Senin kemarin, saya membuka harian Kompas. Ada satu judul berita yang cukup menggelitik. Di judul tersebut tertulis seperti ini, “Nalar Matematika Gawat”. Judul ini berangkat dari salah satu data yang mereka kutip dari IFLS (Indonesia Family Life Survey). Data tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan ILFS di tahun 2000, 2007, dan 2014. Dari data tersebut, ditemukan fakta kalau 83 persen populasi Indonesia darurat bermatematikan. Lebih dari 85 persen lulusan SD, 75 persen lulusan SMP, dan 55 persen lulusan SMA hanya mampu menjawab pertanyaan matematika level siswa kelas 2 SD ke bawah. Hanya sedikit dari mereka yang dapat menjawab pertanyaan kelas 4 dan 5 SD.
Membaca data tersebut membuat saya berpikir kembali. Bukan, saya tidak berpikir kenapa orang Indonesia begitu banget kemampuannya. Justru yang membuat saya berpikir adalah, apa matematika segitu pentingnya, ya? Bukannya matematika itu hanya pelajaran yang akan dipelajari semasa sekolah, dan jika kalian beruntung, kalian tidak perlu menggunakan matematika selain tambah kali kurang bagi di sisa hidup kalian? Atau jika kalian lebih beruntung lagi, orang lain lah yang akan mengerjakan urusan per-matematika-an di hidup kalian, bukan kalian sendiri.
Semasa saya SMA, saya tidak meremehkan Matematika sama sekali. Saya tidak meremehkan Matematika karena saya tau saya butuh nilai Matematika yang bagus untuk masuk perguruan tinggi negeri yang saya idamkan, bukan karena saya anggap itu penting. Jadinya, saya pintar saat itu saja, bukan karena saya memang ingin belajar dan mengetahui Matematika lebih lanjut. Mungkin banyak dari kalian yang seperti saya juga?
Saat ini, saya adalah mahasiswa tahun keempat di jurusan yang sama sekali jauh dari Matematika. Ya, palingan hanya Statistika Sosial. Sudah tiga tahun lebih saya berkuliah, mata kuliah yang membutuhkan keahlian Matematika ya hanya mata kuliah Statistika Sosial itu. Hanya 2 SKS dan satu semester. Sudah, sisanya? Saya tidak membutuhkannya sama sekali. Namun justru ketika saya tidak lagi belajar Matematika secara langsung dan rutin, saya baru merasa bahwa Matematika yang saya pelajari semasa sekolah begitu penting. Lah, kok bisa?
Alasan pertama saya adalah karena Matematika telah memberikan saya kemampuan, baik yang sadari atau tidak, untuk bisa berpikir secara rasional dan jelas. Meskipun tidak mempelajari Matematika secara langsung, mata pelajaran ini telah memberikan saya kemampuan menganalisis suatu kondisi secara logis. Singkatnya, Matematika telah membentuk saya sebagai manusia yang dapat berpikir runut dan rasional. Tanpa Matematika, hidup saya akan kacau balau, karena mungkin keputusan yang saya buat tidak berdasarkan kemampuan berpikir rasional dan logis, namun hanya dengan perasaan saja.
Kedua, Matematika telah membuat saya memiliki kemampuan untuk berhitung tentang kemungkinan-kemungkinan di depan, membuat saya menjadi seseorang yang lebih peduli atas probabilitas tersebut. Tanpa logika Matematika yang saya pelajari semasa SD-SMA, mungkin kemampuan untuk melihat masa depan dengan probabilitas-probabilitasnya tidak akan tertanam dengan baik di diri saya. Bisa jadi, saya hanya menjadi seseorang yang happy-go-lucky tanpa sadar akan kemungkinan atau bahaya yang mengancam di depannya.
Dengan kedua poin saya di atas, apa itu artinya membuat saya mendukung pelajaran Matematika dengan bentuknya yang sekarang ini untuk tetap dipelajari oleh seluruh siswa dari SD-SMA? Tentu tidak. Saya merasa bahwa Matematika itu berguna, namun yang ada di Indonesia saat ini jauh dari kata efektif dan mampu mencerdaskan anak bangsa. Nalar Matematika gawat bukan karena semata-mata orang itu bodoh, tapi bisa saja memang sistemnya gagal memberikan ruang untuk siswa mengeksplor apa yang ia butuh. Sederhananya, menurut saya, Matematika yang ada di kurikulum saat ini terlalu general dan gagal memberikan ruang untuk siswa mempelajari Matematika dengan senang hati.
Mari berpikir bersama. Dari SD sampai SMA, seseorang harus belajar Matematika. Di tiap tingkat, semuanya akan semakin sulit dan rumit. Namun apa ada satu pun siswa yang belajar dengan kurikulum Indonesia saat ini diberikan izin untuk mengatakan “tidak, saya tidak mau belajar Matematika seperti ini”? Tidak ada. Semuanya koersif, semuanya tidak memberikan ruang untuk siswa memahami apa yang diinginkannya. Kalau tidak mau, ya jelek aja nilainya. Akibatnya, ya jelas akan ada yang gagal sama sekali, ada yang pintar dan akhirnya dibanggakan gurunya. Apa itu membuat yang gagal tidak pandai bermatematika? Bisa saja, Matematika yang ia suka adalah Matematika tertentu saja. Contoh, ada seorang pelajar yang ingin mempelajari Matematika yang berhubungan dengan ilmu Hubungan Internasional. Namun, di Matematika lain ia tidak suka dan membuat ia tidak mampu. Apa itu lantas membuat ia gagal? Sistem yang ada masih seperti itu. Masih mendefinisikan setiap siswa dengan definisi yang sama rata, bukan memberikan definisi sesuai kebutuhan masing-masing siswa.
Lantas, apa solusinya? Salah satunya jelas adalah reformasi kurikulum Matematika dari tingkat SD sampai SMA. Kurikulum tersebut harus dapat membuat seseorang tetap mempelajari Matematika sampai titik tertentu yang dirasa dasar. Sisanya? Wajibkan siswa untuk belajar Matematika sesuai yang ia mau. Kata kuncinya adalah wajib, namun sesuai yang ia mau. Wajib, tanpa memaksa harus mempelajari semuanya. Karena Matematika adalah hal wajib untuk rasionalitas dan logika yang jelas. Matematika yang dipaksakan selama dua belas tahun lamanya tidak akan menciptakan generasi yang cerdas, hanya yang pandai menghafal rumus saja.
Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.