Isu Terkini

Di Balik Ilmu Kajian Perang yang Dipelajari Gustika Jusuf-Hatta

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

“If you want peace, understand war” – Sir Basil Henry Liddell Hart.

Apa yang muncul di otak kalian kalau mendengar jurusan “Kajian Perang”? Mungkin yang terlintas di pikiran kalian itu pemikiran seperti pelajaran yang berat, berhubungan dengan strategi memenangkan perang, atau diskusi-diskusi terkait persenjataan-persenjataan mutakhir, mulai dari senjata terbaru sampai teknologi nuklir yang masih menjadi rahasia negara. Tidak hanya itu, yang ada di bayangan kita, orang-orang yang mempelajari ilmu ini mungkin adalah sosok orang tua yang berpangkat tentara tinggi, dan kemungkinan besar adalah lelaki. Namun sayang, ternyata bayangan tersebut semuanya salah. Tidak ada satupun stereotip Kajian Perang ditemukan dalam diri Gustika Hatta. Tidak hanya tertarik, Gustika sendiri ini memang berkeinginan untuk menghilangkan stereotip tersebut.

Ilmu perang atau war studies adalah kajian ilmu yang menjadi spesialisasi Gustika Hatta, seorang perempuan muda cerdas nan kharismatik. Enggak lupa, dia juga cucu kandung dari Bung Hatta, salah satu bapak pendiri bangsa. Ia mempelajari ilmu ini semasa berkuliah di King’s College, London. Benar, Gustika Hatta baru saja menyelesaikan studi Ilmu Perangnya di Inggris. Kebayang kan, Gustika sekeren apa?

Buat kalian yang penasaran pengen tahu lebih lanjut tentang Kajian Perang, kajian ini adalah salah satu cabang kajian dalam peminatan Pengkajian Strategis, milik Ilmu Hubungan Internasional. Seperti dilansir Departemen Kajian Perang milik King’s College sendiri, Kajian Perang adalah sebuah cabang kajian yang bertujuan untuk memahami kompleksitas perang, konflik, dan politik internasional secara keseluruhan. Jadi ya, yang dipelajarin seputar isu-isu yang nyata terjadi di tatanan internasional.

Terus, apa harus jadi tentara dulu kalau mau belajar ilmu ini? Enggak perlu kok. Kalian cuman butuh lulus SMA, terus lulus S1 di jurusan yang sesuai dengan Kajian Perang. Yang paling ideal sih, kalian ngambil S1 di Indonesia jurusan ilmu Hubungan Internasional, dengan peminatan Pengkajian Strategis. Kemudian, baru deh belajar ilmu ini. Tapi kalau ragu untuk pilih jurusan S1 apa, coba deh tanya-tanya orang Indonesia yang pernah mempelajari ilmu perang.

Kalau memang sudah mantap kuliah HI, biasanya sih bisa dipermudah jalan untuk ambil studi selanjutnya di bidang ilmu perang. Biasanya akan ada banyak informasi-informasi yang bisa didapat dari antar-anak HI di Indonesia. Gimana? Jadi makin pengen belajar studi ini enggak?

Kembali ke Gustika, selain belajar kajian tentang perang, menjadi Gustika juga enggak cuman modal alamameter yang sama. Buat jadi kayak Gustika, kalian juga kudu pintar. Caranya? Ya, baca buku dan jurnal internasional yang mengkaji tentang perang dong. Tiga rujukan yang bisa bikin kalian terlihat pintar depan Gustika di antaranya adalah sebagai berikut.

Man, the State, War – Kenneth Waltz (1959)

Waduh, tua banget ini buku? Weits jangan salah, meskipun ini buku tua banget, buku ini adalah buku sakti. Enggak cuman buat anak kajian perang, buku ini adalah buku dasar yang perlu dipelajarin sama mahasiswa HI di seluruh dunia. Di dalam buku ini, Waltz berargumen bahwa di dalam ilmu Hubungan Internasional (HI), seorang analis bisa mengkaji dari tiga level analisis, yaitu individu, negara, atau sistem internasional. Buku ini menjadi pedoman karena jelas, dalam menganalisis suatu isu, tentu harus ada level yang ditentukan, dong? Hal ini membuat pemikiran Waltz ini begitu berharga. Ia sendiri pun merevisi kajiannya dalam buku ini di bukunya ia yang berjudul The Theory of International Politics (1979). Dalam buku revisiannya ini, Waltz ngasih dua pemikiran besar buat ilmu HI, yaitu paradigma neorealisme dan teori Balance of Power.

Alliance Formation and the Balance of World Power – Stephen Walt (1985)

Ini adalah jurnal internasional karya Stephen Walt yang merupakan sebuah respon terhadap buku Waltz. Dalam jurnal internasional ini, Walt berusaha untuk memberikan sedikit revisi dalam teori Balance of Power yang dicetuskan oleh Waltz. Revisi teori ini pun disebut oleh Stephen Walt dengan istilah Balance of Threat. Kedua teori ini sebenarnya serupa meskipun tak sama, yaitu berusaha melihat alasan di balik sebuah negara beraliansi di tatanan internasional.

The Roots of War in The 21st Century – Randall Doyle (2009)

Meskipun tidak seberpengaruh dua karya sebelumnya, tulisan Doyle ini juga cukup berpengaruh, karena memberikan gambaran seperti apa kondisi geopolitik di Asia-Pasifik, sekaligus menjelaskan akar dari perang yang mungkin saja terjadi di abad ke-21. Buku ini penting banget buat kalian biar enggak cuman paham teori, tapi ngerti juga dengan kondisi terkini.

Share: Di Balik Ilmu Kajian Perang yang Dipelajari Gustika Jusuf-Hatta