The Juice Media tak hanya mengulas soal sindiran kepada pemerintah Australia yang dianggap kerap ikut campur dengan urusan dalam negeri Indonesia saja, dalam hal ini Papua Barat. Lebih dari itu, media satir politik dan sosial kontemporer itu juga ikut menyentil Indonesia dalam banyak hal dalam video berdurasi 2:39 detik yang baru-baru ini dirilis di Twitter dan channel YouTube, Rabu, 21 November 2018.
Jika pada ulasan sebelumnya, The Juice Media fokus menyindir tingkah laku pemerintah Australia yang doyan mengeruk hasil tambang di Papua Barat. Misalnya, bisa dilihat dari kiprah perusahaan tambang asal Inggris yang juga berbasis di Melbourne, Australia, yang punya posisi strategis di PT Freeport Indonesia. Kali ini, sorotan diarahkan pada pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Australia ‘Jajah’ Papua Barat: Mengupas Iklan Satir The Juice Media
Dalam salah satu kalimat, The Juice Media membahas soal kasus pembunuhan pemimpin rakyat Papua yakni Theys Eluay pada 2001 silam. Dalam kasus itu, yang disindir adalah sosok Ryamizard Ryacudu, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Kerja Jokowi-JK.
“Lihat saja ini, kami sedang santai bersama sosok (Ryamizard Ryacudu) yang bilang bahwa orang yang membunuh pemimpin rakyat Papua (Theys Eluay) sebagai pahlawan. Kami yang membantu melatih para pahlawan itu, jadi kami juga layak mendapatkan penghargaan,” ucap The Juice Media.
Perihal sindiran itu, The Juice Media sendiri mengacu pada fakta mengenai sejarah masa lalu di mana Ryamizard Ryacudu saat masih menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal pernah mengatakan anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay sebagai pahlawan. Ryamizard meminta anggota Kopassus tersebut dihukum ringan.
Kala itu, Ryamizard mengatakan bahwa hukum memang memvonis anggota Kopassus bersalah, namun tidak baginya yang menganggap mereka sebagai pahlawan. “Okelah dia dihukum. Tetapi bagi saya dia pahlawan, kata Ryamizard kepada wartawan usai serah terima jabatan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat dari Letnan Jenderal Sumarsono kepada Letnan Jenderal Darsono di Mabes TNI AD, seperti dikutip dari Tempo, Rabu, 23 April 2003.
Sekadar informasi, Theys Eluay yang memiliki nama lengkap Dortheys Hiyo Eluay merupakan sosok Ketua Presidium Dewan Papua yang lahir di Sereh, Sentani, Jayapura, 3 November 1937. Presidium Dewan Papua sendiri didirikan oleh mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid sebagai perwujudan dari status otonomi istimewa yang diberikan kepada provinsi Papua.
Baca Juga: Australia ‘Jajah’ Papua Barat: Mengupas Iklan Satir The Juice Media (PART I)
Theys Eluay merupakan salah satu dari 1.000 orang yang terpilih dalam Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act for Free Choice, yang mengikuti pemungutan suara untuk integrasi dengan Indonesia pada tahun 1969. kala itu, ia berkampanye untuk bergabung dengan Indonesia. Di kancah politik, Theys bergabung ke Partai Kristen Indonesia dan masuk ke parlemen pada tahun 1971.
Seiring berjalannya waktu, Theys akhirnya memutuskan untuk pindah ke Golkar pada tahun 1977. Ia pernah menjadi anggota DPRD I Irian Jaya hingga tahun 1992. Dalam perjalanannya, ia tidak dicalonkan lagi ;pada pemilu berikutnya sehingga ia pun sangat kecewa sehingga bersuara lantang terhadap Jakarta.
Kemudian, pada tahun 1992, dibentuklah Lembaga Musyawarah Adat (LMA) yang menyatukan 250 suku Papua dan pada kesempatan itu Theys terpilih dan dinobatkan sebagai Pemimpin Besar LMA Papua. Sampai akhirnya, ia menobatkan diri menjadi Pemimpin Besar Dewan Papua Merdeka.
Setelah itu, beberapa tahun kemudian atau tepat pada 1 Desember 1999, Theys mencetuskan dekrit Papua Merdeka serta mengibarkan bendera Bintang Kejora. Ia menggelar Kongres Nasional II Rakyat Papua Barat pada Mei-Juni 2000, yang dikenal sebagai Kongres Rakyat Papua, Jayapura. Dalam kongres itu, Theys terpilih sebagai Ketua PDP.
Namun, kabar menyebutkan kala itu ada beberapa faksi dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kurang senang dengan kehadiran PDP. Kala itu disebutkan alasannya bahwa mereka takut hal ini akan menuju lepasnya Papua dari pangkuan NKRI. Di bawah pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, otonomi khusus ini harus dicabut kembali dan ada tuduhan bahwa PDP dihalang-halangi oleh oknum-oknum militer.
Atas kondisi tersebut, Theys akhirnya diculik dan lalu ditemukan sudah terbunuh di mobilnya di sekitar Jayapura pada 10 November 2001. Berdasarkan penyidikan Jenderal I Made Mangku Pastika, yang juga memimpin penyidikan peristiwa Bom Bali 2002, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Setelah penyelidikan tersebut, beberapa nama anggota Kopassus seperti Letkol Hartomo akhirnya dipecat secara tidak terhormat. Dunia Internasional pun mengecam pembunuhan Theys Eluay tersebut.
The Juice Media juga menyoroti sulitnya akses masuk bagi para jurnalis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Sehingga hal itu berdampak sangat buruk pada pemberitaan dan pemberian informasi yang berimbang soal situasi mencekam di Papua. Beberapa sumber seperti laporan dari Human Right Watch pun membuktikan hal tersebut.
“Sementara itu, rakyat Papua sedang menikmati keuntungan dari penjajahan Indonesia seperti menjadi penduduk termiskin padahal tinggal di salah satu wilayah terkaya di bumi.”
“Belum lagi bertahun-tahun dibunuh, diperkosa, dihilangkan, disiksa, dibakar desanya. Bagusnya, kalian tak akan pernah mendengar tentang kabar itu karena wartawan dan pegiat kemanusiaan tak boleh datang ke Papua Barat.”
Dalam laporan Human Right Watch (HRW) pada 6 Agustus 2018 lalu, setidaknya ada beberapa jurnalis yang masuk dalam daftar hitam dan tak boleh masuk ke wilayah Papua. Salah satunya mahasiswa pascasarjana Australia Belinda Lopez, yang pada 4 Agustus lalu pihak otoritas imigrasi di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, tiba-tiba membatalkan rencana bulan madunya.
Lopez disebut masuk dalam daftar hitam resmi dan dilarang masuk ke Indonesia. Ia bahkan dideportasi dalam rentang waktu 24 jam setelah kedatangannya. Apa yang dilakukan Lopez? Pelarangan terhadap Lopez itu tampaknya karena dirinya pernah menjadi jurnalis. Pihak otoritas imigrasi berulang kali bertanya apakah Lopez seorang reporter dan apakah dirinya sudah melakukan sesuatu yang salah pada Indonesia.
Sekadar informasi, Lopez sendiri sebelumnya pernah bekerja di surat kabar berbahasa Inggris Indonesia The Jakarta Post dan The Jakarta Globe. Ia pernah dideportasi dari Papua pada tahun 2016 karena kecurigaan pihak otoritas di sana lantaran dirinya seorang reporter. Lopez pun frustrasi menghadapi situasi itu.
“Mengapa saya sekarang masuk daftar hitam pemerintah Indonesia? Sampai kapan? Untuk alasan apa? Karena pergi ke Papua? Ini sangat menghancurkan saya,” kata Lopez.
Memang selama ini, ada persepsi yang sangat mengakar di antara banyak pejabat pemerintah dan badan keamanan Indonesia yang menganggap bahwa akses media asing ke Papua bisa menyebabkan ketidakstabilan di sana. Padahal laporan dari jurnalis soal kondisi Papua tentu sangat penting bagi dunia luar, apalagi di pulau paling ujung timur Indonesia itu kerap terjadi kekerasan oleh aparat.
Pada 10 November 2015, HRW juga menulis laporan soal akses jurnalis yang tak boleh masuk ke Papua. Akses jurnalis asing dan pegiat HAM yang dibatasi untuk masuk ke Papua tentu saja menimbulkan keprihatinan serius tentang komitmen pemerintah terhadap kebebasan media.
Apalagi, menurut HRW, pembatasan akses tersebut sangat menentang apa yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, pada 10 Mei 2015, yang mengatakan bahwa media asing yang terakreditasi akan memiliki akses yang tidak terhalang ke Papua. Sayangnya, hal itu justru jauh dari kata terwujud.