Budaya Pop

REVIEW FILM Venom: Serba Nanggung

Derick Adeboi — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

(memuat spoiler dengan dosis medium)

Venom adalah film superhero yang cukup dinantikan banyak pengemar Marvel. Sebagai karakter berkategori anti-hero yang ikonik, keberadaan Venon dalam semesta Marvel (terutama ketika disandingkan dengan Spiderman) rasa-rasanya menjadi penting untuk dieksplorasi lebih jauh. Beberapa waktu lalu, Deadpool berhasil mencuri perhatian dengan persona anti-hero komedinya, lantas bagaimana dengan Venom? Berikut ulasannya.

Eddie Brock, Venom, dan Antihero

Dikisahkan Eddie Brock (diperankan Tom Hardy) seorang jurnalis yang nyeleneh dan sangat kritis terhadap Carlton Drake (diperankan Riz Ahmed), seorang technopreneur pemilik Life Foundation yang melakukan proyek antariksa dan membawa pulang simbiot—sejenis ras alien. Perseteruan dengan Carlton Drake menyebabkan Eddie kehilangan pekerjaan dan juga tunangannya, Anne (diperankan Michelle Williams).

Cerita kemudian berlanjut dengan Eddie yang secara tak sengaja terpapar simbiot milik Carlton saat membantu salah satu pekerja di Life Foundation untuk menghentikan kegilaan yang tengah dikerjakan Carlton. Singkat cerita, simbiot yang menyatu dengan Eddie bernama Venom, dan akibatnya Eddie diburu habis-habisan. Hingga Venom dan Eddie harus bekerja sama pula melawan simbiot lainnya yang punya rencana berbeda dengan Venom.

Yup, pada film pertama Venom ini, sosok Eddie Brock menjadi sangat dominan. Screentimenya hampir tanpa jeda, sebagai upaya sosialisasi karakter Eddie Brock kepada publik yang penasaran. Beberapa karakter lain seperti Dan (diperankan Reid Scott), Anne, mendapat screentime yang cukup meskipun tak terlalu signifikan perannya di film. Sang tokoh antagonis, Carlton Drake tidak terasa cukup antagonis karena karakternya dibangung terlalu stereotipikal: kaya, ambisius, menghalalkan segala cara. Begitu pula dengan tokoh-tokoh minor lain yang tidak meninggalkan adegan yang membekas.

Prioritas yang Membingungkan

Bagian yang cukup fatal dalam film ini adalah pada beberapa pemotongan adegan yang membuat adegan selanjutnya terasa janggal. Misalnya di adegan akhir, tidak diceritakan bagaimana Venom—yang sepintas mati di adegan sebelumnya—ternyata berhasil selamat. Beberapa adegan lain yang cukup tak terjelaskan juga tentang simbiot bernama Riot yang tadinya meminjam tubuh seorang Ibu tua di Malaysia tiba-tiba sudah berada di Hongkong. Kabar yang terdengar, ada lebih dari 30 menit adegan asli yang terpaksa dipotong dari film ini.

Sutradara Ruben Fleischer juga cukup mebingungkan dalam menempatkan prioritas adegan laga. Dari tiga adegan tempur yang cukup major, porsi paling singkat malah diberikan untuk pertempuran akhir Venom vs Riot. Dua adegan tempur lainnya yang rasanya tak penting-penting amat malah dikasih porsi berlebih. Adegan kejar-kejaran yang serasa gado-gado dari Fast and Furious dan Spiderman, terasa terlalu panjang—meskipun keren secara visual—dan tidak signifikan. Ini yang membuat rasanya film ini punya sedikit kendala menentukan prioritas.

Terasa juga ketimpangan emosi di dalam film ini, terutama pada sosok Venom yang karakternya ambivalen. Tokoh Venom dan para simbiot terkesan kejam di awal, dan sempat terbayang kalau Venom akan tetap dengan persona serius-kejamnya; nyatanya ia menjadi komedik. Beberapa waktu setelah ia cukup nyaman bekerjasama dengan Eddie, dialog-dialog yang terucap dari Venom malah mengarah jadi komedik dan menghilangkan “kengerian” yang sebelumnya dibangun. Apakah ini konsekuensi dari kategori penonton yang diarahkan ke U-13? Bisa jadi. Namun, dengan sifat komedik seperti ini rasanya akan sulit melihat Venom sebagai sosok yang serius lag ke depannya.

Salah satu catatn positif tentunya dari beberapa track musik yang diperdengarkan di sini. Salah satu track berjudul “Venom” terasa sangat nyantol dengan suara Eminem sebagai performernya. Totalitas Tom Hardy sebagai Eddie Brock dan Venom juga patut diberi pujian. Tom Hardy mampu menunjukkan sisi sinis, skeptis, dan frustrasi dari Eddie Brock, dengan perkembangan karakter yang cukup terasa; dari seorang wartawan idealis di awal film, menjadi seorang pembela kebenaran sejati di akhir film. Ia juga turut mengisi suara Venom, dan cukup berhasil membawa kesangaran dari Venom, meskipun ujung-ujungnya takluk pada dialog-dialog jenaka.

Harapan Untuk Film Berikutnya?

Rasanya impresi yang paling tepat untuk menggambarkan film ini adalan kentang alias kena tanggung. Di satu sisi film ini cukup penting dalam mengisi semesta Marvel yang sudah sedemikian ramai, lebih lagi akan ada crossover dengan Avengers. Film ini juga berhasil mensosialisasikan siapa itu Venom, Eddie Brock, kekuatan macam apa yang mereka miliki, dan karakter seperti apa yang dijalani keduanya. Sisanya, tidak terlalu berkesan, plot yang kelewat sederhana dan terkadang lompat-lompat, ditambah porsi karakter lain yang tidak fungsional, rasanya membuat film ini menjadi uji coba dari sutradara Ruben Fleischer.

Dengan kemunculan sosok penting pada after credit, tidak heran keberlanjutan dari film Venom akan menjadi lebih krusial lagi. Dan tentunya, ada harapan di film selanjutnya, segala hal yang nanggung dari film ini tidak ikut terbawa.

Share: REVIEW FILM Venom: Serba Nanggung