Suatu sore, taksi online yang saya tumpangi terjebak kemacetan di Jalan Tumanurung, Kabupaten Gowa. Aktivitas alat berat yang membongkar jalur pejalan kaki menjadi penyebabnya. Info dari pengemudi taksi, trotoar di sepanjang jalan tersebut akan ditata ulang agar ramah bagi penyandang disabilitas.
Selanjutnya, ia melontarkan pertanyaan bernada kritik “Tapi, memangnya ada penyandang disabilitas yang nanti berkeliaran di trotoar?”
Keheranan ini bisa jadi mewakili banyak orang. Tak sedikit yang berpikir bahwa menggelontorkan anggaran milyaran rupiah untuk membangun fasilitas yang inklusif adalah sebuah pemborosan.
Selama ini, absennya penyandang disabilitas di ruang-ruang publik sudah dianggap sebagai hal yang lumrah. Sekian lama aktivitas mereka dibatasi oleh tidak tersedianya fasilitas. Alhasil, kita jarang menjumpai atau bersinggungan dengan mereka dalam aktivitas sehari-hari.
Sekalinya bertemu, sebagian dari mereka sedang duduk meratap mengulurkan tangan di pinggir jalan. Mereka sebatas dikenali sebagai kelompok yang tidak mampu, selamanya bergantung pada pertolongan orang lain.
Eksistensi penyandang disabilitas pun seolah terlupa. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) RI tahun 2010, tercatat jumlah penyandang disabilitas mencapai lebih dari 9 juta jiwa atau sekitar 4,74% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Sebagaimana si supir yang berpikir apakah memang perlu ada jalur pedestrian yang inklusif. Seolah ada kejanggalan besar jika orang-orang dengan keterbatasan fisik muncul dan beraktivitas di ruang publik layaknya mereka yang tak punya halangan. Selamanya hal tersebut akan terasa janggal jika jalur pejalan kaki dan fasilitas umum lainnya tidak dibenahi agar lebih inklusif.
Berbanding terbalik dengan pengalaman saya saat menempuh pendidikan di Melbourne. Selama 1,5 tahun hidup di Ibu Kota Victoria, Australia, tersebut hampir setiap hari saya menyaksikan penyandang disabilitas yang beraktifitas secara mandiri di ruang publik. Sudah tak terhitung berapa jumlah tunadaksa yang saya lihat melintas di jalur pedestrian dengan kursi rodanya. Ada yang bersetelan rapi ala kantoran. Ada yang hendak menuju kampus atau pun pusat perbelanjaan.
Melihat penyandang disabilitas menyebrang jalan ataupun naik-turun tram seorang diri di Melbourne bukanlah hal yang asing. Dengan segala fasilitas dan kemudahan akses yang dibangun, Melbourne mengizinkan kawan-kawan dengan keterbatasan fisik untuk hadir dalam keseharian hidup warga lainnya.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah mengamanatkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas sebagaimana tertuang dalam UU No 8 tahun 2016. Undang-undang tersebut menekankan perlunya menghormati, melindungi, dan memajukan hak-warga negara yang berkebutuhan khusus. Namun, jaminan hukum itu tidak lantas menghentikan diskriminasi yang diterima oleh penyandang disabilitas. Kasus terakhir yakni pembatalan kelulusan PNS Dokter Gigi Romi Syofpa Ismael (33) oleh Pemerintah Kabupaten Solok Selatan karena yang bersangkutan merupakan penyandang disabilitas.
Beberapa penyandang disabilitas lain bahkan bernasib lebih miris. Tak sedikit yang harus mengubur impiannya untuk bekerja bahkan sebelum surat lamaran dikirim. Ini diakibatkan terbatasnya layanan maupun akses informasi yang inklusif. Ini menjadi bukti bahwa untuk menghadirkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas, butuh upaya lebih dari sekedar aturan hukum yang anti-diskriminatif. Misalnya, pemerintah juga perlu memfasilitasi program kesejahteraan sosial untuk menjembatani penyandang disabilitas dengan penyedia kerja.
Tak kalah pentingnya yakni peran dari media untuk menampilkan realitas kehidupan para disabilitas sehari-hari. Melalui media, masyarakat bisa diajak untuk mulai melihat bahwa manusia dengan berbagai jenis disabilitasnya dan dengan berbagai macam latar belakangnya adalah bagian penting dari kelompok sosial. Orang-orang tidak bisa lagi dihakimi atau dinilai karena disabilitas yang dimiliki.
Media diharapkan bisa menghilangkan stereotype negatif atas representasi penyandang disabilitas dan pada akhirnya bisa mengurangi diskriminasi. Sebagaimana Robet N. Entman (1993) dalam Teori Framingnya menjelaskan, media memiliki kekuatan untuk melanggengkan ataupun melawan stereotype negatif yang selama ini ditujukkan pada kelompok tertentu.
Selama ini, kecenderungan media yakni melanggengkan stigma penyandang disabilitas sebagai kelompok yang perlu dikasihani, kalau-kalau tidak menjadi bahan lelucon. Melihat disabilitas sebagai sebuah tragedi yang perlu diratapi dan disembunyikan adalah sudut pandang yang salah, tetapi sudah lama mengakar. Stigma ini pada akhirnya justru memperkuat diskriminasi terhadap mereka. Membatasi ruang geraknya di ranah publik dan mengekang pengabdian mereka bagi lingkungan sekitar.
Sudah saatnya media menghadirkan wajah penyandang disabilitas sebagai bagian dari keberagaman dalam komunitas sosial. Dalam konteks keragaman, individu dipahami memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing yang harus dihargai dan dirayakan. Sebagaimana kita merayakan perbedaan ras dan budaya yang hadir di tengah kita. Media bisa menjadi ruang untuk perayaan tersebut. Ruang untuk memulai dialog, membahas kepentingan penyandang disabilitas yang selama ini sering luput.
Layaknya masyarakat pada umumnya, penyandang disabilitas juga memiliki keterbatasan yang perlu dipahami dan potensi yang perlu dirayakan, bukan dilupakan. Merayakan keberagaman ini bisa ditunjukkan melalui pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dan memperlakukan mereka secara adil atau setara. Sehingga, penyandang disabilitas bisa menjadi peserta aktif dalam masyarakat, bukan semata menjadi objek.
Rahmatul Furqan adalah lulusan Master of Global Media dari The University of Melbourne. Saat ini juga menjadi anggota Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN).