Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan hal itu merupakan hasil keputusan rapat kabinet yang diselenggarakan pada Jumat, 2 November 2018 lalu di Istana Bogor, Jawa Barat. Sri Mulyani mengatakan bahwa setelah mendengar seluruh evaluasi dan masukan dari sidang kabinet, maka diputuskan cukai rokok 2019 tetap sama dengan cukai tahun 2018. “Kami putuskan, tidak ada perubahan tingkat cukai yang ada sampai dengan 2018 ini,” kata Sri Mulyani setelah rapat.
Sri Mulyani membeberkan bahwa keputusan itu diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan beberapa menteri serta arahan Presiden Jokowi saat rapat terbatas. Selain itu, pemerintah juga akan menunda rencana penggabungan kelompok cukai. “Dalam hal ini kita akan tetap akan mengikuti struktur dari kebijakan cukai tahun 2018 baik dari sisi harga jual, eceran, maupun dari sisi pengelompokannya,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah sendiri juga sempat mewacanakan kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2019. Menurut Kementerian Perindustrian, kenaikan tarif cukai itu dapat berdampak negatif kepada struktur industri rokok di Indonesia. Keputusan pemerintah untuk menahan cukai rokok itu lantas menjadi yang pertama kalinya sejak 2014 silam.
Baca juga: Cuka Rokok Batal Naik, Keputusan Berdasarkan Banyaknya Kritik
Selama ini pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dengan besaran rata-rata 10,5 persen. Terakhir, pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10,04% secara rata-rata per 1 Januari 2018, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Maka dari itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menggelar diskusi publik dengan nama Ruang.Temu Edisi #4 dengan tema “Menilik Politik Cukai Tembakau” yang berlangsung di Cocowork, Plaza Kuningan Lantai. 9, Jakarta dan live streaming di Channel YouTube Asumsi, Kamis, 8 November 2018 lalu.
Diskusi tersebut menghadirkan para peserta dengan latar belakang social change-makers dan penggerak komunitas lifestyle. Ada pun tiga pemantik diskusi tersebut adalah Prof. Hasbullah Thabrany (caleg DPR RI 2019-2024 dari PDI-P dan peneliti ekonomi kesehatan UI). Prof Hasbullah ini sendiri konsisten memantau isu mengenai kebijakan cukai tembakau.
Lalu, pembicara kedua yakni Dedek Prayudi, caleg DPR RI 2019-2024 sekaligus juru bicara PSI, peneliti demografi dan pegiat toleransi. Sementara pembicara ketiga ada Didi Irawadi, anggota Komisi XI DPR RI dan politisi Partai Demokrat. Selain pembicara, diskusi tersebut juga menghadirkan sejumlah penanggap yang juga sudah memantau kebijakan cukai rokok sejak lama. Mereka adalah Julius Ibrani, Sekjen PBHI yang aktif mendukung upaya pengendalian tembakau melalui perspektif hukum. Lalu, ada Widya Kartika, peneliti kebijakan ekonomi dari The Prakarsa, ada Fajry Akbar, Research Manager Eksekutif, Centre for Indonesia Taxation Analysis.
Ada juga Saniman, Dosen Universitas Trunojoyo dan mantan petani tembakau. Pada kesempatan itu, ikut bergabung juga perwakilan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Diskusi kali ini dipandu oleh Jesicca Wowor dari Asumsi.co. Topik utama yang dibahas dalam diskusi adalah soal keputusan pemerintah yang tak menaikkan cukai rokok di tahun 2019. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah ada faktor politik terutama di tahun politik ini?
Setelah pemerintah menunda untuk menaikkan cukai rokok di tahun 2019, Prof. Hasbullah Thabrany (HT) melihat bahwa orang miskin di Indonesia terjerat lingkaran setan konsumsi rokok. Prof Hasbullah pun merasa kecewa lantaran kali ini kepentingan kesehatan rakyat, khususnya rakyat miskin, harus kalah dengan kepentingan sesaat. “Saya khawatir kita kalah daya saingnya dengan bangsa lain karena Indonesia belum menandatangani FCTC,” kata Prof. Hasbullah.
FCTC sendiri merupakan singkatan dari Framework Convention on Tobacco Control, sebuah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau. Hal ini diimplementasikan setelah Presiden Jokowi mengikuti pendahulunya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi FCTC.
Dengan begitu, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian tersebut. Dengan demikian, Indonesia sudah sejalan dengan sejumlah negara lainnya, termasuk negara-negara seperti Somalia dan Sudan Selatan, yang dinilai sebagai ‘negara terbelakang’. Keputusan untuk tak meratifikasi perjanjian FCTC pun membuat Indonesia tumbuh menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok. Statistik itu dirangkum oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Baca Juga: Polemik Harga dan Cukai Rokok, Masih Perlu Dinaikkan atau Biarkan?
Jika dilihat, wajar saja jika jumlah perokok sangat besar di Indonesia. Berdasarkan survei BPS per Maret 2018, persentase rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok rokok dan tembakau masih cukup mendominasi, yakni mencapai 11,75% dari total pengeluaran untuk komoditas makanan. Hebatnya lagi, jumlah itu bertengger di peringkat ke-3, mendekati persentase pengeluaran untuk padi-padian/beras (12,02%) yang menempati posisi ke-2.
Sementara itu, Didi Irawadi Syamsudin mengungkapkan bahwa kondisi tembakau perlu dilihat dari berbagai aspek. Banyak generasi muda di bawah usia 17 tahun, lanjut Didi, yang sudah jadi perokok aktif. “Namun ada 6 juta orang lainnya yang menggantungkan hidup dari tembakau. Sementara di sisi lain, Indonesia dikecam oleh bangsa lain karena memiliki prevalensi perokok pria tertinggi. Tapi ternyata beban negara juga tinggi, mencapai 21% beban JKN untuk menanggung penyakit akibat rokok. Maka dari itu harus ada win-win solution. Kalau cukai rokok naik, maka harus ada juga solusi terhadap sekitar 6 juta petani tembakau,” kata Didi.
Masalah cukai rokok ini sendiri ternyata jadi sebuah dilema bagi pemerintah sendiri. Menurut Dedek Prayudi, kondisi cukai tembakau ini cukup problematik. Apalagi seharusnya, lanjut Dedek, harus ada upaya menyelamatkan anak-anak dan remaja Indonesia dari bahayanya konsumsi rokok itu sendiri. Namun secara bersamaan juga, Dedek menyarankan harus ada mitigasi kehancuran di industri tembakau.
“Meskipun sudah naik beberapa kali, cukai tembakau ini masih kurang berdampak pada penurunan konsumsi rokok. Apakah cukai sudah dimaksimalkan sebagai instrumen untuk menurunkan konsumsi rokok?,” kata Dedek.
Dedek mencontohkan bahwa di Filipina sendiri cukai rokok sudah dinaikkan secara radikal dan cukup berhasil menekan konsumsi rokok. “Harus ada robust research tentang hubungan sebab akibat antara cukai dan kebiasaan merokok? Yang saya percaya, cukai adalah salah satu tapi bukan satu-satunya instrumen untuk mengurangi konsumsi rokok,” ujarnya.
Memang saat ini pemerintah sedang menghadapi situasi yang dilematis, antara memikirkan kepentingan industri dan juga kepentingan yang sangat vital yakni terkait kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, jika dilihat dari sisi industri, maka keputusan tak naiknya cukai rokok di tahun depan, disinyalir akan memperpanjang eksistensi industri rokok. Menurut pihak Kementerian Perindustrian, kenaikan tarif cukai rokok yang dilakukan tahun ini saja bisa membuat industri rokok lebih tertekan.
Tak hanya itu saja, di sisi lain jumlah produksi dan aktor di industri rokok juga terus menurun. Misalnya saja, dalam data Kemenperin, jumlah pabrik rokok jumlahnya menurun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi hanya 487 pabrik saja pada 2017. Tentu berkurangnya jumlah itu berdampak pada berkurangnya juga lapangan kerja, terlebih mayoritas pabrik yang tutup merupakan industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang dikerjakan tenaga manusia.
Sementara itu Sandi, perwakilan dari Badan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa keputusan tak menaikkan cukai rokok tahun depan, merupakan bagian dari perintah atasan, di samping juga memberikan rekomendasi kebijakan. Menurut penelitian Sandi, ada sekitar 600.000 petani tembakau di Indonesia dan hanya sekitar 1/3 yang bergantung pada tembakau sepenuhnya. “Kalau dari upaya petani dan tenaga kerja, sudah dialokasikan dari Dana Bagi Hasil CHT untuk memberikan pelatihan keterampilan,” kata Sandi.
Baca Juga: Harga Rokok Murah, (Si)Apa yang Berpengaruh dan Terpengaruh?
Di sisi lain, Dosen Universitas Trunojoyo dan mantan petani tembakau Saniman mengatakan bahwa ada asumsi yang tidak bisa dibuktikan.ketika cukai rokok akan dinaikkan, maka banyak pihak yang mengklaim bahwa cukai tinggi bisa mematikan petani tembakau. “Ketika pemangku kebijakan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau, maka sehrusnya cukai ini naik agar harga rokok naik. Nah, ketika harga rokok naik, maka saya bisa pastikan harga tembakau juga pasti naik.”
Maka dari itu, lanjut Saniman, proses menanam tembakau juga harus diperhatikan sejak dibibit karena prosesnya sangat sulit. Menurut Saniman, hal ini perlu dilakukan lantaran petani juga turut menghirup bahaya dari daun tembakau itu sendiri dan tembakau tidak pernah dibeli dengan harga yang seharusnya. Di sini saja kerugian petani sudah besar.
“Tenaga saya bekerja sebagai petani tembakau tidak pernah dihitung, harga panen juga tidak pernah ditentukan yang selayaknya. Jika kita mau menaikkan kesejahteraan petani tembakau, maka harus naikkan cukai rokok. Cukai rokok juga harus dikembalikan ke petani dlm bentuk program ketahanan pangan untuk mewujudkan swasembada pangankarena kita sudah terekspos bahayanya sejak menanam tembakau.”
Sementara itu, Widya dari The Prakarsa mengungkapkan bahwa sekitar 20% konsumsi masyarakat miskin itu untuk konsumsi tembakau. Menurut Widya, satu-satunya instrumen untuk mengontrol konsumsi rokok adalah cukai. “Jika instrumen cukai saja belum berhasil, jika afordabilitas rokok masih rendah, maka konsumsi rokok tidak akan turun.”
Kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang tak menaikkan cukai rokok pun muncul. Padahal pemerintah dianggap sudah memiliki roadmap simplifikasi cukai, meski akhirnya juga harus menyerah karena kondisi politik. Maka dari itu, untuk mendorong hulu produksi tembakau, petani harus didorong untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksinya.
“Penghasilan petani di bawah 80% GDP lokal. BPS jg mendapati penghasilan petani tembakau kecil. Seharusnya kita berani mengusir industri rokok asing. Jika kita menaikkan harga rokok, kita bisa dapat pemasukan lebih tinggi kemudian bisa kita gunakan uang itu untuk melatih petani beralih profesi,” kata Prof. Hasbullah Thabrany.
Prof. Hasbullah pun melihat bahwa industri rokok sendiri sebenarnya sudah berada dalam situasi sunset, sehingga pada akhirnya petani dan pekerja rokok pun harus beralih profesi. “Rp 150T yang kita terima dari cukai adalah denda dari para perokok (sin tax) yang karena ada UU Cukai, mereka dipaksa bayar lebih banyak. Pak Jokowi mungkin belum mendapatkan info yang tepat tentang pemanfaatan cukai. Maka dari itu, media juga berperan penting untuk menyampaikan info yang tepat.”