Budaya Pop

Generasi Milenial Menolak Nikah?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Di umur 6-15 tahun, sebagian besar anak-anak di Indonesia, jika tidak semuanya, memiliki tanggung jawab dan situasi yang serupa. Tanggung jawab dan situasi tersebut adalah bertanggung jawab untuk belajar di sekolah formal dan ditambah beberapa kegiatan ekstra. Kegiatan itu bisa berupa bermain dengan teman-teman lain, les pelajaran atau keahlian tertentu, atau sekadar berolahraga bersama teman-teman. Perbedaan yang signifikan, seperti misalnya ada yang harus putus sekolah untuk bekerja membantu keluarga, dinilai sebagai sebuah keputusan yang luar biasa untuk anak-anak di umur tersebut. Singkatnya, anak-anak di umur 6-15 tahun berada pada kondisi yang serupa di umur-umur tersebut.

Seiring berjalannya waktu dan bertambah dewasa, mereka dihadapkan pada keputusan-keputusan yang menentukan nasib mereka di masa akan datang. Ada yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikan, ada juga kesempatan kuliah sampai S3. Ada yang harus menikah di umur 18 tahun, ada yang harus menikah di usia lebih dari 30 tahun. Semua orang dihadapkan pada keputusan yang berbeda dan nampaknya, perbedaan-perbedaan satu sama lain tersebut menjadi sesuatu yang lebih wajar dan harus diterima seiring pertumbuhan anak-anak tersebut menjadi dewasa.

Milenial Bicara Masa Depan

Sekarang ini, milenial Indonesia mendominasi ruang-ruang publik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Orang-orang yang di tahun 1990-an masih anak-anak, sekarang sudah menjadi orang-orang dewasa berumur 20 hingga 30-an tahun. Mereka hidup dengan keputusannya masing-masing. Meski begitu, ternyata ada satu karakteristik yang cukup khas di generasi milenial ini, yaitu adanya keengganan untuk menikah muda. Terlepas dari gerakan-gerakan seperti “Indonesia Tanpa Pacaran” yang mengadvokasikan pernikahan, ternyata generasi milenial ini secara rata-rata cenderung untuk memilih menunda pernikahan. Berdasarkan publikasi Bentley University, umur median generasi milenial mengadakan pernikahan adalah 27 tahun untuk perempuan dan 29 untuk laki-laki. Di tahun 1960, angka ini adalah 20 tahun untuk perempuan dan 23 tahun untuk laki-laki.

Tidak hanya tentang angka yang semakin tua, persentase angka milenial yang memutuskan untuk tidak sama sekali menikah pun diprediksi meningkat. Persentase pernikahan di generasi milenial diprediksi hanya mencapai angka 70 persen, jauh di bawah generasi-generasi sebelumnya seperti generasi baby boomers yang berada di kisaran 91 persen, late boomers di angka 87 persen, dan gen X di angka 82 persen. Lalu, mengapa terdapat perubahan yang cukup drastis di generasi milenial terkait pernikahan ini?

Alasan utama dan yang paling sering digaungkan adalah bahwa milenial lebih memilih untuk memapankan diri terlebih dahulu sebelum menikah. Pew Research pun menilai bahwa alasan utama di balik keputusan untuk menunda pernikahan ini adalah adanya keinginan untuk menciptakan fondasi ekonomi yang solid terlebih dahulu. Alasan ekonomi ini nampaknya menjadi momok utama untuk menunda pernikahan, terlebih untuk kelompok masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.

Namun ternyata, selain alasan ekonomi, ada alasan lain yang masih jarang terungkap sebagai alasan di balik keengganan generasi milenial menikah. Alasan tersebut adalah tingginya angka perceraian dari generasi-generasi sebelumnya, membuat pernikahan menjadi sesuatu yang enggan untuk dilakukan tanpa basis-basis fondasi yang kuat. Hal ini turut diucapkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengatakan kalau angka perceraian terus meningkat tiap tahunnya. Ia pun berharap angka ini tidak terus meningkat ke depannya. “Sebelum generasi muda kita menjadi ayah dan ibu nantinya, mereka harus diberikan wawasan yang baik, agar angka perceraian dan kekerasan rumah tangga tidak semakin meningkat,” ungkap Lukman, saat menghadiri peresmian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan tujuh Kantor Urusan Agama (KUA) di Palu, Senin (17/9) yang lalu, seperti dilansir Antara.

Selain angka perceraian yang meningkat secara umum, perceraian yang juga menjadi isu utama di kalangan publik figur tentu menjadi santapan media massa. Di sini lah peran media massa ‘menggoreng’ keengganan yang sudah tertanam di kalangan milenial untuk menikah. Acara-acara gosip yang bertebaran di televisi-televisi Indonesia menjadi salah satu pemicu utama. Namun saat ini, media sosial yang mengekspos kehidupan pribadi publik figur tersebut juga berperan ‘menggoreng’ keengganan tersebut. Jadi, tidak hanya dari sektor ekonomi dan kondisi perceraian di sekitar yang meningkat, ada juga peran media yang mempertajam keengganan generasi milenial untuk menikah.

Share: Generasi Milenial Menolak Nikah?