Hari raya selalu identik dengan berbagai kebiasaan. Saat ini, salah satu tradisi yang paling melekat adalah mengucap salam lewat pesan berantai di berbagai grup WhatsApp. Namun, ingatkah kita, jauh sebelum media sosial begitu berperan dalam kehidupan, ada masa-masa yang jauh lebih sederhana.
Di era 1990-an, Idul Fitri tidak lengkap tanpa sajian film Warkop DKI yang digawangi Dono, Kasino, dan Indro. Biasanya, selepas salat Id dan sungkem dengan orang tua, kita bisa segera menyantap ketupat dan opor dan segera nangkring di depan televisi. Ketiga hal itu –sungkem, makan ketupat, da menonton film Warkop DKI– seperti sudah menjadi tradisi di setiap Lebaran di masa Orde Baru yang selalu identik dengan sejumlah aktivitas yang dilakukan secara terorganisir dan kolektif.
Tayangan-tayangan khas 90-an lain yang juga jadi langganan di hari pertama dan kedua lebaran adalah aksi grup lawak Srimulat hingga Bagito. Ada pula Operet Papiko yang biasanya hadir di malam lebaran, di mana menyuguhkan Rhoma Irama bernyanyi bersama Titiek Puspa di TVRI
Sekadar informasi, Papiko atau Persatuan Artis Penyanyi Ibukota adalah paguyuban para artis penyanyi yang tinggal di Ibukota (Jakarta), di mana ide pertama dan ketua dari paguyuban ini adalah Titiek Puspa. Perkumpulan ini didirikan pada 27 Mei 1972 berdasarkan akta Notaris Soelaman Ardjasasmita.
Selain tontonan televisi, ingatan lain yang melekat dan mungkin tak pernah hilang adalah terngiangnya lagu-lagu legendaris bertemakan Lebaran. Nyaris di setiap Idul Fitri, lagu berjudul “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki selalu menghiasi hari-hari. Bahkan sampai hari ini, lagu Ismail Marzuki itu jadi lantunan wajib di setiap Idul Fitri, dengan banyak perubahan terutama karena didaur ulang oleh musisi-musisi modern.
Sleian “Hari Lebaran,” lagu berjudul “Lebaran Sebentar Lagi” (1984) karya Bimbo dan “Lebaran” (1959) dari suara khas Oslan Husein juga kerap menemani masa yang spesial ini. Silahkan kalian dengarkan versi lawasnya, lalu rasakan sensasi Lebaran di era terdahulu.
Selain tayangan televisi dan musik hiburan, salah satu tradisi yang sering terlihat saat Lebaran di era Orde Baru adalah hadirnya acara khusus sungkeman dari keluarga Soeharto. Tradisi ini selalu dipegang teguh oleh Soeharto dan keluarganya. Hal ini bahkan ia tularkan melalui media massa. Pemandangan sungkeman Soeharto kepada ibunda dari Ibu Tien, Eyang Putri K. R. Ay. Siti Hatmanti Soemoharyomo, sering terlihat di televisi saat Lebaran. Pada akhirnya, tradisi ini pun menjadi teladan dan turun temurun bagi anak-anak Soeharto hingga cucunya.
Sebetulnya, sungkeman memang bukan suatu hal yang baru dalam tradisi silaturahmi orang-orang Indonesia. Di era Presiden Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tradisi sungkeman juga lumrah. Sungkeman tentu jadi contoh dan budaya yang baik, dan sampai hari ini masih berlangsung di tanah air.
Selain tradisi sungkeman keluarga Soeharto, tayangan takbir bersama selalu disiarkan secara langsung oleh TVRI. Acara takbir itu berlangsung sangat khidmat. Yang jelas, nuansa berlebaran di era Orde Baru memang terasa berbeda di mana kebersamaan dan persatuan umat Islam terasa begitu kuat dan erat.
Salah satu perbedaan yang paling terasa dari perayaan Idul Fitri di era Orde Baru dan pasca Reformasi adalah penentuan hari pertama Ramadan dan jatuhnya hari raya 1 Syawal itu sendiri. Pada 2013 lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei tentang era pemerintah yang paling baik dalam menentukan awal puasa dan lebaran.Hasil penelitian itu menyatakan bahwa penentuan waktu puasa dan lebaran di era kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai lebih baik ketimbang era pemimpin setelahnya. Dalam penelitian itu, disebutkan juga bahwa tak ada kegaduhan dalam penentuan awal puasa dan lebaran.
Kepatuhan terhadap pemerintahan Soeharto jelas lebih disebabkan oleh keharusan politik dan bukanlah ketentuan religius. Sejak era reformasi, keran kebebasan dibuka seluas-luasnya sehingga cara kita merayakan hari besar keagamaan juga berubah. Saat ini masyarakat Indonesia diberikan kebebasan untuk mengikuti penetapan pemerintah atau tidak. Alhasil, saat ini, umat Islam di Indonesia hampir selalu berbeda pendapat soal waktu datangnya ketiga hari besar tersebut.
Karena itu, kita juga perlu mengakhiri nostalgia ini dengan catatan penting. Perbedaan ini harus disikapi dengan bijak. Berbeda tidak mengapa, selama dilakukan dengan sadar dan terus saling menghargai. Perbedaan adalah resiko kehidupan berbangsa yang saling menghargai dan toleransi, bahkan terhadap sesama umat Islam.