Desas-desus Partai Gerindra hendak merapat ke koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin terus menguat. Tengara itu terlihat terutama dari pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Joko Widodo di Stasiun MRT, serta, pada kesempatan lain, dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Spekulasi makin subur manakala Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan yang menjabat Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf semasa pemilu, menyebutkan kemungkinan terbentuknya “koalisi plus-plus” setelah pembubaran TKN. Koalisi itu memungkinkan partai politik lain bergabung di Koalisi Indonesia Kerja (KIK) sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Gayung bersambut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, “Kemungkinan Partai Gerindra bergabung di pemerintahan itu terbuka,” kata Ferry di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/07). Dia melanjutkan, “Itu sangat tergantung dari apakah Pak Jokowi sebagai presiden merasa bahwa perlu mengajak partai-partai dari luar koalisinya, atau sejauh mana Pak Jokowi sebagai presiden kemudian bisa mau menyelesaikan masalah bersama-sama.”
Baca Juga: Pembentukan Kabinet Jokowi-Ma’ruf Memerlukan Kalkulasi Politis yang Cermat
Meski begitu, kata Ferry, Prabowo dan Gerindra menolak keras jika pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati disebut-sebut bertujuan membicarakan bagi-bagi jatah kursi menteri. “Gerindra tidak akan minta jabatan, tapi Pak Prabowo akan membantu bila diperlukan,” ujarnya.
Jika ingin bergabung ke kubu Jokowi, yang jelas, langkah Gerindra takkan mudah. Mereka harus siap berhadapan dengan sederet partai pendukung Jokowi semasa pemilu. Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lukman Edy, misalnya, mengatakan bahwa partai-partai yang selama pemilu mendukung kubu Prabowo harus membuktikan tekad membangun kebersamaan.
“Kalau niat membangun koalisi hanya berdasar kepada kepentingan pragmatis, bukan hanya PKB yang menolak. Masyarakat juga akan sinis,” kata Lukman saat dihubungi Asumsi.co, Senin (29/07).
Lukman pun membeberkan sejumlah “syarat” yang harus dipenuhi Gerindra buat bergabung dengan koalisi Jokowi. Pertama, tidak mengulang kembali narasi-narasi yang berbau fitnah yang tidak didukung data yang faktual. Kedua, menyatakan komitmen untuk tidak menggunakan politik identitas dalam membangun demokrasi. Ketiga, tidak memberikan tempat kepada kekuatan intoleransi dan radikalisme, sekaligus menyatakan ikut bertanggung jawab mengikis semua potensi intoleransi dan radikalisme.
“Poin keempat, mereka mau menjalankan semua visi dan misi “Indonesia Maju” tanpa reserve. Kelima, berkomitmen terhadap soliditas selama lima tahun pemerintahan ke depan,” ujar Lukman. Dan poin terakhir: kesediaan menertibkan para pendukungnya ke dalam satu barisan, menerima kemenangan Jokowi dan Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019.
Baru-baru ini Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu 24 Juli 2019. Pertemuan itu memunculkan berbagai spekulasi, bahwa koalisi pemerintahan tengah bergejolak dan NasDem disebut-sebut menolak bergabungnya Gerindra.
Setelah berbincang selama sekitar dua jam, keduanya menggelar jumpa pers. Surya Paloh menilai Anies Baswedan potensial untuk tampil sebagai pemimpin mendatang dan ia siap mendukung mantan Menteri Pendidikan di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tersebut. Dugaan di kalangan umum semakin liar, apalagi pada saat bersamaan Megawati dan Prabowo juga bertemu.
Baca Juga: Pertemuan Anies Baswedan dan Surya Paloh, Tak Ada yang Ajaib dan Kebetulan dalam Politik
NasDem pernah menunjukkan penolakan terhadap rencana penambahan Gerindra ke barisan koalisi pemerintahan. Sekretaris Jenderal DPP Partai NasDem Johnny G Plate, misalnya, pernah menyarankan parpol-parpol pendukung Prabowo-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 untuk mengambil peran konstruktif dalam membangun negara tanpa perlu masuk dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf.
“Kalau semua di dalam kabinet maka ini hanya jadi stand up comedy politic, ditonton sebagai bagian drama yang tidak menyenangkan bagi rakyat,” kata Johnny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (09/07).
Johnny menegaskan bahwa NasDem ingin agar kabinet Jokowi-Ma’ruf nantinya benar-benar diisi oleh para profesional yang berasal dari partai politik dalam KIK dan nonpartai politik. Meski begitu, Johnny menyebut pihaknya tetap akan menyerahkan sepenuhnya pemilihan sosok menteri di kabinet mendatang kepada Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai pemilik kewenangan.
Menurut Johnny, pihaknya tak pernah bicara portofolio kabinet saat bertemu Jokowi. “Yang dibicarakan NasDem dengan presiden adalah bagaimana presiden mendapat dukungan agar mempunyai keleluasaan membentuk kabinet yang diisi oleh tenaga-tenaga atau figur-figur profesional nasional, baik itu berasal dari partai koalisi maupun dari nonpartai politik,” ujarnya.