Suku Uighur di Tiongkok belakangan ini menjadi pembahasan serius. Uighur adalah salah satu suku minoritas resmi di Republik Rakyat Tiongkok yang memeluk agama Islam. Kebanyakan dari mereka berdomisili dan terpusat di Daerah Otonomi Xinjiang.
Sebagai minoritas, suku Uighur dikabarkan mendapatkan diskriminasi dari negara dan pemerintahannya. Pada Agustus 2018, sebuah komite di organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendapat laporan tentang kondisi suku Uighur. Dalam laporannya, PBB mendapati satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya yang ditahan di wilayah Xinjiang barat untuk menjalani program ‘reedukasi’. Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk meninggalkan keyakinan mereka.
Baru-baru ini Beijing bahkan mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum. Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang “sebagai gejala radikalisme agama.”
Menurut Human Rights Watch, khusus suku Uighur dipantau secara sangat ketat. Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA. Ada laporan pula yang mengungkapkan terjadinya penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara dan dianggap ‘sensitif’. Penangkapan itu membuat satu juta orang telah ditahan.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, KH Irfan Yusuf (Gus Irfan) mengaku kecewa dengan sikap diam pemerintahan Joko Widodo atas isu kemanusiaan di Tionghoa. Gus Irfan menilai, pemerintah tak berani bersikap karena Indonesia saat ini memiliki hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
“Pemerintah sekarang itu tersandera oleh gelombang investasi dan hutang itu, sehingga tidak berani menyuarakan sesuatu yang berkaitan dengan China,” kata Gus Irfan dalam keterangannya, Kamis, 20 Desember 2018.
Gus Irfan mengklaim bahwa pihaknya peduli terhadap isu kemanusiaan. Maka dari itu, pengasuh Pondok Pesantren Al-Farros ini memastikan bahwa pasangan calon presiden dan wakilnya Prabowo-Sandi mendesak pemerintah dan dunia internasional agar segera menghentikan diskriminasi. Termasuk perbedaan golongan terhadap etnis Muslim Uighur.
Koordinator Juru Bicara pasangan Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak pun ikut bersuara. Menurut Dahnil, peran Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini dapat menjadi alat tekan bagi Tionghoa. Apalagi, pembelaan terhadap Muslim Uighur termasuk amanat di dalam pembukaan UUD 1945.
“Pemerintah harus segera melakukan aksi nyata dalam menghentikan diskriminatif rasial yang terjadi di China,” ujar mantan Ketum PP Pemuda Muhammadiyah tersebut.
“Sama seperti saudara-saudara kita di Palestina, Rohingya, dan belahan bumi mana pun. Ini karena amanat konsitusi yang kita anut agar nilai kemanusian dan perdamaian harus dijunjung tinggi,” pungkasnya.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sendiri telah mendiskusikan isu dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang, Tionghoa. Pihak pemerintah Indonesia bahkan membahas isu itu bersama Xiao Qian, Duta Besar China untuk Indonesia. Pada kesempatan itu, Kemlu menyampaika keprihatinannya terhadap isu diskriminasi terhadap suku Uighur.
“Kemlu menegaskan sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya,” kata Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir di sela-sela acara Diplomacy Festival (DiploFest) di Universitas Padjadjaran, Bandung, Rabu, 19 Desember 2018 malam.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang baru-baru ini mendeklarasikan dukungannya kepada capres petahana Joko Widodo juga ikut memberikan suaranya. Ia bahkan telah menyurati Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM (United Nations High Commission for Human Rigths) atau UNCHR di Jenewa, Swiss. Surat itu berisi permintaan kepada UNCHR untuk menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Tionghpa atas muslim Uighur di Xinjiang.
“Mengutuk keras tindakan kekejaman yang dilakukan Pemerintah China yang memaksa muslim Uighur untuk meninggalkan keyakinan agamanya dan beralih memeluk ateisme,” kata Yusril pada media, Kamis, 20 Desember 2018.
Surat yang menggunakan bahasa Inggris, kata Yusril, juga ditembuskan kepada Sekjen Organisasi Kerja Sama Islam di Arab Saudi dan Pemerintah RI di Jakarta. Meski saat ini sudah berada di pihak Joko Widodo, namun Yusril tetap memberikan kritiknya kepada pemerintah. Ia pun memberikan saran konkret untuk menghadapi situasi di Xinjiang.
“Sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia dapat mengambil prakarsa mengajak negara-negara anggota OKI lainnya untuk melakukan pertemuan khusus membahas situasi di Xinjiang,” tegas dia