Budaya Pop

REVIEW FILM Aruna dan Lidahnya: Keriaan Pertemanan dalam Manisnya Makanan

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Butuh waktu yang lama untuk Aruna (Dian Sastrowardoyo) melontarkan kata “enak” pada sesuatu makanan. Bahkan, Bono (Nicholas Saputra), yang menjadi seorang koki di sebuah hotel tidak mampu menaklukan lidah sahabatnya itu. Tak ayal, Bono merasa ada yang salah dengan Aruna. Menurutnya, Aruna membutuhkan penyegaran diri dengan berkuliner sembari menemaninya mencari resep baru makanan di hotel.

Aruna dan Lidahnya mulai membuka layar bioskop pada Kamis, 27 September 2018, dengan sepanci sop buntut yang kuahnya mulai mendidih. Potongan-potongan buntut sapi menyusup dalam kuah kecoklatan bersama wortel dan kentang. Dagingnya yang kenyal terlihat bisa lepas dengan mudah. Sepanci sop buntut tersebut kemudian diperbesar sehingga memenuhi layar yang menjadi penggelitik awal bagi penonton dan tentunya bikin klenger keenakan!

Film garapan Edwin ini diadaptasi dari novel berjudul serupa karya Laksmi Pamuntjak yang terbit tahun 2014. Novel tersebut sarat dengan makanan, lalu diracik apik dengan dialog humor, drama, dan isu sosial. Dalam film produksi Palari Films ini menyuguhkan 21 jenis makanan, tidak sebanyak yang tertulis di dalam novel.

Orkestra Drama Penuh Rasa

Sosok Aruna dikisahkan sebagai ahli wabah penyakit. Syahdan, perjalanan lidah Aruna dimulai kala dirinya ditugaskan dari kantornya untuk menyelidiki kasus wabah flu burung di empat kota, yaitu Surabaya, Pemekasan, Pontianak, dan Singkawang.

Aruna tidak sendiri, ia ditemani oleh dua sahabatnya, Bono dan Nadezhda atau Nad (Hannah Al Rashid) yang dikisahkan sebagai penulis buku kuliner. Saat menjalani tugasnya, Aruna bertemu dengan mantan rekan kerja yang pernah ia taksir namun tak berbalas, Farish (Oka Antara) di Surabaya.

Dari Surabaya menuju Pontianak, keempatnya terlibat dalam perjalanan penuh percakapan yang mengungkapkan kisah kehidupan dan rahasia terpendam. Di tengah perjalanan Aruna, mereka menikmati sajian kuliner lokal, yaitu rawon (Surabaya) dan campur lorjuk (Pamekasan). Dinamika hubungan empat orang dengan karakter masing-masing pun tumbuh bersama makanan yang mereka nikmati.

Dalam pekerjaan investigasinya, Aruna menemukan ketidaksesuaian data antara kantor pusatnya dan temuan lapangan. Tak pelak, hal itu menimbulkan sebuah kecurigaan bagi Aruna. Sementara itu, situasi kian runyam lantaran Farish yang bekerja di pusat semakin mendesak Aruna untuk tetap menjalankan prosedur.

Alhasil, Aruna mengalami konflik internal karena di satu isi ia memendam kekaguman namun menyadari bahwa Farish disalahgunakan oleh kepentingan yang tidak diketahui keduanya.

Makanan dan Sikap Menghargai

Dalam sebagian besar adegan, makanan menjadi sentral cerita. Edwin menyajikan ragam makanan, di antaranya pengkang, nasi goreng babi, dan mie kepiting (Pontianak), choi pan (Singkawang), rujak soto, dan sebagainya.

Ragam makanan tersebut ditampilkan secara detail secara visual oleh Edwin melalui bagian-bagian rinci di setiap sajian. Misalnya campur lorjuk yang disantap dengan olahan sejenis kerang bambu serta lontong, bihun, taoge, dan kuah.

Tidak hanya makananya saja yang detail, tetapi juga arti dari setiap dialog antara Aruna, Bono, Nad, dan Farish kala menyantap makanan bersama. Edwin menyatakan, Aruna dan Lidahnya merupakan film panjang kelima yang hendak mengeksplorasi sisi lain petualangan sinemanya.

“Buat saya, manusia makan sambil ngobrol itu asik dilihat dan didengar. Obrolan di saat makan sering kali mempengaruhi rasa makanan yang kita makan. Demikian pula sebaliknya, rasa makanan yang kita makan bisa mempengaruhi kualitas obrolan kita di meja makan,” kata Edwin kepada Asumsi.co seusai jumpa pers di Jakarta, Kamis (20/9/2018).

Intensitas dialog tersebut salah satunya tercuplik kala keempatnya sedang menyantap sebuah makanan di Pontianak. Saat itu, Nad menanyakan pandangan Farish mengenai apa arti makanan. Farish menyatakan “Makan ya, makan saja,” katanya. Menurut Farish, makanan tidak selalu harus dibahas. Namun, kenimaktanya selalu dirayakan.

Namun, Bono, Nad, dan Aruna berbeda pandangan dengan Farish. Bagi Bono, jawaban Farish sangat dangkal mengenai arti makanan. Ia mengatakan, kalau makanan disantap dengan terburu-buru dan tidak menggabungkan setiap jenis olahan yang tersedia dalam satu piring, maka rasa itu akan hilang.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi dialog ciamik yang diperankan keempatnya maupun dengan tokoh lain. Sang produser, Meiske mengungkapkan, Aruna dan Lidahnya memang memotret kebiasaan kita saat menyantap makanan dengan teman-teman.

“Apa saja sih yang diobrolin bersama teman kerja atau geng kita sehari-hari. Pasti ada perbedaan pendapat setiap pernyataan kita kan. Nah, di film ini kita mencontohkan bahwa berteman itu enggak selalu setuju dan tidak bisa dihindari. Perbedaan tersebut kita terima saat makan bersama,” ujar Meiske.

Memang, makanan sejatinya selalu hadir dalam suasana hati yang menyenangkan. Namun, hal itu bisa berbanding sebaliknya! Rasa makanan bisa menjadi tidak enak kala disantap di saat suasana hati sedang berantakan.

Share: REVIEW FILM Aruna dan Lidahnya: Keriaan Pertemanan dalam Manisnya Makanan