Sampah berbahan plastik terus tuai polemik. Mulai 1 Maret 2019 kemarin, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyadari hal ini dan akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah regulasi. Regulasi tersebut membuat setiap toko ritel untuk mengharuskan konsumennya membayar Rp 200,00 jika ingin menggunakan kantong plastik.
Sebelumnya, diketahui juga bahwa ada beberapa kota di Indonesia yang melarang penggunaan plastik. Misal, pada 1 Desember 2018 lalu ditetapkan bahwa Bogor menjadi kota yang melarang penggunaan plastik di toko-toko ritel. Begitu pula dengan Denpasar yang menerapkan regulasi serupa per 1 Januari tahun ini.
Kebijakan mengenai pemakaian plastik ini dilakukan memang karena adanya ancaman lingkungan karena penggunaannya. Sampah-sampah plastik yang lama terurai setelah tahunan lamanya menjadi ancaman bagi kerusakan lingkungan. Yang semakin menjadi masalah adalah Indonesia tetap belum menemukan solusi yang diimplementasikan secara nasional. Penggunaan plastik membayar pun belum bisa menjamin pengurangan penggunaan plastik.
Mungkin yang perlu diperhatikan juga adalah bahan penggunaan plastik itu sendiri. Sebenarnya, sudah ada beberapa alternatif yang ditawarkan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Seperti apa solusi-solusinya?
Satu bahan ramah lingkungan yang menjadi alternatif plastik adalah cangkang crustacea dan kutikula serangga. Berdasarkan laporan Liputan 6, cangkang atau kutikula bekas yang ditinggalkan hewan-hewan crustacea dan serangga bisa diolah kembali menjadi alat-alat makan sederhana. Barang-barang tersebut seperti piring, sendok, garpu, dan gelas. Selain itu, bahan alternatif ini juga bisa dijadikan kantung belanja serba guna. Satu kilogram cangkang dan kutikula bisa diolah menjadi 15 kantung belanja serba guna.
Kemudian, bahan alternatif lain yang juga mampu menggantikan plastik adalah pati kentang. Pati kentang adalah residu sisa produk makanan olahan berbasis kentang. Bahan ini cukup mudah didapat. Bahkan, dari pabrik-pabrik besar pengolah kripik kentang kemasan, pati kentang dapat dengan mudah didapatkan dalam jumlah ratusan kilogram.
Baca Juga: Plastik Berbayar Diterapkan, Akankah Efektif?
Selama ini, bahan pati kentang sudah diolah oleh beberapa perusahaan daur ulang. Meski demikian, bahan pati kentang tetap membutuhkan Polyurethane (bahan pembuatan plastik) untuk prosesnya. Hal ini membuat pati kentang tidak terlalu ramah lingkungan.
Selain kedua bahan di atas, hasil penelitian oleh Kevin Kumala dan tujuh temannya ternyata menemukan singkong dapat menggantikan bahan dasar plastik. Kevin dan kawan-kawannya meneliti jagung, kedele, dan singkong di tahun 2010. Hasilnya, mereka menemukan singkong dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biji plastik.
Produk hasil penelitian itu pun sudah dibisniskan. Kevin dan teman-temannya sudah menjual lembaran plastik dari daur ulang singkong ke Eropa dan Australia. Dari total produksi, 80 persen dijual ke luar negeri. Hanya 20 persen dari produksi yang dijual di Indonesia.
European Institute of Innovation and Technology (EIT) berhasil menciptakan sebuah teknologi baru. Institusi ini menciptakan kemasan air minum berbentuk bola yang bisa dimakan. Kemasan air minum ini terbuat dari ekstrak mikroalga. Di tahun 2014 lalu, produk yang bernama Ooho ini sudah diproduksi dalam skala kecil.
Selain harganya yang lebih murah dari plastik, botol air yang bisa dimakan ini tidak meninggalkan emisi karbon dioksida. Kemasan Ooho yang bisa dimakan memungkinkan hal tersebut. Produk ini sudah mulai digunakan di acara-acara olahraga seperti maraton karena lebih praktis.
Siapa sangka, ternyata tepung tapioka bisa menjadi alternatif pengganti plastik. Diproduksi oleh PT Inter Aneka Lestari Kimia, produk bernama Enviplast ini adalah kantong organik berbahan dasar tepung tapioka yang ramah lingkungan. Limbah tepung tapioka ini pun ramah dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Masa terurai kantong Enviplast hanya sekitar 3-6 bulan saja, jauh berbeda dengan kantong plastik konvensional yang mencapai belasan tahun lamanya.