Isu Terkini

Krisis di Venezuela: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Venezuela sedang dalam krisis. Negara yang berada di benua Amerika Selatan ini mengalami kehancuran yang luar biasa. Kelangkaan makanan dan obat-obatan, hiperinflasi, dan ketiadaan listrik menjadi gambaran umum yang dilalui warga Venezuela tiap harinya.

Puncak krisis terjadi saat May Day, ketika pihak oposisi turun ke jalan dan menyebabkan puluhan terluka. Lantas, mengapa kondisinya begitu parah? Apa yang menyebabkan krisis ini tiada hentinya terjadi?

Kepemimpinan Maduro

Nicolás Maduro, hingga tulisan ini diturunkan, masih menjabat sebagai Presiden Venezuela. Ia pertama kali terpilih menjadi Presiden Venezuela pada April 2013, menggantikan Presiden Hugo Chávez yang meninggal dunia. Ia memenangkan kursi kepresidenan lewat proses pemilu dengan selisih tidak sampai 2 persen.

Kepemimpinan Maduro dimulai dengan meneruskan gagasan sosialis yang dibawa oleh presiden sebelumnya. Kebijakan-kebijakan beraliran sosialisme diterapkan di Venezuela oleh Maduro dengan harapan dapat memperbaiki kondisi ekonomi negara tersebut. Alih-alih berkembang, periode pertama kepemimpinan Maduro justru gagal membuat perekonomian stabil. Ekonomi jatuh akibat hiperinflasi, membuat banyak masyarakat Venezuela mulai merasa tidak puas dengan kepemimpinan Maduro.

Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh DPR Venezuela, inflasi selama 12 bulan hingga bulan November 2018 mencapai 1,3 juta persen. Kondisi ini masuk ke level hiperinflasi. Di tahun 2019, IMF memprediksi hiperinflasi masih terus terjadi di Venezuela, dengan angka inflasi mencapai 10 juta persen. Dengan kondisi ini, mata uang Bolivar Venezuela tidak lagi memiliki nilai sama sekali.

Tidak hanya kondisi ekonomi yang runtuh, kebebasan berekspresi juga semakin dibatasi di negara demokrasi ini. Banyak kandidat dari pihak oposisi yang dipenjara, atau kabur karena takut terancam dibui. Beberapa pihak memprediksi bahwa pemilu selanjutnya akan berlangsung tidak adil. Banyak dari pihak oposisi pun memilih untuk memboikot pemilu yang dilangsungkan pada bulan Mei 2018 kemarin.

Pemilu yang sudah dirasa kontroversial pun memenangkan Presiden Maduro untuk kali kedua. National Assembly (DPR Venezuela) yang dikontrol oleh oposisi pun memutuskan untuk tidak mengakui Presiden Maduro sebagai presiden yang sah. Hal ini membuat Juan Guaidó, selaku pemimpin DPR Venezuela sekaligus oposisi, mendeklarasikan bahwa dirinya adalah presiden. Deklarasi ini berdasarkan konstitusi Venezuela artikel 233 dan 333, yang menyebutkan bahwa dalam kondisi tidak ada presiden yang sah, ketua DPR Venezuela berhak mengambil alih jabatan presiden. Deklarasi ini dilakukan pada tanggal 23 Januari 2019.

Guaidó Lakukan Deklarasi, Tolak Hasil Pemilu yang Menangkan Maduro

Tidak berhenti sampai deklarasi, Guaidó mengajak masyarakat untuk menolak keabsahan Presiden Maduro. Berbagai protes berskala besar dilakukan oleh Guaidó dan pendukungnya. Ia juga meminta kelompok militer untuk mendukung kepemimpinannya dan melawan kepemimpinan Maduro. Permintaan ini belum digubris oleh kelompok militer. Mereka masih mendukung kepemimpinan Maduro. Loyalitas ini juga semakin diperkuat dengan langkah Maduro menaikkan gaji angkatan bersenjata. Maduro juga menempatkan banyak anggota militer dengan jabatan yang tinggi di posisi-posisi penting di industri.

Banyak pihak yang merasa bahwa loyalitas angkatan bersenjata, khususnya tentara, ini lah yang menjadi aktor kunci siapa yang berhak memegang kendali Venezuela. Selama militer masih memilih Maduro, maka diperkirakan posisi presiden yang sesungguhnya masih berada di bawah kontrol Maduro.

Guaidó yang tahu betul mengenai hal ini memutuskan untuk mempublikasikan sebuah video di Twitter mengajak seluruh masyarakat memulai fase ‘final’ dalam rangka menurunkan Maduro dari posisinya. Video tersebut ia publikasikan pada tanggal 30 April 2019 kemarin.

Mañana continuamos con la ejecución de la #OperaciónLibertad. Iniciamos la fase final y estaremos de forma sostenida en las calles hasta lograr el cese de la usurpación.

¡Vamos con todo, con más fuerza y determinación!#ConTodoPaLaCalle https://t.co/ep1vC824j6— Juan Guaidó (@jguaido) May 1, 2019

Hari Buruh Diwarnai Protes Dua Kubu

Pada May Day (1/5) 2019 waktu setempat, kubu Guaidó melancarkan aksi protes turun ke jalan. Juan Guaidó menyerukan pendukungnya untuk turun ke jalan dan melancarkan protes pada kepemimpinan Maduro. Di hadapan para pendukungnya, Guaidó mengungkapkan bahwa masyarakat tidak boleh berhenti. Guaidó merasa bahwa perubahan harus terus dikampanyekan agar benar-benar terjadi.

“Terlepas dari intimidasi, kita tidak pernah menyerah, dan kita yakin ini adalah proses yang tidak bisa lagi diputar balik,” ujar Guaidó di distrik El Marques. Ia pun melanjutkan, “saya yakin 80 persen penduduk Venezuela menginginkan perubahan.”

Ramainya pendukung Guaidó yang turun ke jalan membuat perselisihan tidak bisa dielakkan. Pendukung Guaidó bergesekan dengan penjaga keamanan di dekat basis militer La Carlota. Gas air mata dan asap dari bom molotov membuat puluhan dilaporkan luka-luka, termasuk empat wartawan yang meliput.

Berbagai Negara Mulai Suarakan Pendapat

Kondisi domestik Venezuela yang kacau membuat berbagai negara ikut campur mengeluarkan suara siapa yang berhak menjadi Presiden Venezuela yang sebenarnya. Sudah ada lebih dari 50 negara yang menyuarakan bahwa Guaidó adalah presiden yang terlegitimasi. Beberapa negara di antaranya adalah negara-negara asal Amerika Latin dan Amerika Serikat. Dukungan ini diberikan pada Guaidó dengan alasan Presiden Maduro tidak menjalankan demokrasi di Venezuela dengan baik dan benar. Guaidó dianggap dapat menjadi solusi bagi permasalahan tersebut.

Di sisi lain, Rusia dan Tiongkok mendukung kepemimpinan Maduro. Kedua negara ini enggan untuk memberikan suara bagi Guaidó. Argumentasi utama dari pihak yang mendukung Maduro adalah mereka merasa tindakan deklarasi Guaidó merupakan bagian dari rencana imperial Amerika Serikat di Venezuela. Mereka merasa Amerika Serikat sedang ingin menguasai Venezuela melalui Guaidó.

Share: Krisis di Venezuela: Apa yang Sebenarnya Terjadi?