General

Buzzer Bukan Sumber Perpecahan Masyarakat di Era Demokrasi Digital

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Demokrasi adalah sebuah pemikiran yang telah lahir ratusan tahun lalu. Bahkan, demokrasi klasik yang rakyatnya benar-benar turun langsung bersuara satu per satu telah ada di Athena zaman Yunani Kuno, abad ke-5 SM. Di era modern, pemikir-pemikir seperti Immanuel Kant lah yang awalnya mencetuskan gagasan tentang demokrasi, yang kala itu ia cetuskan dengan konsep republik.

Terlahir ratusan tahun yang lalu, demokrasi masih relevan hingga sekarang. Namun saat ini, demokrasi dihadapi dengan fenomena terbaru: digitalisasi. Semua serba digital. Sebagai sebuah konsep yang ideal, digitalisasi tentu dapat mempermudah demokrasi. Transparansi dan partisipasi aktif masyarakat dapat semakin mudah jika dilakukan digitalisasi dalam prosesnya. Namun di sisi yang negatif, banyak yang menilai bahwa demokrasi di era digital telah menciptakan buzzer anonim yang menimbulkan perpecahan. Apa benar para buzzer menjadi sumber perpecahan di demokrasi era digital? Saya akan mencoba memberikan opini saya terkait hal tersebut.

Demokrasi di Era Digital

Secara konseptual, digitalisasi benar-benar mempermudah jalannya demokrasi. Banyak sekali perkembangan demokrasi yang positif karena adanya digitalisasi. Sebut saja transparansi dari pemerintah dan aspirasi yang semakin mudah didengar melalui media sosial. Di era digital ini, jika dijalankan dengan ideal, demokrasi menjadi sesuatu yang jauh lebih sehat dan lebih baik dari sebelum era digitalisasi.

Selain transparansi dan kemudahan mencurahkan aspirasi, demokrasi di era digital juga melahirkan satu fenomena baru: buzzer politik. Apa sih sebenarnya, buzzer politik? Istilah ini cenderung dikaitkan dengan akun-akun anonim penggiring opini publik yang berseliweran dengan identitas yang bukan identitas aslinya untuk satu kepentingan politik tertentu. Para buzzer bergerak secara masif di berbagai media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Dengan jumlahnya yang besar ini, para buzzer tidak bergerak secara acak. Mereka bergerak terkoordinasi sesuai kebutuhan penggiringan opini yang dibutuhkan. Mulai dari sekadar melawan narasi, para buzzer juga bahkan bisa membangun narasi tertentu.

Lalu, apa tujuan dari para buzzer ini? Tentu tujuan utama dari buzzer ini adalah membantu pihak-pihak politik tertentu menggiring opini publik agar dapat sesuai dengan kepentingan politiknya. Dengan tujuan dan pekerjaan yang cukup serius, buzzer ini juga tidak gratis. Bahkan nampaknya, menjamurnya buzzer di berbagai media sosial menandakan bahwa bisnis ini cukup menjanjikan.

Buzzer Bukan Sumber Perpecahan Masyarakat

Dalam salah satu pendapat mengenai hadirnya buzzer politik ini, argumentasi yang cukup terkenal adalah buzzer politik menimbulkan perpecahan politik di masyarakat. Namun menurut saya, hal ini tidaklah benar. Saya setuju bahwa kebanyakan buzzer melakukan penggiringan opini dengan cara-cara yang tidak ‘sehat’. Banyak buzzer yang ditemukan di berbagai media sosial menggunakan hoax dan disinformasi sebagai salah satu upaya penggiringan opini. Tapi buzzer bukan masalahnya. Tanpa buzzer pun, hoax dan disinformasi tetap ada. Buzzer yang tidak ‘sehat’ ini hanya membuat tren hoax dan disinformasi menjadi masif dan membuat kedua hal tersebut menguasai diskursus mengenai kondisi di media digital saat ini.  Jadi, buzzer ini tidak menimbulkan perpecahan masyarakat. Buzzer hadir sebagai sebuah cara untuk melaksanakan penggiringan. Menyalahkan buzzer dan membuat hal ini ilegal sama saja seperti ketika tangan sedang pegal-pegal, kita memilih untuk memotong tangan kita, alih-alih memijat tangan kita agar pegal-pegalnya hilang.

Hoax dan Disinformasi Menjadi Batu Ganjalan dalam Demokrasi Digital

Lalu, apa penyebab terpecahnya masyarakat? Ya hoax dan disinformasi itu sendiri. Solusinya? Hentikan penggunaan hoax dan disinformasi dalam penggiringan opini demi menciptakan demokrasi yang lebih baik. Tentu, ini bukan pekerjaan yang gampang. Namun, jika dengan sedikit menggunakan akal sehat, hilangnya penggunaan hoax dan disinformasi menjadi suatu hal yang mungkin terjadi di masa depan. Lagipula, penggiringan opini pun  seharusnya akan tetap efektif jika buzzer melakukannya dengan cara yang sehat. Justru dengan cara yang sehat, argumentasi pun akan terlihat logis dan tidak kosong.

Kemudian, yang dapat menjadi solusi lain dan mungkin terdengar jauh lebih masuk akal adalah dengan meningkatkan kemampuan literasi media digital. Memiliki pemahaman intelektual dalam konteks literasi media digital menjadi tameng ampuh untuk melawan buzzer-buzzer yang bergerak dengan kebohongan dan disinformasi. Untuk meningkatkan intelektualitas mengenai literasi media digital ini, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengeksplor ragam perspektif mengenai satu isu dan keluar dari echo chamber yang kita rasa nyaman. Dengan semakin terbukanya pikiran dan intelektualitas kita melalui ragam perspektif, secara tidak sadar, pola pikir kritis dalam diri kita akan tumbuh dengan sendirinya. Jika pola pikir kritis telah tumbuh dalam diri kita, literasi media digital pun secara paralel akan muncul dengan sendirinya.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Buzzer Bukan Sumber Perpecahan Masyarakat di Era Demokrasi Digital