Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Dengan berbagai macam suku, agama, ras, dan budaya, Indonesia menjadi negara yang majemuk. Banyak kultur budaya di masing-masing tempat menjadi sebuah identitas tertentu di daerahnya. Sehingga mengerucut menjadi semboyan biasa kita sebut Bhinneka Tunggal Ika yang mempunyai arti bermacam-macam tapi satu tujuan. Menjadi negara majemuk memang dibutuhkan perawatan ekstra demi menjaga keutuhan suku dan agama sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara yang bisa menjaga perdamaian dunia. Namun, dua hari ini negara Indonesia sedikit dibuat ribut oleh ormas Islam bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Ormas HTI mempunyai visi dan misi mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi syariat dan mendirikan negara khilafah. Dengan simbol berupa bendera, ormas tersebut mencoba masuk kedalam sendi-sendi masyarakat Indonesia. HTI mempunyai selogan bahwa din wa daulah berati agama dan negara “kerajaan”, dan menjadikan bendera yang bertulisan lafad Laillahaillallah. Bendera tersebut sering difahami sebagai perwujudan sebagai berikut: pertama sistem pemerintahan dalam negara-negara Islam merupakan inti dari ajaran Islam. Kedua, politik merupakan bagian dari Islam, karenanya praktik berpolitik berarti praktik beragama. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara agama dan politik.
Ketiga kewajiban mendirikan negara Islam berdasarkan, baik perundangundangan maupun fiqih-nya yakni penerapan syari’at Islam. Dan yang keempat adalah dasar dari negara Islam merupakan manhaj islami dan sistem moral Islam. Pada gilirannya, Islam menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih konkret bahwa Islam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Bendera menjadi salah satu simbol legitimasi politik ideologis untuk mencari kekuasaan dan secara perlahan menjadikan sebuah alat untuk mendoktrin secara masal didalam masyarakat.
Seorang pakar dibidang semiotika asal Amerika bernama Charles Sanders Peirce mengatakan bahwa simbol terbentuk atas kebiasaan masyarakat dan ditasfirkan oleh tiap manusia itu sendiri. Dan setiap tanda mempunyai fungsi untuk mengemukakan sesuatu atau maksud tertentu. Sehingga proses penafsiran simbol bendera berlafad Laillahaillallah mempunyai pesan tersendiri bagi seorang yang menafsirkannya. Kebenaran obyektif dalam ranah ini diukur atas dasar kesepakatan bersama dalam bahasanya Peirce adalah legisigns berati sebuah tanda yang dibuat atas dasar peraturan. Jika tidak ada kesepakatan dalam peraturan maka tanda tersebut tidak layak untuk di perlihatkan. Sehingga tanpa di sadari jika kita melihat bendera HTI secara tidak langsung bayangan kita terpaku pada nuansa Islami padahal dibalik bendera tersebut terdapat pesan politik didalamnya.
Selanjutnya, muncul reaksi yang dihadapi oleh kalangan pembaharu dalam masyarakat Islam Indonesia, di antaranya HTI. HTI yang didirikan Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953 Bila dilihat dari latarbelakang didirikanya Hizbut Tahrir pada ingin dijadikan ”kendaraan politik” oleh Taqiyuddin al-Nabhani untuk melakukan aktivitas politiknya. Sejak al-Nabhani memproklamirkan Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai politik pembebasan, dengan visi dan misi memperjuangkan kemenangan Islam melalui pembentukan khilafah Islam, partai ini kemudian berkembang pesat ke seantero dunia dan dogmanya terkenal mulai dari Yordania di Timur Tengah, Inggris, Australia hingga ke pelosok Indonesia dan menjadi HTI.
HTI organisasi politik Islam yang independen. Organisasinya memiliki kekhasan seperti berasaskan syari’at Islam, ide dan aksi politiknya bukan politik praktis tetapi politik-ideologis, dan konseptual. Ketika masuk didalam negara Indonesia sungguh sangat berbahaya dikarnakan ajaran atau pendoktrinan yang HTI gunakan tidak sesuai dengan kultur budaya, tradisi dan lingkungan masyarakat Indonesia. Lebih-lebih jika berhasil merubah sistem dan ideologi Pancasila.
Oleh karena itu, bendera HTI merupakan sebuah simbol politik ideologis bukan islami, meskipun bendera tersebut bertulisan Laillahaillallah akan tetapi mempunyai maksud politik idiologis yang berbasis agama. Jika masyarakat sudah terdoktrin dengan ajaran maupun cara mereka mengerjakan sesuatu khususnya didalam sistem pemerintahan sungguh tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Karena dapat mengikis budaya leluhur yang sudah mendarah daging di dalam setiap tradisi kemasyarakatan.
M. Dani Habibi adalah mahasiswa Magister Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, konsentrasi Al-Qur’an dan Hadis.