Aceh jadi sorotan lantaran keberadaan Rancangan Qanun (Raqan) alias Perda Hukum Keluarga yang mengatur tentang poligami. Perdebatan kemudian meluas dan menjadi kontroversi lantaran ada pihak-pihak yang pro dan kontra dengan qanun tersebut. Sebenarnya, seberapa perlu qanun poligami diterapkan di Aceh?
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Provinsi Aceh memang sedang membahas qanun tentang hukum keluarga. Salah satu isi bab dalam qanun itu adalah mengatur bahwa laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih satu perempuan. Qanun itu juga sudah masuk Program Legislasi (Proleg) pada akhir 2018 lalu.
Draf qanun itu disusun Pemprov Aceh dan sudah diterima pihak legislatif. Pembahasan qanun ini pun sudah dilakukan sejak awal 2019 lalu dan masih terus dilakukan antara lain dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 1 Agustus 2019 mendatang.
DPRA pun membeberkan alasan kenapa qanun itu akhirnya dibuat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Mahkamah Syariah Aceh, beberapa tahun terakhir ini angka perceraian di Aceh lebih tinggi dari angka nasional serta banyaknya pernikahan siri. DPRA menegaskan bahwa qanun tersebut sama sekali bukan untuk mencari sensasi, tapi memang sudah sangat diperlukan di Aceh mengingat tingginya angka perceraian dan maraknya nikah siri.
DPRA mengklaim bahwa dengan adanya qanun itu, maka hak istri dan anak akan dapat terlindungi, sehingga tidak ada lagi istri dan anak yang tidak mendapatkan hak dari suami atau ayahnya saat meninggal.
Qanun Aceh ini pun mendapatkan dukungan penuh dari Front Pembela Islam (FPI) Aceh. Dalam hal ini, FPI mendukung salah satu aturan di qanun terkait poligami, terutama karena ada aturan kewajiban suami tetap berlaku adil. FPI Aceh pun punya argumentasinya soal dukungan itu.
“Kami FPI Aceh mendukung sepenuhnya DPRA untuk segera lahirkan qanun legal poligami bagi orang kaya dan yang mampu. Bahkan, bagusnya bupati minimal tiga, DPR Kab/kota dua, DPR Aceh tiga, Camat dua, KUA dua dan Kades boleh dua. Termasuk yang penghasilan dan harta memadai boleh dua,” kata Ketua FPI Aceh, Tgk Muslim At-Tahiry, Minggu (07/07/19).
Tak hanya itu, Muslim justru melihat qanun bisa jadi solusi dari makin berkurangnya jumlah warga Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, populasi penduduk Aceh terus berkurang lantaran berbagai macam bencana, seperti tsunami, konflik, dampak narkoba, dan sebagainya.
“Jika qanun itu lahir. Insya Allah akan lahir anak Aceh tiap tahunnya tiga kali lipat. Tiap tahun bertambah minimal 500 ribu jiwa dan untuk 15 tahun ke depan Insya Allah ada minimal 20 juta jiwa,” ujarnya.
Lebih rinci, dalam qanun hukum keluarga itu disebutkan bahwa seorang suami dalam waktu yang bersamaan boleh beristri lebih dari satu orang dan dilarang lebih dari empat orang. Syarat utama beristri lebih dari satu orang harus mempunyai kemampuan, baik lahir maupun batin, dan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Kemudian, berdasarkan UU Pemerintah Aceh Nomor 11/2006 pada pasal 1, qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Dalam qanun, terdapat ancaman pidana yang tidak terdapat di dalam KUHP sebagai induk dari Hukum Pidana materil. Perbedaan lainnya adalah bahwa pembatalan terhadap qanun Aceh yang materi muatannya jinayat tidak dapat dibatalkan melalui Peraturan Presiden, tetapi harus melalui mekanisme uji materil di Mahkamah Agung. Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lain.
Selain itu, secara formal proses pembuatan qanun sama dengan proses legislasi Peraturan Daerah. Pembuatan/pengajuan rancangannya boleh berasal dari inisiatif pemerintah provinsi. Di kalangan pemerintah provinsi, pembuatan rancangan ini biasanya dilakukan tim atau panitia, yang di dalam prosesnya dimulai dengan rancangan awal untuk disosialisasikan.
Terkait hal ini, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, menyatakan, bahwa qanun Aceh yang di dalamnya memuat soal poligami masih akan dikonsultasikan dengan pemerintah pusat lebih dulu. “Ya apa pun setiap daerah untuk menyusun perda, termasuk Aceh kan masih ada dua (qanun) termasuk soal bendera juga kan tetap dikonsultasikan dengan pusat, termasuk qanun poligami,” kata Tjahjo di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (08/07/19) dikutip dari Antara.
Tjahjo mengaku lantaran qanun itu belum dikonsultasikan maka ia belum tahu apa argumentasi yang diajukan sehingga qanun itu diajukan dalam RDPU 1 Agustus 2019 mendatang. “Saya tidak tahu argumentasi teman-teman di Aceh apa. Tapi jangan di declare karena ini menyangkut berbagai akses, termasuk ketidaksetujuan ibu-ibu dan mbak-mbak,” ujarnya.
Selain itu, Menteri Agama Lukman Saifuddin juga buka suara terkait qanun Aceh ini. Ia mengaku belum tahu mengenai qanun hukum keluarga itu. “Sejujurnya saya belum tahu sama sekali hal itu, tentu kan harus dipelajari terlebih dahulu ya apa isinya dan seterusnya. Jadi, kalau judulnya legalisasi poligami itu kita harus klarifikasi terlebih dahulu, memangnya selama ini poligami tidak legal?” kata Lukman.
Lebih lanjut, Lukman mengaku akan mencari tahu lebih dulu substasi qanun itu sebelum menyampaikan keterangan. “Kita akan dalami dulu isinya, karena dokumennya kita belum tahu isi rancangan qanun seperti apa kita masih belum tahu. Kita sedang akan dalami terlebih dahulu apa kontennya dan apa substansi pengaturan regulasi itu,” ujarnya.
Merespons kontroversi qanun Aceh ini, Komisioner Komnas Perempuan Bidang Reformasi Hukum dan Kebijakan, Sri Nurherwati, menegaskan bahwa qanun Aceh yang salah satu poinnya mengatur soal poligami itu, belum tentu jadi solusi perlindungan bagi hak-hak perempuan dalam perkawinan.
Lebih rinci, Sri menyebut bahwa perihal poligami itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Coba ya kita lihat lagi, qanun ini sebetulnya mau mengatur yang mana lagi ya? Kan undang-undangnya sudah ada. Jadi ya tidak perlu lagi diturunkan dalam perda, karena semua pengaturannya ada di dalam UU Perkawinan, syarat, alasan, dan prosedur,” kata Sri saat ditemui Asumsi.co di Gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Senin (08/07).
Maka dari itu, Sri melihat tak ada urgensinya membuat qanun Aceh tersebut. Menurutnya, pembuatan qanun itu seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan. “Kalau alasannya karena maraknya nikah siri, maka infrastruktur yang dibangun. Bagaimana untuk memudahkan pencatatan perkawinan, sehingga nikah siri itu bisa dikurangi atau bahkan bisa dihentikan,” ucapnya.
Sementara itu, Aktivis Perempuan Aceh dari Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Norma Manalu mengkritisi qanun yang saat ini sedang dibahas Pemprov dan DPR Aceh itu. Menurut Norma, masih banyak masalah-masalah lain di Aceh yang jauh lebih penting untuk diperhatikan, selain masalah poligami.
“Kalau pertanyaannya perlu nggak sih qanun poligami itu diterapkan di Aceh? Begini, sekarang ini kan sedang banyak problem nih di Aceh, ada banyak sekali masalah di Aceh yang harusnya menurut kita perlu disikapi secara cepat oleh pemerintah,” kata Norma saat berbincang dengan Asumsi.co, Selasa (09/07).
Norma mengungkapkan masalah-masalah darurat lainnya yang perlu diselesaikan di Aceh adalah masalah kemiskinan, di mana menurutnya Aceh berada di peringkat pertama se-Sumatera berdasarkan data BPS. Selain itu, ada juga masalah korupsi yang menggerogoti Aceh, masalah lingkungan hidup, yang hari ini juga mengancam kehidupan karena kerusakan lingkungan yang terus meluas. Serta masalah pendidikan dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih marak di Negeri Serambi Mekah itu.
Menurut Norma, qanun Aceh tersebut tidak terlalu urgen untuk dibahas sekarang. Sebab menurutnya, persoalan poligami ini sebetulnya sudah punya aturan jelas dalam agama. “Nah menurut saya hal ini tidak perlu lagi diatur lebih jelas di dalam qanun.”
“Jadi seolah-olah dan terkesan seperti dipersilahkan, padahal kan secara agama menyebutkan kalau keinginan untuk menikahi satu, dua, tiga orang itu ya diperbolehkan, dengan catatan harus adil. Tapi kan kadang-kadang orang-orang itu bermasalah ketika menafsirkan adil itu secara berbeda, misalnya hanya berpikir tentang adil dalam berhubungan suami istri. Itu salah.”
Padahal menurut Norma, adil itu harus dilihat secara komperehensif, tidak hanya soal hubungan seksual saja. Misalnya adil dalam berbagai hal seperti harus memberi perhatian, harus pula memberikan nafkah lahir, termasuk nafkah bulanannya juga. Ia menegaskan bahwa adil dalam konteks ini, tidak bisa hanya diukur dari kepuasan istri saja, tapi adil bagi seluruh anggota keluarga.
“Bagaimana kemudian anak-anaknya juga mendapatkan perhatian yang sama besar ketika ayahnya memiliki banyak istri. Itu jadi perhatian besar. Nah, saya tidak tau sebenarnya seperti apa aturan yang dibayangkan para anggota dewan di DPRA ini, sebab hal ini nggak menjawab persoalan yang mendesak di Aceh.”
Apalagi menurut Norma, mekanisme untuk poligami yang disusun juga tidak sesuai dengan praktek Nabi, yang melakukan poligami untuk kepentingan lebih besar tidak hanya sekedar kebutuhan seksual semata. Poligami nabi dilakukan setelah itsri pertama meninggal, dan usia istri ke dua dan seterusnya berusia tua (kecuali aisha) dan bertujuan untuk memberikan perlidungan.
Sekali lagi, bagi Norma, qanun Aceh ini tidak mendesak dan tidak penting untuk Aceh saat ini. Seharusnya Pemprov dan DPR Aceh lebih memperhatikan masalah-masalah lain yang juga tak kalah penting. “Banyak sekali ya permasalahan lain di Aceh itu yang perlu diperhatikan dan sangat mendesak di luar masalah poligami ini. Misalnya saja berdasarkan pendataan yang dikeluarkan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) misalnya, itu kasus kekerasan yang dialami anak luar biasa banyak lho di Aceh ini.”
Terkait hal itu, Norma pun menyoroti kasus kekerasan terhadap anak yang masih marak terjadi di Aceh. Ia menyebut, anak-anak bukan hanya jadi korban kekerasan dalam rumah tangga saja, tapi anak-anak juga harus berkonflik dengan hukum, menjadi korban penelantaran, eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual. Menurut Norma, ini tentu jadi persoalan yang serius dalam keluarga, apalagi merujuk catatan P2TP2A, bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ada di Aceh itu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Maka kemudian, Norma pun mempertanyakan apakah poligami itu jadi jalan keluar atau solusi di saat Aceh juga menghadapi segala kondisi kesemrawutan, kasus-kasus kekerasan yang dihadapi anak, kekerasan yang dihadapi perempuan atau KDRT/ “Apakah semua masalah itu akan selesai lewat qanun poligami? Kan belum tentu jadi solusi.”
“Kalau bicara legalitas, sekali lagi kan sudah ada legalitas secara agama, udah cukup dan udah jelas. Jadi nggak perlu lagi dibuat aturan. Apalagi Aceh itu kan mayoritas penduduknya Islam. Lalu apa urgensinya dalam kebijakan lokal yang kemudian mengabaikan penyikapan terhadap persoalan-persoalan lain yang bahkan lebih mendesak untuk diselesaikan? Nggak ada. Banyak persoalan genting di Aceh yang butuh perhatian lebih besar ketimbang urusan poligami.”