Kelebihan muatan diduga menjadi penyebab Kapal Motor
Penumpang (KMP) Yunicee tenggelam di Selat Bali, Selasa (29/6/21) malam. Bila
memang benar hal ini menjadi penyebabnya, maka bukan kali pertama kecelakaan
kapal karena kelebihan manifes terjadi di Indonesia. Apa sih, yang bikin
peristiwa ini banyak terjadi?
Sebabkan Kerugian Materi Hingga Korban Jiwa
Kejadian kapal tenggelam karena kelebihan muatan selalu
terjadi setiap tahunnya di Tanah Air. Tahun lalu, KMN Mandala dilaporkan
tenggelam karena diduga kuat disebabkan kelebihan muatan pada 28 Mei 2020.
Mengutip Kumparan,
kapal penyeberangan Kota Probolinggo-Pulau Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih
bertonase 4GT ini, semestinya digunakan untuk memuat orang atau
penumpang.
Kapal tersebut malah dialihfungsinkan menjadi kapal
pengangkut ikan hasil tangkapan nelayan, karena sepi penumpang akibat situasi
pandemi COVID-19.
“Diduga muatan kapal itu, melebihi kapasitas yang ditampungnya.
Selain itu, lambung kapal rendah, sehingga air masuk ke badan kapal,” jelas
Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Tembaga
Probolinggo, Capt. Subuh Fakkurrohman, Rabu (27/5/2020).
Akibat dari kejadian ini, dilaporkan pemilik kapal tersebut
mengalami kerugian materi sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta. Tidak ada korban
jiwa dalam kecelakaan ini.
Pada 17 Juni 2019, Kapal Arim Jaya yang mengangkut
orang-orang yang mudik Lebaran terbalik dan tenggelam di lepas pantai pulau
Jawa.
VOA melaporkan,
seditikitnya 17 orang tewas dan empat lainnya belum ditemukan. Peristiwa
terjadi saat kapal sedang berlayar dari dari desa Ra’as, di pulau Madura,
menuju Kalianget.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Frans Barung Mangera
menerangkan, kapal yang terbuat dari kayu ini tenggelam setelah dihantam ombak
setinggi 1 meter. “Kapal kayu itu mengangkut 60 orang tetapi
dirancang untuk mengangkut 30 penumpang saja,” jelasnya.
Baca juga: 7 Penumpang Meninggal, Ini Fakta-fakta Kecelakaan KMP Yunicee di Selat Bali | Asumsi
Ada juga Kapal Motor (KM) Nusa Kenari 02 yang tenggelam di
perairan laut Tanjung Margeta, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada
15 Juni karena diduga kelebihan muatan.
Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Kupang, Emi Frizer
seperti dikutip dari Kompas.com,
mengatakan kapal diduga kuat kelebihan beban karena selain membawa puluhan
penumpang, juga mengangkut semen dan beras. 5 orang penumpang dikabarkan hilang
saat terjadinya kecelakaan tersebut.
Standar Internasional Keselamatan Kapal
Peneliti Indonesia Peace and Security Center (IPSC) Hari
Utomo mengungkapkan peristiwa terjadinya kecelakaan kapal, secara umum
disebabkan oleh faktor kesalahan manusia.
“Diantaranya, pemilik atau pengusaha kapal, syahbandar,
nakhoda maupun pihak-pihak lain yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kapal,” kata Hari dalam jurnal yang dirilis di e-jurnal Kementerian
Hukum dan HAM.
Ia menjelaskan, dalam standar Internasional terdapat tiga
organisasi dunia yang mengatur tentang keselamatan kapal yaitu IMO
(International Maritime Organization), ILO (International Labour Organization)
dan ITU ( International Telecomunication Union).
Indonesia sebagai salah satu anggota dari ketiga organisasi
tersebut telah meratifikasi konvensi-konvensi yang digagas ketiga organsisasi
tersebut.
“Sehingga sebagai konsekuensinya, Indonesia harus
melaksanakan aturan tersebut dengan baik dan dibuktikan secara konkret,”
terangnya.
Baca juga: Breaking: KRI Nanggala-402 Terbelah Tiga, 53 Awak Kapal Gugur | Asumsi
Konvensi-konvensi Internasional yang mengatur tentang
keselamatan kapal meliputi :
1. SOLAS 1974 (Safety Of Life At Sea).
Salah satu konvensi internasional yang berisikan
persyaratan-persyaratan kapal dalam rangka menjaga keselamatan jiwa di laut
untuk menghindari atau memperkecil terjadinya kecelakaan di laut yang meliputi
kapal, crew dan muatannya. Untuk dapat menjamin kapal beroperasi dengan aman
harus memenuhi ketentuan-ketentuan di atas khususnya konvensi internasional
tentang SOLAS 1974 yang mencakup tentang desain konstruksi kapal, permesinan
dan instalasi listrik, pencegah kebakaran, alat- alat keselamatan dan alat
komunikasi dan keselamatan navigasi.5 Dalam penerapannya implementasinya perlu
dibuktikan dengan sertifikat yang masih berlaku yaitu sertifikat keselamatan
kapal penumpang yang mencakup persyaratan- persyaratan pada chapter II-1,
II-2,III, IV & V dan bab lain dalam SOLAS.
2. MARPOL (Marine Pollution) 1973/1978.
Marpol mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan
pencemaran di laut baik berupa minyak, muatan berbahaya, bahan kimia, sampah,
kotoran (sewage) dan pencemaran udara yang terdapat dalam annex Marpol
tersebut. Dalam hal ini kapal jenis penumpang sangat erat kaitannya dengan
tumpahan minyak, kotoran dan sampah dalam menjaga kebersihan lingkungan laut.
Adapun Sertifikat yang berhubungan dengan konvensi tersebut
yaitu sertifikat pencegahan pencemaran disebabkan oleh minyak (oil),
sertifikat pencegahan pencemaran yang disebabkan oleh kotoran (sewage),
sertifikat pencegahan pencemaran yang disebabkan oleh sampah (garbage).6 Dalam
hubungannya dengan kecelakaan kapal, Marpol memegang peranan penting terutama
mengenai limbah yang dibuang yang berbentuk minyak kotor, sampah dan kotoran (sewage).
Untuk mengetahui bahwa kapal tersebut telah memenuhi konvensi internasional
mengenai Marpol 73/78 dibuktikan dengan adanya sertifikasi.
3. Load Line Convention 1966.
Kapal yang merupakan sarana angkutan laut mempunyai beberapa
persyaratan yang dapat dikatakan laik laut. Persyaratan-persyaratan kapal
tersebut di antaranya Certificate Load Line yang memenuhi aturan pada Load Line
Convention (LLC 1966). Pada umumnya semua armada telah memiliki Certificate
Load Line baik yang berupa kapal barang maupun kapal penumpang.
Prosedur untuk mendapatkan Certificate Load Line tersebut
adalah kapal harus melalui pemeriksaan dan pengkajian yang telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Kapal yang telah diuji dan
diperiksa tersebut, apabila telah memenuhi persyaratan keselamatan kapal dapat
diberikan Certificate Load Line yang diterbitkan oleh Biro Klasifikasi
Indonesia (BKI) yang berlaku secara nasional. Sertifikat tersebut juga berlaku
secara internasional sesuai dengan SOLAS 1974.
4. Collreg 1972 (Collision Regulation).
Konvensi tentang Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut
Internasional 1972. Salah satu inovasi yang paling penting dalam 1972 COLREGs
adalah pengakuan yang diberikan kepada skema pemisah lalu lintas-Peraturan 10
memberikan panduan dalam menentukan kecepatan aman, risiko tabrakan dan
pelaksanaan kapal yang beroperasi di atau dekat skema pemisah lalu lintas.
Pertama skema pemisah lalu lintas tersebut didirikan di Selat Dover pada tahun
1967.
5. Tonnage Measurement 1966.
Konvensi yang mengatur tentang pengukuran kapal standar
internasional.
6. STCW 1978 Amandemen 95.
Konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan
atau pelatihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai pelaut.
7. ILO No. 147 Tahun 1976 tentang Minimum Standar Kerja bagi
Awak Kapal Niaga.
8. ILO Convention No. 185 Tahun 2008 tentang SID (Seafarers
Identification Document) yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009.
Siapa yang Bertanggung Jawab Saat Terjadi Kecelakaan
Kapal?
Hari Utomo menjelaskan keselamatan pelayaran tidak terlepas
dari peran syahbandar. Pasalnya, kata dia, persoalan terbesar terjadinya
kecelakaan pelayaran diawali dari diabaikannya prosedur. “Atau dengan kata
lain syahbandar tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya,” ucapnya.
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga
telah diatur secara tegas tugas dan tanggung jawab dari syahbandar, yaitu:
1. mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan, dan
ketertiban dipelabuhan;
2. mengawasi tertib lalu lintas kapal diperairan pelabuhan
dan alur pelayaran.
3. mengawasi kegiatan alih muat diperairan pelabuhan;
4. mengawasi pemanduan mengawasi kegiatan penundaan kapal;
5. mengawasi kegiatan pekerjaan bawah air dan salvage;
6. mengawasi bongkar muat barang berbahaya;
7. mengawasi pengisian bahanbakar;
8. mengawasi pengerukan danrekalmasi; dan 9) mengawasi
kegiatan pembangunan fasilitas.
“Atas peristiwa tersebut haruslah ada orang yang harus
memikul tanggungjawab, terkecuali karena sesuatu yang bersifat faktor alam yang
tidak dapat dicegah oleh manusia, misalnya terjadinya badai besar saat
pelayaran,” tuturnya.
Ia menambahakna, dalam Pasal 342 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD) secara ekplisit menyatakan bahwa tanggung jawab atas kapal juag
berada pada tangan nakhoda, tidak ada yang lain.
Baca juga: Kapal Selam KRI Nanggala-402 Diduga Kuat Tenggelam di Kedalaman 850 Meter | Asumsi
“Jadi apa pun yang terjadi di atas kapal menjadi
tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan kriminal. Singkatnya, tanggung jawab
dari seorang nahkoda kapal juga bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran
dan bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada di atas
kapalnya,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut dia, pengawasan terhadap keselamatan dari
Perusahaan Pelayaran terhadap kapal yang berlayar pun diatur dalam
International Safety Management Code (ISM Code) yang merupakan aturan standar
internasional tentang manajemen keselamatan dalam pengoperasian kapal, serta
upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan.
“Sesuai dengan kesadaran terhadap pentingnya faktor
manusia dan perlunya peningkatan manajemen operasional kapal dalam mencegah
terjadinya kecelakaan kapal, manusia, muatan barang atau kargo dan harta benda
serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut, maka IMO mengeluarkan
peraturan tentang manajemen keselamatan kapal & perlindungan lingkungan
laut yang dikenal dengan ISM Code yang juga dikonsolidasikan dalam SOLAS
Convention,” ungkapnya.
Ia menambahkan, ISM Code turut mengatur adanya manajemen
terhadap keselamatan baik Perusahaan Pelayaran maupun kapal termasuk sumber
daya manusia (SDM) yang menanganinya.
“Untuk Perusahaan Pelayaran harus ditunjuk seorang setingkat
Manajer yang disebut Designated Person Ashore (DPA) atau Orang yang ditunjuk di
darat. Dia bertanggung jawab dan melakukan pengawasan terhadap keselamatan dari
perusahaan pelayaran tersebut. Manajer penanggung jawab ini harus bertanggung
jawab dan mempunyai akses langsung kepada Pimpinan tertinggi, direktur utama
atau pemilik kapal dari perusahaan pelayaran tersebut,” tuturnya.
Mitigasi Belum Maksimal
Pengamat Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony
Sulaksono Wibowo mengatakan, persoalan angkutan penyeberangan seperti kapal ini
sebenarnya juga harus menjadi perhatian Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
Kementerian Perhubungan RI.
“Angkutan penyeberangan kapal adalah tanggung jawab
Ditjen Perrhubungan Darat, bukan Ditjen Perhubungan Laut. Selama ini banyak
yang salah mengira karena kapal itu beroperasinya di atas permukaan air, bukan
di dalam laut. Memang persoalan kecelakaan kapal selama ini kurang mendapatkan
perhatian. Saya melihat baru menjadi fokus perhatian pemerintah daerah, pusat atau
pihak terkait saat belakangan semakin sering terjadi kecelakaan,” jelasnya
saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon,
Rabu (30/6/21).
Ia menambahkan, soal mitigasi kecelakaan kapal akibat muatan
berlebihan selama ini memang masih belum maksimal. Penyebabnya, kata dia, ada
pada ketidakjelasan pihak yang menjadi penanggung jawab dari regulasinya.
“Regulasi ada tapi penanggung jawabannya tidak jelas.
Sejauh ini, batas tanggung jawab nakhoda dan syahbandar jadi di lapangan masih
abu-abu. Baru diributkan setelah banyak terjadi kecelakaan,” terangnya.
Secara rasio, kata Sony, kecelakaan kapal di Indonesia lebih
tinggi dibandingkan pesawat berdasarkan data riset yang dihimpunnya. “Di
Indonesia, rasio kecelakaan kapal kita itu tinggi lho! Data saya secara
statistik ini, 1:5. Artinya hanya ada 1 kecelakaan pesawat setiap terjadi 5
kecelakaan kapal. Bahkan, kalau tidak tertangani dengan baik rasionya bisa
lebih besar daripada ini,” imbuhnya.