Visi Presiden RI Joko Widodo yang disampaikan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/07/19), dinilai terlalu banyak membahas soal masa depan ekonomi nasional dan sama sekali tak membahas pembangunan negara hukum serta jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).
Memang, dalam pidatonya, Jokowi amat bersemangat menekankan soal pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Lalu, ia juga menegaskan soal pembukaan investasi seluas-luasnya, membuka lapangan kerja dan melakukan reformasi birokrasi.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan perihal penggunaan APBN yang harus tepat sasaran dan tidak ada toleransi bagi pihak yang mengganggu pancasila. Sayangnya, tak ada poin-poin yang lebih spesifik membahas hukum dan jaminan HAM. Institute Criminal of Justice Reform (ICJR) menyayangkan hal itu dan bakal mengajukan rekomendasi sebelum pelantikan presiden dan wapres.
“Kan beda ya dengan dulu, pertama di dokumen nawacita dulu itu negara hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu tertulis jadi prioritas, termasuk di pidato politiknya beliau dulu. Lalu disinggung sekilas pula di dokumen visi misi yang diserahkan ke KPU. Tapi, ketika beliau menyatakan pidato politiknya kemarin, itu sama sekali nggak disinggung,” kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju saat dihubungi Asumsi.co, Senin (15/07/19).
Padahal, Anggara menegaskan bahwa pembangunan negara hukum harusnya jadi prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan. Apalagi, pembangunan negara hukum merupakan sebuah “condicio sine qua non” atau saling berkelindan dalam mendorong pembangunan ekonomi dan mewujudkan kepastian usaha.
“Padahal kalau kita bicara kemudahan investasi, pembukaan lapangan kerja, dan segala macam urusan di sektor ekonomi, prinsip negara hukum itu jadi hal yang mendasar. Sebab nggak ada negara yang bisa membangun ekonominya kalau tidak ada jaminan kepastian hukum.”
Semestinya, pembangunan negara hukum bukan hanya bagian dari agenda kerja pemerintahan, tapi juga merupakan kewajiban konstitusional bagi setiap Presiden RI. Apalagi sudah jelas, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sudah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan aspek terpenting dari negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia.
Maka, sudah seharusnya Presiden mengedepankan dua prinsip utama di negara hukum yakni perlindungan HAM dan kepastian hukum dalam pemerintahannya. Kalau tidak ada kepastian hukum, lanjut Anggara, maka dunia usaha juga tidak akan mau investasi di negara tersebut karena hukumnya tidak bisa diprediksi.
“Contoh saat pemerintah memutuskan relaksasi aturan penjualan minuman beralkohol. Itu kan perusahaan-perusahaan Eropa melakukan investasi yang lebih besar, tiba-tiba pemerintah kemudian mengetatkan kembali. Nah itu akan membuat kerugian bagi perusahaan-perusahaan yang mau beroperasi di Indonesia, jadi nggak ada kepastian hukum, tarik ulur gitu.”
Anggara juga menyoroti beberapa keanehan dari kebijakan Jokowi terkait investasi dan hubungannya dengan aspek hukum. Pada Senin (08/07) lalu, Jokowi memerintahkan jajarannya agar izin investasi yang berkaitan dengan barang ekspor dan substitusi impor dipermudah. Ia bahkan memerintahkan agar izin investasi tersebut diberikan secepat-cepatnya dengan ‘tutup mata’.
“Nah, itu kan bahaya karena kan bisa menimbulkan konflik di masyarakat. Bayangkan kalau investasinya di bidang sumber daya alam, lalu ngasih izinnya seperti yang dikatakan Presiden, yakni tutup mata saja yang penting dikasih. Itu akan menimbulkan cost yang tidak perlu untuk perusahaan-perusahaan itu sebetulnya.”
Anggara menilai Presiden sepertinya memang tak memprioritaskan isu hukum dan HAM di periode keduanya ini. “Mungkin hukum dianggap menganggu kemudahan investasi, padahal bukan itu prinsipnya. Dunia usaha itu baru akan berinvestasi kalau hukum itu bisa diprediksi, nah kalau nggak bisa diprediksi pasti bakal ganti-ganti terus.”
Nantinya, mau segiat apapun Presiden menarik investasi dari luar negeri, kalau dunia usaha memandang bahwa prediktabilitas dari sisi hukum tidak bisa dijamin, maka para pengusaha pasti akan berat melakukan investasi. Atas kondisi itu, Anggara dan ICJR pun akan menyiapkan draft rekomendasi yang bakal berisi poin-poin penting terkait hukum dan jaminan HAM untuk Jokowi.
“Kami berencana untuk ngasih rekomendasi ya sebelum pelantikan presiden dan wapres. Salah satu poin yang mungkin akan kita masukkan dalam rekomendasi terkait kebijakan hukum, terkait roadmap yang diperlukan pemerintah. Instrumen hukum apa yang mesti diperbaharui, dampaknya kemana nih, misalnya pembangunan kelembagaan dan lain sebagainya. Pada titik itu, pemerintah masih tidak ada.”