Isu Terkini

BUMN, Agen Pembangunan yang Dibangun dengan Hutang

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Badan Usaha Milik Negara, atau yang lebih dikenal dengan singkatan BUMN, telah ada di Indonesia sejak era Orde Baru. Hadirnya BUMN berangkat dari semangat menjadi agen pembangunan sekaligus memenuhi segala kebutuhan masyarakat yang belum dipenuhi oleh sektor swasta. Tujuan yang mulia tersebut, dalam pelaksanaannya hingga kini ternyata harus dibayar dengan harga yang tak murah. Banyak BUMN harus berhhutang demi menjalankan dan mempertahankan perusahaannya.

Belakangan ini, perbincangan mengenai hutang BUMN pun kembali menghangat. Salah satu alasannya adalah karena isu hutang BUMN merupakan isu yang diangkat terus oleh tim oposisi. Kemarin Rabu (12/12), tim oposisi bahkan menggelar diskusi yang bertajuk ‘Menyelamatkan BUMN kita, Menjadi Benteng Ekonomi Nasional’.

Tim oposisi berangkat dari premis yang cukup jelas. Mereka mempertanyakan mengapa hutang BUMN tiap tahunnya terus membengkak hingga angka Rp5.271 triliun. Menurut ekonom Said Didu di acara diskusi tersebut, ia merasa bahwa membengkaknya hutang BUMN saat ini terjadi karena badan usaha ini menjadi alat politik penguasa. “BUMN itu Badan Usaha Milik Negara, bukan badan usaha milik penguasa. Seperti Tentara Nasional Indonesia, bukan tentara penguasa Indonesia. Ini harus dibersihkan,” ungkap Said Didu di acara yang digelar di Hotel Ambhara, Melawai, Jakarta Selatan, Rabu (12/12) kemarin.

Said Didu sendiri adalah Sekretaris Kementerian BUMN periode 2004-2012. Ia menilai bahwa BUMN saat ini dibebankan untuk memberikan tarif semurah mungkin demi rakyat. Namun yang harus dikorbankan jadinya adalah keuntungan dari BUMN itu sendiri. “Apabila ada penugasan kepada BUMN tidak ekonomis, pemerintah mustinya mengganti. Tapi ini malah memberi penugasan tapi kerugian itu ditanggung oleh BUMN,” ucap Said. Di acara yang sama, Sandiaga Uno pun turut hadir dan berbicara. Ia mengatakan kalau kondisi saat ini, BUMN sudah cukup membahayakan. “Kuncinya BUMN ini kalau bisa digerakkan enggak akan membebani APBN. Sekarang hutangnya capai Rp5.000 triliun, sudah di atas 60 persen. Ini hati-hati, mustinya kita khawatir,” ungkap Sandiaga.

Sejarah BUMN, Dipersiapkan untuk Menguasai Sektor Penting Negara

Di masa awal berdirinya, BUMN adalah hasil nasionalisasi perusahan-perusahaan peninggalan penjajah. Dahulu, namanya bukan BUMN, tetapi Perusahaan Negara (PN). Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 1 Prp 1969, terdapat tiga jenis bentuk BUMN. Tiga bentuk tersebut adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, dan Persero. BUMN ini didirikan dengan semangat dari UU Pasal 33 ayat (2) dan (3), yang berbunyi, “cabang-cabang produksi penting bagi Negara, yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Di tahun 1989, Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan nomor 740/KMK.00/1989 menspesifikan kembali apa yang disebut dengan BUMN. Dalam surat tersebut, BUMN terdiri dari tiga bentuk yang berbeda. Pertama, BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Kedua, BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya. Ketiga, BUM yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing, dengan negara memiliki saham mayoritas minimal 50 persen. Dengan begitu, BUMN tidak harus selamanya 100 persen didanai oleh pemerintah, tetapi juga tidak boleh sepenuhnya dimiliki oleh swasta. Definisi ini terus dipakai hingga hari ini.

Sepuluh BUMN dengan Hutang Terbanyak

Selain mendata total jumlah hutang dari BUMN, Kementerian BUMN pun mencatatkan sepuluh BUMN dengan hutang terbesar. Data ini dihimpun per kuartal III tahun 2018, dengan total jumlah hutang sesuai dengan apa yang disebutkan dalam diskusi tim oposisi. Posisi pertama ditempati oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI), dengan hutang sebesar Rp1.008 triliun.  Posisi kedua dan ketiga juga ditempati oleh perbankan Indonesia, yaitu Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI). Secara berurutan, masing-masing bank berhutang sebesar Rp997 triliun dan Rp660 triliun. Di posisi keempat, ditempati oleh PLN dengan hutang sebesar Rp543 triliun. Pertamina menempati posisi kelima dengan hutang sebesar Rp522 triliun. Bank Tabungan Negara menempati posisi keenam dengan jumlah hutang sebesar Rp249 triliun. Di posisi ketujuh, ada Taspen dengan hutang Rp222 triliun. Di urutan kedelapan, Waskita Karya memiliki hutang sebesar Rp102 triliun. Di peringkat kesembilan, ada Telkom dengan hutang sebesar Rp99 triliun. Di nomor sepuluh, ditempati oleh Pupuk Indonesia dengan jumlah hutang sebesar Rp76 triliun.

Share: BUMN, Agen Pembangunan yang Dibangun dengan Hutang