Di dalam negara demokrasi, keberadaan dan perkembangan lembaga survei memang wajar adanya karena merupakan wujud dari partisipasi publik. Hal itu berbeda dengan rezim otoritarian, misalnya di era Orde Baru, yang alergi terhadap sepak terjang lembaga survei karena bisa membuka keran perbedaan opini di publik.
Maka dari itu aktivitas jajak pendapat politik atau survei di Indonesia sendiri sebenarnya sudah mulai muncul saat Soeharto mulai goyah dan diambang masa akhir jabatannya sebagai Presiden RI. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) menjadi salah satu lembaga penting yang sudah memulai aktivitasnya saat itu.
Merujuk pada artikel “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” yang ditulis Marcus Mietzner dan diterbitkan Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia edisi 165 jilid 1 (2009), bahwa para peneliti LP3ES tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan.
Bahkan pada pemilu terakhir di era Orde Baru pada 1997 silam, LP3ES sudah menggelar survei hitung cepat (quick count), namun hanya untuk kawasan Jakarta saja. Lalu, pasca Orde Baru dan saat memasuki masa Reformasi, LP3ES menggelar survei soal Pemilihan Legislatif 1999 di masa Presiden B.J. Habibie.
Menariknya, survei-survei politik yang pada era itu belum dipakai oleh para politisi untuk membangun popularitas yang bisa melahirkan suara. Kala itu, partai-partai politik dan politisi masih percaya jika kampanye masih bisa lebih diandalkan daripada jajak pendapat atau survei.
Lalu, kontestasi politik di Indonesia memasuki babak baru pada 2004 di mana pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati serta anggota DPR/DPRD dipilih secara langsung. Seiring dengan itu, aktivitas survei politik pun mulai bermunculan. Sebenarnya sejauh apa survei politik bisa memberi manfaat dan apa saja yang bisa dipelajari dari hasil survei?
Jajak pendapat dan survei dilakukan lembaga independen untuk memperkirakan calon mana yang akan menjadi pemenang dalam pemilihan pemimpin, baik di level lokal ataupun level nasional. Dengan begitu, peluang para calon pemimpin untuk merebut suara dan kursi nomor satu akan bisa dipetakan.
Meski bersifat kajian, namun dalam perkembangannya sebuah hasil survei dapat turut mempengaruhi konstelasi politik dalam baik itu dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden.
Sebagian survei yang dilakukan sebelum masa kampanye, biasanya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil pemilihan pada hari H. Biasanya juga, sebuah survei mampu memprediksi secara tepat siapa sosok calon pemimpin yang akan menjadi pemenang dan siapa akan kalah sebelum kampanye digelar.
Merujuk pada data Pemilu 2014, setidaknya ada total 56 lembaga survei sekaligus konsultan politik yang terdaftar secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beberapa di antaranya adalah Charta Politika, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Center for Strategic and International Studies (CSIS), Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP-LSI Network), Indikator, Cyrus Network, Indo Barometer, Poltracking Indonesia, sampai Soegeng Sarjadi Syndicated.
Walaupun survei selalu jadi acuan dalam memprediksi siapa sosok calon pemimpin yang akan menang dalam kontestasi politik, namun sebuah survei juga tak jarang dapat cibiran. Ada juga pihak-pihak yang beranggapan bahwa hasil survei tak bisa dipercaya lantaran sudah tercampur dengan berbagai kepentingan. Ada pula yang menyebut survei tidak berguna lantaran merupakan hasil rekayasa suatu kelompok.
Selain itu, ada juga pihak-pihak yang merasa dirugikan sampai akhirnya menuding lembaga survei hanya memenuhi pesanan kelompok tertentu saja sehingga menghasilkan data yang tidak akurat. Padahal mereka berharap sebuah lembaga survei bisa bekerja secara independen.
Untuk itu, penting rasanya melihat sebuah survei secara bijak, rasional, serta tidak diganggu oleh sentimen emosional. Apa pun hasilnya, survei dalam politik itu tentu sangat bermanfaat dalam sebuah kontestasi politik, sejauh metodologi yang digunakan benar dan dijalankan dengan disiplin, maka hasil survei tentu sangat bisa dipertanggungjawabkan.
Bahkan jauh sebelum penetapan pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2019, berbagai lembaga sudah menggelar serangkaian survei politik. Dalam survei-survei yang sudah digelar pun terdapat bermacam isu dan fokus.
Misalnya saja, survei soal siapa sosok kuat yang akan bertarung sebagai calon presiden di Pemilu 2019? Siapa yang pantas mendampingi capres A dan capres B sebagai cawapres? Berapa persen elektabilitas capres A dan capres B? Dan sebagainya.
Secara politik, hasil survei memiliki manfaat bagi semua kandidat untuk dijadikan parameter (angka yang akan diduga) di Pemilu 2019. Terlepas dari kompleksitas dan rumitnya sebuah survei, tetap saja survei sangat berguna.
Hasil survei akan jadi informasi penting bagi kandidat untuk dijadikan tolok ukur dengan nilai prediksi tinggi ataupun rendah, karena memang nilai dugaan itu bukan titik akhir, melainkan baru merupakan indikator (peluang) terhadap sesuatu yang akan terjadi nantinya.
Untuk itu, baik pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tentu akan memaksimalkan berbagai hasil survei untuk dijadikan bahan pijakan jelang Pemilu 2019. Hasil survei juga akan dijadikan bahan untuk mempelajari banyak hal terkait peluang untuk menang.
Bagi pasangan yang cerdas dan cerdik, hasil survei akan digunakan untuk mengatur strategi dalam memperoleh suara, tentu suara yang tinggi hingga akhirnya menang.
Umumnya secara tidak langsung, memang sebuah hasil survei bisa memperlihatkan konstelasi atau tatanan politik yang terbangun di lingkungan masyarakat. Tak hanya itu saja, perilaku pemilih juga bisa dilihat dari survei yang digelar, entah itu soal perilaku pemilih mengambang atau pemilih yang belum menentukan pilihan.
Lalu, hal-hal apa saja yang bisa mempersuasi para pemilih hingga isu apa yang bisa memperkuat segmentasi para pemilih secara sosiologis dan psikologis berdasarkan wilayah. Hal-hal semacam itu tentu sangat penting diketahui dan dijadikan acuan dalam usaha pemenangan calon pemimpin.
Berbagai informasi penting itu juga bisa menjadi pegangan atau pedoman bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi beserta tim suksesnya dalam mengambil langkah politik atau menyusun strategi kampanye dan taktik pemenangan. Terkait hal ini, tentu tak perlu dijelaskan apa yang akan dilakukan masing-masing kubu untuk memaksimalkan informasi hasil survei.
Meski memberikan pengaruh, hasil survei juga tidak serta merta bisa menjadi penentu kemenangan seorang capres-cawapres. Apalagi, efektivitas mesin partai politik, kegigihan relawan, figur kandidat, isu dan program yang ditawarkan capres-cawapres dan manuver elit politik juga memiliki pengaruh dan efek signifikan kepada pemilih.
Aktivitas kampanye yang dilakukan pasangan capres-cawapres kepada masyarakat tentu menjadi faktor utama yang memberikan pengaruh besar ketimbang hasil survei oleh lembaga survei. Kampanye yang dilakukan bisa mempengaruhi opini masyarakat lebih signifikan untuk memilih pasangan capres-cawapres.
Sementara hasil survei dari berbagai lembaga survei dianggap hanya menyimpulkan persepsi masyarakat, dari penilaian yang diberikan masyarakat sebagai responden, dan tidak memberikan pengaruh signifikan pada pembentukan opini masyarakat.
Untuk itu di samping hasil survei yang tentu akan dimanfaatkan, baik pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga juga terus melancarkan kampanye dengan caranya masing-masing demi meraup suara jelang Pemilu 2019. Misalnya saja Ma’ruf yang kerap sowan ke pesantren dan kiai, sementara Sandi yang berjalan menyusuri pasar dan bertemu dengan kaum emak-emak.