Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memang sebuah partai yang baru didirikan pada 16 November 2014 lalu. Meskipun baru, namun partai ini bisa dibilang cukup vokal dalam memberikan pemikirannya yang lain daripada partai lain dan cenderung mengambil target partisipan dari kalangan anak muda, perempuan, dan lintas agama. Contohnya saja, PSI berani menolak Peraturan Daerah (Perda) Syariah karena alasan diskriminatif, walaupun pendapatnya itu kerap diserang oleh partai politik (parpol) yang lebih senior.
Awal minggu ini, PSI bahkan secara gamblang melontarkan sindirannya kepada parpol berlabel nasionalis namun mendukung Perda Syariah. Dalam acara Festival 11 PSI di Medan, Sumatera Utara pada Senin kemarin, Ketua Umum PSI Grace Natalie menyayangkan sikap PDIP dan Golkar yang terlibat dalam pengesahan 443 Perda Syariah di Indonesia. Hal itu dirujuk dari hasil penelitian yang ditulis Michael Buehler, Guru Besar Ilmu Politik Nothern Illinois University.
“Bagaimana mungkin disebut partai nasionalis, kalau diam-diam menjadi pendukung terbesar Perda Syariah?” ujar Grace.
PDIP pun kemudian berang dengan pernyataan tersebut. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan bahwa PSI kurang informasi. Ia mengklaim bahwa partainya telah mampu menyelesaikan beberapa masalah di masyarakat.
“Dalam kasus teror sedekah bumi, tim kami di Yogya, dikoordinir anggota DPR Myesti Wijayati, bekerja dengan komponen kebangsaan lain, melakukan penguatan keberanian perlawanan masyarakat. Terhadap rekomendasi NU terhadap berbagai persoalan kebangsaan, kami tidak hanya memberi apresiasi, tetapi melakukan implementasi sampai akar rumput,” kata Hendrawan Supratikno.
Lebih dari itu, PDIP pun menilai kalau PSI saat ini sedang berambisi memecah suara untuk PDIP jelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 nanti. Oleh sebab itu, lanjut Hendrawan, PSI sengaja melontarkan serangan kepada partai-partai lama demi bisa lolos ke kursi DPR RI. Sehingga berupaya menarik simpati pemilih PDIP.
“Segmen PDIP yang gemuk berusaha ditangguk. Namun, mereka masih dipersepsi sebagai partai elitis, nasionalis gedongan, dan anak-anak muda dengan urban life-style dan segala atributnya,” katanya.
Lebih dari itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu pun ikut berkomentas soal sindiran PSI itu. Sebab ia juga menganggap bahwa PSI hanya sekadar mencari sensasi menjelang Pemilu 2019. Masinton bahkan mengatakan PSI adalah partai odong-odong saja.
“Ngomentari yang odong-odong kan menurut saya enggak pas juga ya. Ya namanya juga lagi mencari sensasi lah. Keberpihakan secara ideologis dia enggak ada apa-apanya,” ucap Masinton di kawasan Gambir, Jakarta, Kamis, 14 Maret 2019.
Sebagai partai yang masih muda, Masinton meminta PSI tidak mengajari PDIP yang sudah malang melintang selama puluhan tahun di dunia politik Indonesia. Meski PDIP dan PSI adalah parpol koalisi pendukung calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi), namun bagi Masinton, PSI hanyalah pemandu sorak saja. “Enggak, enggak pernah kami anggap. Ya cuma cheerleader (pemandu sorak) aja,” ucapnya lagi.
Tak cukup sampai di situ. Perseteruan masih terus berlanjut. PSI pun kembali menyerang balik PDIP. Juru Bicara PSI Rian Ernest membantah pernyataan Hendrawan kalau partainya minim informasi. Sebab Perda Syariah, kata Ernest, memang dibentuk untuk kepentingan mayoritas dan mengenyampingnkan hak minoritas.
“Lalu, bagaimana dengan fakta bahwa PDIP terlibat aktif mengesahkan Perda Syariah? Bentuk nyata peraturan mayoritas di atas minoritas. Publik yang rindu partai nasionalis sejati sudah tidak akan puas diberikan jawaban ngawang seperti ‘pembumian gagasan’,” tutur Rian pada media Rabu, 12 Maret 2019.
“Justru kami tanya balik, apa konkretnya untuk berbagai tindakan persekusi? Sekarang kalau minim implementasi, bagaimana menjelaskan fakta bahwa di banyak dapil, caleg-caleg DPR PSI sudah mengekor incumbent PDIP? Apa artinya? Bahwa masyarakat sudah jenuh dengan hanya sekadar pekik ‘merdeka’,” ujarnya.
Rian kemudian menyindir PDIP soal caleg eks napi korupsi. Dia mempertanyakan komitmen antikorupsi PDIP. Sebab masih ada calon legislatif (caleg) di PDIP yang terdata sebagai mantan napi korupsi.
“Apa konkretnya untuk melawan korupsi kalau masih ada caleg eks koruptor diajukan lagi di April nanti?” tanya Rian menantang.
PSI Lawan Korupsi dan Kabar Tertangkapnya Rommy
Ketum PPP Romahurmuziy alias Rommy dkabarkan terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat pagi, 15 Maret 2019. Mendengar kabar tersebut, PSI kembali melontarkan komitmennya melawan korupsi. Meski harus bertentangan dengan partai yang satu koalisi.
“Ketua Umum parpol tertangkap OTT KPK? Beberapa hari lalu, kami sampaikan kritik mengenai hal tersebut di Medan. Kami dibilang tidak setia pada teman sekoalisi. Satu-satunya kesetiaan yang akan kami pegang adalah kesetiaan kepentingan rakyat,” demikian tulis PSI dalam akun Twitter miliknya @psi_id pada 14 Maret 2019 malam.
Ketua Umum parpol tertangkap OTT KPK? Beberapa hari lalu, kami sampaikan kritik mengenai hal tersebut di Medan. Kami dibilang tidak setia pada teman sekoalisi. Satu-satunya kesetiaan yang akan kami pegang adalah kesetiaan kepentingan rakyat. pic.twitter.com/vqOu3YHfoV— #PSInomor11 (@psi_id) March 15, 2019
Lebih lanjut, Rian Ernest kembali mengemukakan pendapatnya. Baginya, kasus yang terjadi pada Rommy menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi dalam tubuh sebuh partai politik masih sangat lemah. Hal ini menjadi pembenaran pada isi pidato Ketum PSI Grace Natalie yang tadinya dianggap hanya mencari panggung saja.
“Kasus ini juga menunjukkan pidato Ketum PSI Grace Natalie benar bahwa komitmen pemberantasan korupsi di tubuh partai politik sangat lemah,” ujar Rian Ernest, Jumat, 15 Maret 2019.
Meski begitu, PSI masih beroptimis. Dengan adanya penangkapan tersebut, mengartikan baha penegakan hukum sebagai usaha memberantas korupsi di negeri ini masih berjalan baik. Ini menjadi bukti bagi PSI, bahwa tokoh yang didukungnya yaitu Jokowi merupakan sosok yang tak menganut sistem tebang pilih.
“Kasus ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi berjalan baik di negeri ini. Jauh dari ‘tebang pilih’ seperti yang dituduhkan kepada Pak Jokowi. Tidak ada perlindungan hukum yang dilakukan Pak Jokowi kepada siapa pun yang bermasalah secara hukum,” tandasnya.