Pada 1 Agustus 2019, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan lebih dari 30 orang yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menggugat sejumlah lembaga pemerintahan.
Gugatan tersebut ditujukan pada Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Melayangkan citizen lawsuit, kelompok ini menganggap para tergugat telah lalai dalam menjaga kualitas udara Jakarta.
Berdasarkan data AirVisual sejak tahun 2017, nilai polusi udara di Jakarta memang meningkat setiap tahun. Rata-rata nilai partikulat (PM 2,5) di Jakarta selama sepekan terakhir mencapai angka 63,65 μgram/m3, dengan kadar tertinggi sebesar 75,7 μgram/m3 pada hari Senin (29/7/19)—menjadikan Jakarta juara polusi udara di antara kota-kota besar dunia.
Nilai ini lebih tinggi dari rata-rata PM 2,5 tahun 2018 lalu yang sebesar 45,3 μgram/m3 dan pada tahun 2017 yang sebesar 29,7 μgram/m3. Nilai ini pun jauh di atas standar United States Environmental Protection Agency (EPA) yang menetapkan standar PM 2,5 wajar sebesar 15 μgram/m3 per tahun dan 35 μgram/m3 per hari.
Polusi udara bukan perkara main-main. WHO menyebutnya sebagai “public health emergency”, dengan 91% populasi dunia yang mayoritas berada di Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat menghirup udara beracun.
Polusi udara tak hanya berbahaya bagi sistem respirasi tubuh, tetapi hampir seluruh bagian tubuh manusia. “Polusi udara dapat merusak dan berdampak pada seluruh organ tubuh manusia. Partikel-partikel halus yang masuk ke paru-paru dibawa oleh aliran darah ke seluruh sel-sel tubuh,” ujar peneliti-peneliti Forum of International Respiratory Societies, seperti dilansir oleh The Guardian.
Tak hanya masalah seperti asma dan kanker paru-paru, polusi udara juga meningkatkan risiko serangan jantung. Sebab, partikel halus yang dikandungnya dapat menyempitkan pembuluh arteri serta melemahkan otot. Selain itu, polusi udara merupakan salah satu penyebab stroke, penurunan kecerdasan, gangguan tidur, kanker ginjal, kanker kandung kemih, serta penurunan fertilitas dan peningkatan risiko keguguran.
Banyaknya komplikasi penyakit yang dapat disebabkan oleh polusi udara membuat angka kematian dini yang disebabkan oleh polusi udara sangat tinggi. Polusi udara diperkirakan menyebabkan kematian lebih tinggi daripada rokok, yaitu sebesar 8,8 juta kematian dini setiap tahunnya, jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 4,5 juta kematian. Penyakit-penyakit seperti serangan jantung ini dapat dengan mudah dianggap telah disebabkan faktor-faktor lain—membuat polusi udara juga disebut sebagai “silent killer.”
Pertanyaannya, siapakah yang paling berisiko terkena dampak polusi udara?
Para Pekerja Luar Ruangan Lebih Rawan
Walaupun semua orang di DKI Jakarta menghirup udara yang sama, tetapi tingkat paparan terhadap setiap orang berbeda. Menurut hasil eksperimen yang dilakukan oleh Air We Share terhadap warga London dengan aktivitas sehari-hari yang berbeda, ditemukan bahwa orang yang sehari-hari bekerja di luar ruangan terpapar polusi udara enam kali lebih besar daripada orang yang bekerja di dalam ruangan.
Orang-orang yang bekerja di luar ruangan ini dapat terdiri dari pedagang kaki lima, pengantar delivery, pekerja konstruksi, petugas kebersihan jalan, hingga pengemudi kendaraan bermotor. Paparan polusi udara tertinggi didapatkan oleh pengemudi kendaraan bermotor. Tak cuma pengemudi sepeda motor, pengemudi mobil, bus, dan kendaraan-kendaraan tertutup lainnya juga termasuk. Polusi udara dapat masuk dan bersirkulasi di dalam kendaraan, terutama di jalanan padat lalu lintas.
Pekerjaan yang kebanyakan diampu orang-orang berstatus ekonomi dan sosial rendah ini membuat mereka semakin rentan terpapar polusi udara karena faktor-faktor lain. Contohnya adalah tempat tinggal yang kurang layak yang menyebabkan udara luar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah, jarak rumah yang dekat dengan sumber polusi udara (lalu lintas padat dan cerobong asap pabrik), dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan.
Untuk mengurangi dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan pekerja di luar ruangan, WHO mengimbau para pekerja untuk melakukan hal-hal berikut ini: mengurangi durasi kerja di luar ruangan, memperbanyak waktu pergantian kerja, dan tidak melanjutkan kerja di saat polusi udara sedang dalam taraf mengkhawatirkan.
Maka, penting bagi pekerja-pekerja seperti petugas PPSU atau pasukan oranye, pengemudi Transjakarta, kondektur bus, hingga pengemudi-pengemudi ojek daring, untuk menyadari soal-soal keselamatan dan kesehatan. Pemberi kerja pun bertanggung jawab untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada pekerja-pekerjanya.
Pemberi kerja juga diimbau untuk menyediakan alat-alat perlindungan pernapasan untuk pekerja, melakukan uji kesehatan dan pelatihan, memantau kesehatan pekerja—termasuk melakukan MCU untuk mengetahui kondisi-kondisi kesehatan yang dapat diperparah dengan polusi udara, seperti asma, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain. Selain itu, penting pula untuk selalu memantau kondisi atau level polusi udara di lokasi bekerja.
Andil pemerintah DKI Jakarta tak semestinya berhenti pada penerbitan Instruksi Gubernur yang membatasi angkutan umum berusia di atas 10 tahun, memperluas kebijakan ganjil genap kendaraan bermotor, atau memperluas trotoar di jalan-jalan besar. Pemerintah provinsi juga bertanggung jawab untuk menyadarkan warga mengenai tingkat polusi udara di daerah masing-masing.
Sesuai dengan imbauan WHO, pemerintah DKI Jakarta sebaiknya memberikan peringatan kepada masyarakat untuk mengurangi atau menghentikan kerja ketika polusi udara sudah tak tertanggungkan, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merekomendasikan standar masker dan alat-alat pelindung diri yang perlu dipakai masyarakat, hingga bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk memerhatikan keselamatan dan kesehatan pekerja-pekerja yang terpapar polusi udara.