Beberapa waktu lalu, saya menonton sebuah video di YouTube yang dinarasikan oleh rapper Jay Z tentang perang melawan narkoba. Video itu menganggap bahwa pemerintah AS telah gagal memerangi narkoba. Kriminalisasi pengguna menjadi salah satu faktor utama yang disorot Jay Z dalam video tersebut.
Isu rasial terjadi dalam dunia narkotika AS, dan para penggunanya dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Hal ini membuat populasi penjara di negaranya melonjak drastis hingga menyentuh angka 900%. Pemerintah AS mengirimkan 1,3 juta orang ke penjara karena tindak kriminal yang berhubungan dengan narkotika.
Jumlah ini jauh lebih besar daripada pelaku kriminal jenis lain. 80% dari 1,3 juta orang tersebut ditahan karena kepemilikan narkoba, tanpa pelanggaran kekerasan yang terdata dalam laporan yang bisa diakses di situs resmi FBI, “Crime in the United States, 2015.” Meskipun sudah mengalami reformasi hukum narkotika di beberapa negara bagian dan melewati berpuluh-puluh tahun sejak Civil Rights Movement, isu rasial dalam penangkapan pemilik narkoba masih marak terjadi di AS, dan sasarannya selalu komunitas Hispanik atau Afrika-Amerika.
Isu ini bisa ditilik jauh ke belakang hingga tahun 1910-1920an di mana hukum narkotika khususnya anti-marijuana laws ditujukan untuk imigran Meksiko dan musisi jazz Afrika-Amerika. Hukuman yang dijatuhkan juga berbeda di beberapa negara bagian atau dalam skala hukum federal yang biasanya mencakup hukuman penjara lebih dari satu dekade. Selain isu rasial, hukum di AS dianggap kurang proporsional dalam mengadili perbedaan signifikan antara kepemilikan narkoba dengan perdagangannya. Meskipun legalisasi ganja sudah terjadi di beberapa negara bagian, secara umum ganja masih illegal dan kepemilikannya masih dapat berujung hukuman penjara.
Di Indonesia, UU yang berlaku sudah memberikan definisi pembeda dan juga hukuman berbeda untuk pengguna dan pengedar. Masalahnya, dalam praktiknya sendiri hal ini sering kali terabaikan. Pada 2016, Menkumham Yasonna Laoly dalam inspeksinya ke Lapas IIA Salemba, Jakarta Pusat, sempat menyindir penyidikan kasus narkoba yang terjadi di kepolisian. Dia juga mengatakan bahwa pengguna narkotika sering menjadi korban pasal jebakan yang kadang digunakan penyidik sehingga pengguna mendapatkan hukuman kurungan, bukannya rehabilitasi. Menurutnya, penyidik harusnya bisa membedakan antara seorang pengguna dan pengedar narkoba. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoba mengatur bahwa pengguna semestinya mendapatkan rehabilitasi.
Selain UU yang sebenarnya sudah membahas tentang hak rehabilitasi yang dimiliki oleh pengguna, ada juga Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA No. 4 Tahun 2010 yang selama ini dijadikan acuan hakim untuk membedakan antara penyalahguna narkoba dan pelaku kriminal. Tapi lagi-lagi, dalam praktiknya, banyak sekali pengguna yang malah dijebloskan ke penjara.
Selain karena pasalnya dianggap sebagai “pasal karet”, alasan lainnya bisa terjadi karena tendensi penuntut umum dan hakim yang memandang pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal. Putusan kebijakan rehabilitasi sangat bergantung pada penyidik dan penuntut umum. UU Narkotika memberikan ruang yang cukup besar bagi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi.
Masalahnya, di dalam Pasal 103 UU Narkotika menggunakan kata ‘dapat’ yang menerangkan bahwa kewenangan hakim tersebut sifatnya fakultatif dan bukan sesuatu yang wajib dilakukan. Kecenderungan formulasi pasal dakwaan yang digunakan oleh penuntut umum juga mengindikasikan bahwa pendekatan pemidanaan penjara terhadap pengguna narkotika lebih dominan dibandingkan dengan menempatkan pengguna dalam lembaga rehabilitasi baik secara medis maupun sosial.
Menurut ICJR, kecenderungan penggunaan Pasal 111 dan Pasal 114 UU Narkotika membawa imbas yang cukup besar bagi penahanan pengguna narkotika. Ancaman pidana kedua pasal ini dapat menyebabkan penahanan pada pengguna dapat dilakukan karena sudah memenuhi unsur obyektif. Perumusan kedua pasal ini juga sangat longgar dan bertentangan dengan prinsip lex certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex stricta (ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan) yang merupakan turunan dari prinsip negara hukum. Kedua pasal tersebut tidak membedakan antara pengguna narkotika dan bukan pengguna.
Tahun ini, genap satu dekade adanya UU tentang Narkotika, masyarakat dan aktivis tetap menyerukan betapa krusialnya merevisi UU tersebut, khususnya menggarisbawahi soal pembedaan korban dan pengedar. Rancangan UU Narkotika masih berada di badan legislasi (Baleg DPR) dan belum bisa dibahas lebih lanjut karena semua fraksi sepakat akan isi setiap pasal di RUU tersebut. Anggota Baleg Fraksi PDI Perjuangan Henry Yasodiningrat mengatakan bahwa usahanya untuk memasukkan RUU ini ke Prolegnas Prioritas selalu gagal, lantaran tidak mendapatkan dukungan.
Selain masalah pembedaan pengguna dan pengedar, ada pula pandangan dari Lingkar Ganja Nusantara yang turut mengaungkan RUU Narkotika khususnya revisi mengenai legalisasi ganja. Untuk mengatasi penyalahgunaan narkotika, Ketua LGN menegaskan bahwa legalisasi ganja justru dapat mengatasi penyalahgunaannya. Dengan melegalisasi ganja, kartel-kartel dan penjual pasar gelap bakal berkurang.
Salah satu argumen yang paling sering diutarakan kelompok anti-legalisasi ganja adalah dalih kriminal. Argumen tersebut bisa terbantahkan karena mayoritas dari tindak kriminal ganja hanyalah kepemilikan ganja itu sendiri. Jika ganja legal, tindak kriminal tersebut tidak lagi sah disebut kriminal.
Selama ganja ilegal, hanya kriminal yang memiliki sejarah kriminal lain akan menguasai pasar. Mereka juga dapat memonopoli dengan menetapkan harga yang tinggi. Belum lagi harga akan bertambah seiring dengan penyuapan, inefisiensi dalam transportasi, reward untuk risiko, dan keamanan produk tidak terjamin karena tidak ada safeguard untuk kualitasnya dan dapat membahayakan pengguna. Selain itu, biaya dari pelarangan sangatlah tinggi, dan sebagian besar uang negara yang dikeluarkan pemerintah untuk pelarangan ini habis untuk penegakan hukumnya saja, sangat sedikit dialokasikan untuk fungsi lain seperti pencegahan, studi, atau pengobatan.
Pengharaman ganja mungkin dimulai di Inggris pada abad ke-19, atau Revolusi Meksiko tahun 1910, dan ada juga yang menuturkan kembali kisah Harry Anslinger yang menjadi akar pertama rasisme dalam kasus ganja. Salah satu teori yang paling saya minati adalah bahwa kriminalisasi ganja dihasilkan dari lobi perusahaan DuPont, ketika perusahaan tersebut menghindari persaingan untuk produk mereka dan melobi pemerintah sebagai bentuk kronisme kapital yang kerap terjadi pada awal abad ke-20 untuk menghindari kompetisi dengan perusahaan lain, yang akhirnya menghasilkan Marijuana Tax Act 1937.
Dalam sisi ekonomi, selain meningkatkan penghasilan pajak, legalisasi ganja juga akan berdampak positif bagi ekonomi rakyat, khususnya penambahan lapangan kerja baru dan kesejahteraan petani ganja. Indonesia adalah negara tropis yang ideal untuk budidaya tanaman ganja. Dengan tanah yang subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, tanaman ganja akan tumbuh subur.
Program Pemberdayaan Alternatif atau alternative development tahun 2014 yang mengalihkan ladang ganja menjadi kakao telah menyebabkan kerugian bagi petani di Aceh hingga Rp80 triliun. Selain itu, legalisasi juga membuka ruang untuk edukasi yang lebih menyeluruh, khususnya untuk anak muda mengenai ganja.
Jika diingat-ingat, perkenalan saya dengan ganja hanya dari lagu-lagu dan film-film stoner comedy. Salah satu yang melekat di benak saya adalah lintingan yang diisap Nicholas Saputra dalam film Tiga Hari Untuk Selamanya karya Riri Riza. Dengan legalisasi dan edukasi mengenai ganja yang lebih tepat sasaran, saya harap, generasi ke depan bisa menggunakan instrumen pengetahuannya dalam mengambil keputusan terhadap apa yang hendak ia konsumsi, bukan semata-mata hanya ingin mengikut apa-apa yang tampak pada karya seni yang dinikmati.