boyolali dengan meraih 242.504 suara. Ia menempati Komisi IV DPR yang menangani pertanian, pangan, maritim, dan kehutanan. Pada pemilu 2014, Puan kembali maju sebagai caleg di dapil yang sama. Ia menang dengan 369.927 suara, lalu ditempatkan di Komisi VI DPR yang mengurusi industri, investasi, dan persaingan usaha.
Sebagai menko, Puan merupakan satu-satunya yang tidak terkena reshuffle atau diganti menjelang satu tahun masa pemerintahan Jokowi pada Agustus 2015. Menjabat hingga masa baktinya habis, Puan meraih kursi DPR periode 2019-2024 dengan suara terbanyak, yakni 404.034 suara, sehingga ditunjuk menjadi Ketua DPR untuk lima tahun ke depan.
Baca Juga: Bagaimana Nasib RUU PKS Jika DPR Keburu Ganti Anggota?
Usai dilantik, Puan mengatakan DPR di bawah kepemimpinannya tak akan membuat banyak Undang-Undang (UU). Cucu presiden pertama ini bakal fokus pada Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas. Hal itu tentu bertujuan agar kinerja DPR lebih efektif.
Puan menyebut DPR periode 2014-2019 sudah menunda pengesahan delapan RUU dan di-carry over. RUU itu di antaranya adalah RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RKUHP, RUU Koperasi, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
Salah satu yang jadi sorotan ialah RUU PKS. “[RUU-RUU] itu akan jadi prioritas Prolegnas ke depan, namun tentu saja mekanisme dan tata cara akan kami lakukan dalam tata tertib yang akan datang,” ujarnya.
Meski demikian, Puan menjawab secara rinci perihal komitmennya untuk mengesahkan RUU PKS, yang sudah dibahas sejak 2017. Ia menyebut akan melihat terlebih dulu hasil pembahasan yang telah dilakukan oleh DPR periode sebelumnya. “Saya akan melihat dahulu bagaimana hasil dari pelaksanaan UU yang ditunda itu, akan kami bahas dalam tata tertib yang seperti apa,” kata Puan.
RUU PKS tak jadi disahkan pada periode DPR 2014-2019 karena sejumlah hal. Misalnya saja seperti belum adanya kesepahaman di internal DPR, di mana Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih mengkritik sejumlah poin dalam draf RUU inisiatif DPR itu. Lalu, berdasarkan rapat terakhir, DPR dan pemerintah cuma sepakat menyusun tim perumus (timus). Selain itu, DPR juga berdalih RUU PKS tersandera Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belum disahkan.
Ucapan Puan layaknya pemimpin-pemimpin lain yang baru saja terpilih dalam sebuah kontestasi politik. Normatif dan penuh janji. Tak ada jaminan apakah Puan dengan DPR bakal berbeda dari angkatan sebelumnya, terutama soal pengesahan RUU PKS.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai penundaan RUU PKS yang dilakukan DPR periode 2014-2019 hanya merugikan korban. Mirisnya, korban enggak dapat apapun dalam lima tahun masa kerja DPR kemarin. Untuk itu, Puan diharapkan bisa lebih berani dalam mengambil sikap.
“Kita berharap banyak. Mbak Puan dapat memimpin para anggota bertemu para korban sehingga dapat mendengar aspirasi para korban, terutama perempuan korban,” kata Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (02/10/19).
Menurut Sri, kelembagaan yang dipimpin seorang perempuan bakal memiliki potensi lebih kuat dalam membuat kebijakan yang pro perempuan. Namun, ia mewanti-wanti bahwa hal itu bakal bisa terwujud dengan tetap melakukan penguatan terhadap kapasitas bagi perempuan itu sendiri.
Sri pun menyayangkan DPR periode 2014-2019 tak mengesahkan RUU PKS yang sangat mendesak dibutuhkan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Apalagi, ia memandang ada alasan politis dari ditundanya pengesahan RUU PKS tersebut. “Kalau dilihat dari track record argumentasi, ada alasan lain yang lebih politis, di mana RUU PKS dipolitisir sehingga digambarkan sebagai RUU yang tidak layak dan bukan kebutuhan masyarakat,” ucapnya.
Baca Juga: RKUHP Tidak Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual
Menurut Sri, jika melihat berbagai argumentasi dari pihak yang kontra terhadap RUU PKS, terutama terkait pilihan frasa dan lain-lain dalam RUU tersebut, maka ia menegaskan bahwa seharusnya soal frasa-frasa itu tidak ditolak, tapi seharusnya dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.
Berbeda dengan Sri, Konsultan Gender dan HAM, Tunggal Pawestri, justru tak ingin berharap lebih dengan DPR periode 2019-2024 di bawah kepemimpinan Puan. Bukan tanpa alasan ia kurang yakin, apalagi jika melihat kinerja DPR yang tampaknya selalu sama saja dari periode ke periode.“Menurut saya sih bakal sama ajalah, tergantung isi dan komposisi panja-nya dan sikap tiap-tiap fraksi,” kata Tunggal kepada Asumsi.co, Rabu (02/10).
Namun, sama halnya dengan Sri, bahwa anggota DPR yang bakal terlibat dalam pembahasan RUU PKS memang harus berperspektif korban. Sebab, selama ini, nyaris sebagian besar dari para pembuat kebijakan selalu kurang peka dan cenderung abai terhadap korban kekerasan seksual.
“Kalau mereka (anggota DPR saat ini) tidak jauh berbeda perspektif dan kesadarannya dengan anggota sebelumnya, dalam melihat kepentingan korban, saya pikir ya bakal berat juga. Tapi kan kemarin RUU ini bagian dari tujuh tuntutan mahasiswa ya, keterlaluan sekali kalau sampai DPR kali ini tidak serius menjadikannya prioritas untuk diselesaikan,” ucap Tunggal.
Terlepas akan seperti apa nasib RUU PKS di tangan DPR periode 2019-2024 yang dipimpin Puan, proses itu tentu harus terus dikawal. Namun, satu hal yang jadi harapan pada DPR lima tahun ke depan adalah meningkatnya keanggotaan perempuan.
Selain Puan, dari total 575 anggota DPR, ada 118 perempuan yang juga dilantik sebagai anggota DPR periode 2019-2024. Bahkan pada keanggotaan DPR periode baru ini, selain Puan sebagai perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR, ada satu lagi perempuan yang mendapat predikat sebagai anggota DPR termuda yakni Hillary Brigitta Lasut.
Angka itu tercatat meningkat jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 silam yang hanya menempatkan 97 anggota DPR perempuan saja. Jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR periode 2014-2019 justru turun menjadi 17,32 persen dari total anggota DPR yang berjumlah 560 orang saat itu.
Jika ditarik jauh ke belakang, sejak Pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR memang belum mencapai angka 30 persen. Pada Pemilu 1999, jumlah perempuan yang berhasil menjadi anggota DPR yakni sebanyak 44 orang atau 8,8 persen.
Lalu, pada Pemilu 2004, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR pun meningkat menjadi 65 orang atau sebesar 11,82 persen. Pada Pemilu 2009, perempuan mengirimkan wakilnya sebesar 99 orang atau 17,86 persen, sedangkan pada Pemilu 2014, keterwakilan perempuan justru mengalami penurunan seperti yang dijabarkan sebelumnya.
Dari dua periode pemilu, PKS, yang begitu vokal mengkritik RUU PKS, justru menjadi partai dengan keterwakilan anggota DPR perempuan paling sedikit selama dua periode tersebut berasal dari PKS. Pada Pemilu 2009, PKS hanya memiliki 5,26 persen keterwakilan perempuan di DPR. Sementara pada Pemilu 2014, keterwakilan perempuan dari PKS yang ada di DPR malah menurun menjadi 2,5 persen.
Baca Juga: Jalan Pikiran PKS yang Menolak RUU PKS
Sebetulnya, salah satu upaya untuk meningkatkan peran perempuan dalam politik sendiri sudah diterapkan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR. Di antaranya:
1.Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
2.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
3.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
4.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
Lebih rinci, UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini dirumuskan berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.
Sementara itu, UU No. 10 Tahun 2008 menjabarkan soal partai politik baru dapat ikut serta dalam kontestasi politik setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Selain itu, peraturan lain misalnya melalui penerapan zipper system yang mengatur bahwa setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Aturan ini terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008.
Anne Phillips (1998) menjabarkan bahwa representasi hanyalah aspek lain dari partisipasi. Ketika terdapat penambahan jumlah representasi, belum tentu partisipasi perempuan yang menjadi tujuan di awal tadi bisa langsung terwujud. Hal ini juga diperkuat dengan penjelasannya bahwa masyarakat yang heterogen, dengan keragaman yang berbeda dan kepentingan yang berpotensi bertentangan, itu harus diakui.
Di sisi lain, Phillips juga berpendapat bahwa rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen terjadi karena, pertama, faktor struktural yang meliputi sistem pemilihan umum dan dominasi laki-laki. Kedua, adalah faktor kultural seperti negative stereotype bahwa perempuan tidak mampu atau pantas berkiprah di dunia politik, beban pembagian kerja secara seksual yang menunjang stereotype negatif dan menyita waktu maupun pikiran untuk dapat berperan di dunia publik.
Sayangnya, ketimpangan yang terjadi di parlemen ini bukan saja merugikan perempuan saja, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kepedulian perempuan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, anti kekerasan dan lingkungan bisa menjadi kebijakan prioritas apabila perempuan terlibat langsung dalam sistem.
Kemudian, diskriminasi kebijakan akan terjadi apabila anggota parlemen laki-laki tidak memperjuangkan kepentingan perempuan tersebut. Namun, tantangan tak berhenti sampai di situ, bahwa sejauh ini, hadirnya perempuan dalam lembaga politik itu sendiri seolah hanya sebagai simbol bahwa negara telah menjalankan demokrasi saja, karena telah memberi kesempatan dan ruang kepada setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam politik termasuk perempuan.
Perempuan tetap saja cenderung tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan strategis, dikarenakan tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk memegang jabatan penting. Semoga duduknya Puan sebagai orang nomor satu di DPR, bukan sekedar simbol keberhasilan perempuan masuk dalam politik belaka, tapi harus dibarengi dengan langkah-langkah beraninya memperjuangkan kepentingan perempuan.