Tak berselang lama setelah kehobohan kabar tentang penganiayaan yang disangkakan terjadi pada Ratna Sarumpaet, salah satu tim pemenangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga. Sehari setelah Prabowo melakukan jumpa pers dan membenarkan adanya penganiayaan, tepatnya pada hari Rabu, 5 Oktober 2018 Ratna Sarumpaet sendiri membuat klarifikasi bahwa dirinya bukan dianiaya, melainkan habis operasi kecantikan wajah.
Kejadian ini menjadi tambahan dari deretan peristiwa menghebohkan yang menimpa Ratna Sarumpaet. Sebelumnya, Ratna sempat menuding pemerintahan Presiden Joko Widodo memblokir dana nasabah untuk bantuan Papua senilai Rp 23 triliun. Namun, Kementerian Keuangan RI sudah mengecek ke World Bank dan memastikan tudingan Ratna tak ada jejaknya.
Ratna juga sempat beradu mulut dengan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan soal pencarian korban Kapal Motor Sinar Bangun yang tenggelam. Kala itu Ratna memprotes keputusan Luhut yang menghentikan pencarian korban. Cekcok mulut yang terjadi di Posko Tim Pencarian KM Sinar Bangun, Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Senin, 2 Juli 2018 itu pun jadi bahan pembicaraan public selama beberapa hari.
Belum lagi kejadian mobil Ratna yang diderek petugas Dishub DKI Jakarta di Tebet, Jakarta Selatan. Gelagatnya yang memprotes dengan suara lantang nan keras itu terekam dalam sebuah video dan tersebar di media sosial. Video itu makin ramai diperbincangkan tatkala Ratna mengancam petugas dengan cara menelepon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Di balik itu semua, Ratna Sarumpaet punya rekam jejak yang baik dalam dunia drama teater. Dia bahkan berhasil mendirikan sebuah grup teater yang diberi nama Satu Merah Panggung pada 1974.
Ratna Sarumpaet, perempuan kelahiran Tapanuli Utara, 16 Juli 1948 ini telah mengeluti dunia panggung teater sejak ia mengenyam perkuliah di Teknik Arsitektur dan Hukum Universitas Kristen Indonesia. Dari situ ia memulai untuk memilih dunia seni peran karena terinspirasi dari drama WS Rendra pada 1969.
Lima tahun setelah itu, Ratna menikah dan mendirikan grup teater Satu Merah Panggung. Dari situ Ratna menghasilkan sembilan naskah drama, yaitu Rubayat Umar Khayam (1974), Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996). Semua naskah itu disutradarai oleh Ratna sendiri dan diproduksi serta dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung.
Sejak mendalami sosok Marsinah sebagai perempuan yang berani dalam mengkritik pemerintah, Ratna pun mengubah visi keseniannya menjadi alat perjuangan mempermasalahkan semua pelanggaran yang berkaitan dengan kemanusiaan. Ratna melakukan penelitian tentang berita yang mengabarkan bahwa Marsinah terbunuh di hutan jati di Madiun. Hasil penelitiannya itu dituangkannya pada sebuah naskah drama berjudul Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994).
Ratna juga menulis drama Terpasung (1996), Marsinah Menggugat (1997), Anak-anak Kegelapan (2003), dan Pelacur dan Presiden (2006). Naskah terakhir Ratna yang dibuat film drama bertajuk Jamila dan Sang Presiden (2009) merupakan hasil dari hibah yang diberikan oleh UNICEF untuk kegiatan penelitian perdagangan anak di Indonesia.
Kritikan yang kerap dilontarkan oleh Ratna Sarumpaet kepada pemerintah belakangan ini bukanlah hal yang baru. Sebab, sejak akhir 1997 Ratna sudah memutuskan melakukan perlawanan kepada pemerintahan Soeharto.
Ia bahkan rela menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Organisasi itu mejadi yang pertama secara terbuka menyerukan agar Soeharto lengser dari jabatannya.
Setelah Soeharto lengser, Ratna Sarumpaet bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” merumuskan Blue Print Pengelolaan Negara RI. Blue Print itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden pengganti Soeharto kala itu.
Sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International, ARTE, pernah mengabadikan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film documenter berdurasi 52 menit berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Film itu ditayangkan pada peringatan 50 tahun Hari HAM se-dunia pada 1998 di Perancis dan Jerman.